Kamis, 16 Desember 2010

Tujuan Pengembangan Insight



Tujuan Pengembangan Insight

Oleh: Alm. Yang Arya Bhikkhu Girirakkhito Mahatera




Saat ini nampak jelas sekali para umat mulai seius mengembangkan Dhamma di dalam diri sendiri. Dan kemudian tentu kehausan itu akan ilanjutkan dengan menerapkan ajaran-ajaran Dhamma di dalma diri masing-masing. Sesungguhnya, kalau kita belajar Dhamma adalah berusaha untuk menyesuaikan diri dengan alam, lingkungan, keadaan, dan kondisi-kondisi yang ada Sebagai individu, manusia, kita tidak jemu-jemu menghadapi situasi/kondisi yang berubah-ubah, yang perubahannya terus berlansung atnnnnnpa pernah behenti; dan kita harus senantiasa berusaha untuk mnejadi harmonis dengan keadaan, lingkungan dan kondisi yang ada. Justru agama, seakan-akan mempunyai harga mati dalam bagaimana menjadikan diri kita ini agar selalu selaras, esimbang, dan harmonis dengan alam maupun linkungan. Jadi agama tidak lagi berpikir atau memcoba membantah, tau mengoreksi kebenaran ajaran agama yang diyakini masing-masing umat, meskipun Sang Buddha mengatakan bahwa silakan periksa, pelajari dan teliti; kalau cocok boleh terus dipakai, kalau tidak ditinggalkan. Dan dari berbagai disiplin ilmu sudah sepakat mengatakan bahwa agama seakn-akan sudah – kalau seperti barang – punya harga mati, harga pas, jadi tidak ada tawar-menawar lagi. Memang demikian. Misalnya agama Buddha, Sang Guru Agung Buddha Gautama menjelaskan tentang apa manusia itu, yang terdiri atas kelompok jasmani, kelompok perasaan, kelompok pikiran, kelompok ingatan, dan kelompok kesadaran. Proses dari tiap-tiap kelompok ini terjadi di dalam diri kita, yang berada ditengah-tengah alam semesta atau dunia ini, yang senantiasa berubah. Tahun 1900-an dengan sekarang tahun 1994-an itu keadaannya sudah berubah.


Sementaar itu, dari perkembangan berbagai disiplin ilmu, kini mulai gencar mempertanyakan apakah agama bisa memenuhi keperluan hidup dalam segala aspeknya? Misalnya, apakah agama sanggup membuat kesejahteraan, kemajuan dalam kehidupan manusia yang begitu banyak aspeknya? Sekarang penduduk Indonesia jumlahnya sudah semakin banyak, ero globalisasi sudah demikian gencar, keterbukaan Indonesia dalam beberapa bidang sudah nampak jelas sekali. Namun kita harus mengakui bahwa sampai sekarang Pemerintah indonesia belum mampu mengatur manusia yang beigtu banyak itu. Lain halnya seperti negara tetangga kita, Singapura, di mana penduduknya relatif sedikit, kemudian pendidikan hidup yang berdisiplin itu sudah sejak lama sekali ditanamkan, serta mayarakatnya dalam kondisi yang kemamurannya hampir mearata. Saya pernah berbincang-bincang dengan seorang supir disana, berapa gaji supir di sana, yaitu 1500 Dolar Sinagpura. Kalau dikruskan, sekitar satu setengah juta Rupiah. Kalau di sini, tidak ada gaji supir yang ssdemikian itu. Karena dengan 1500 Dolar itu baru memenuhi standar kehidupan di sana, walaupun tidak mewah, tetapi tida miskin. Mereka mampu untuk sewa listrik, beli air untuk minum, mandi, cuci, dan sebagainya. Dengan demikian mereka dapat hidup layak. Begitulah keadannya, dan kalau kita lihat disiplinnya, memang sudah maju sekali, terutama bekersihannya. Kalau kita badingkan dengan di sini tentu jauh sekali. Mereka di sana sudah bisa menyesuaikan diri dengan peraturan dan hukum yang berlaku ash, yang tentunya sesuai dengan ajaran agama yang mereka peluk; juga belajar harminis dengan hukum-hukum alam yang diajarkan oleh agama mereka masing-masing.


Oleh karena itu, tiap ajaran agama mempunyai peraturan, yang umum, yang pokok, kemudian yang tambahan. Semuanya adalah untuk menjadikan kita harmonis, seimbang, selaras, dan tidak konflik dengan kepentingan bersama, terutama dengan alam. Kalau misalnya alam kondisi panas terik, lalu kita tidak mampu menyesuaikan diri dengan keadaan yang panas terik itu, sehingga kita menjadi menderita, kemudian mengeluh, tidak tahan, dan gelisah. Itu berarti bahwa kita belum mampu harmonis dan menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan.


Saya kira gejala ini sangat nyata kelihatan di kalangan kita umat Buddha, sehingga tatkala di suatu waktu ada pertemuan dari orang-orang tertentu di suatu tempat, kelihatan sekali batin para umat di sana tidak harmonis, tidak seimbang; pokoknya minimal ‘dislike’ dalam hati. Karena orang-orang yang hadir di sana, mereka itu adalah kritikus-kritikus bhikkhu yang getol sekali. Mereka itu seakan-akan menjadi polisinya bhikkhu, begitulah. Sebenarnya bhikkhu itu tidak punya “CPM”, tetapi kalau militer punya CPM. CPM itu diangkat dengan resmi oleh yang berwenang dan dididik; pun cara ngeprit pelanggaran yang ada tidak sembarangan, tetapi mengerti aturannya. Tetapi oarng-orang ini rupa-rupannya mereka belajar Dhamma Vinaya, kemudian merasa mengerti, namun bersekutu dengan belum tercapainya keharmonisan kejiwaan; sehingga mereka menjadi kritikus-kritikus uang kadang-kadang menimnulkan akibat-akibat yang minimal dapat menjadi konflik. Kadang-kadang mereka mengerti “KUHP”-nya bhikkhu –kitab “KUHP”-nya para bhikkhu adalah Vinaya. Mungkin dia menghafal, apalgai yang pernah menjadi Bhikkhu, kemudian lepas jubah, itu mereka tahu. Lalu kemampuan menghafal peraturan itu dijadikan atau menjadikan dirinya CPM sukarela yang tanpa ‘beslit’ begitulah kira-kira.


Pengembangan Insight tau Pandangan Terang melalui latihan-latihan Vipassana, itu bukan bertujuan untuk menjadikan kiat pintar mengerti Dhamma, lalu kemudian untuk berdebat, untuk melihat kesalahan orang lain, atu untuk memojokkan orang lain, atau untuk memamerkan pengertian benarnya masing-masing. Bukan beitu maksudnya. Justru dengan Vipassana atau mengerti Dhamma itu, adalah agar kita mengatur batin kita supaya tetap segera harmonis, seimbang, selaras, dan tak ada konflik dengan keadaan, lingkungan, hukum alam, serta kondisi-kndisi yang ada.


Itulah topic yang ingin saya perbicarakan dan bahas di sini, sebagai suatu injeksi, yang mudah-mudahan dapat lebuh menyembuhkan penyakit-penyakit yang kurang perlu aad di dlam batin kita sekarang.


Jadi sekarang, kita mesti berupaya membuat persahabatan kita di dalam Buddh Dhamma ini agar benar-benar bisa mengenyam dan menikmati ketentraman dan keselarasan; kemudian bisa dengan cepat mengeliminir kesalah-fahaman, konflik, dan sebangsanya. Berusaha untuk secepat kilat bisa menuntaskan semua problem, dengan kata lain kiat akhirnya dapat muncul menjadi pribadi-pribadi yang sanggup menjadi problem solvre. Kita tahu “How to solve the problem of life”. Itulah kiranya tujuan yang kita gantungkan dala cita-cita kita. Dan kalau batin kita suadh dewasa maka ‘like and dislike’ itu bisa diturunkan, dikurangi. Itu merupakan ciri-ciri sat hasil yang kita raih. Bagaimanapun kikuknya saudara anggap orang lain menyalahi aturan, apakah Dhamma, apakah Vinaya, kalau seseorang sudah mempunyai Insight, dia tidak lagi usil menjadi polisi. Tidka! Karena apa? Karena dia memaklumi bahwa dunia adalah dunia, sorga adalah sorga, neraka adalah neraka, dunia yang campuran bik dan buruk adalah dunia yang campuran baik dan buruk. Itulah kondisi dunia. Jadi kalau kita belum mengerti, - isi dunia saja belum mengerti-, kita tinggal di dunia, bergaul dengan kawan-kawan yagn masih duniawi, dan kondisi duniawi ada yang baik dan ada yang buruk; lalu kiat masih belum bisa menyesuaikan diri dengan kondisi yang baik dan buruknya, kapan kita bisa meningkat?


Perlu diingat dan diketahui bahwa memiliki kualitas mental yang memadai amatlah penting untuk menghadapi kejadian, problem, kondisi, situasi yan berubah-ubah dan sangat rawan ini. Pejabat pemerintah harusnya mempunyai kualitas mental yang tangguh. Para rohaniwan agama juga harus mempunyai mental yang memadai. Tidak boleh sepihak. Kemudian kualitas mental masyarakat juga harus ditingkatkan. Kita jangan malu mengakui bahwa kualitas mental kita, kualitas disiplin kita, ketaatan kepaad peraturan, masih jauh daripada apa yang disebut baik. Maka oleh karena itu, kita harus berusaha meningkatkan kedewasaan kualitas mental ini.


Kalau orang yang mentalnya sudah dewasa ‘like dan dislike’ – kalau dia diumpamakan biji tumbuh-tumbuhan-, dia itu tidak bisa tumbuh di atas lantai yang licin. Walaupun dia disiram dengan air, dia tidak bisa tumbuh. Tetapi kalau tanah gembur kemudian ada hujan turun, dia mudah tumbuh. Rumput pun tumbuh. Jadi mental itu ada kualitasnya; seperti tanah yang gempur, dilempar biji apa saja kalau ada hujan akan tumbuh. Ada mental yang udah digosok dan diproses, sehingga seperti kaca yang jernih dan bersih, atau seperti tegel yang mengkilat. ‘Like dan dislike’ dengan antek-anteknya itu, seolah-olah tidak bisa melekt pada batin orang yang demikian. Secara alami sekali, mereka tidak melekat. Maka itu, kita melihat ada orang yang cepat sekali tersinggung, cepat sekali emosi, cepat sekali konflik. Pokoknya tidak selesai-selesai dan tidak habis-habisnya tersinggung dan membuat konflik.Ada saja yang dipermasalahkan. Nah berbeda dengan orang yang bathinnya sudah dewasa, yang saya umpamakan batinnya sudah digodok, digembleng, diasah, dilap hingga licin dan bersih sekali. Terutama dualisme itu yaitu ‘like and dislike’, merasa diuntungkan atau dirugikan, merasa ddihargai atau diremehkan; itu sulit melekat kepada batin orang sedemikian. Maka sikapnya pun menjadi dewasa sekali.


Kita sekarang amat memerlukan orang-orang seperti itu, terutama kalau kita mendambakan Buddha Dhamma ada manfaatnya, ada kegunaannya; yakni dengan memproses pikiran itu, yang sering saya katakan dari cengeng, mudah tersinggung, mudah melekat kepada dualisme, menjadi sehat, kuta, stabil, mantap. Jadi ke arah sana fokus kita, tujuan kita belajar Buddha Dhamma, sehingga itu menjadi modal dasar ynag dirumuskan oleh pemerintah. Dalam pembangunan bangsa ini, kita harus punya modal iman dan takwa yang kuat, moral etik yang tinggi; kemudian digabung, disekutukan dengan ilmu pengetahuan, teknologi, ketrampilan, dan keuletan, maka kdua-duannya ini akan menjadi sarana untuk membangun pribadi-pribadi, manusia-manusia Indonesia yang diharapkan.


Namun memang kecenderungan manusia itu berbeda-beda. Diantara pada bhikkhu juga ada yang lebih cenderung ke pertapaan aatu meditasi saja, tidak mau campur dengan organisasi atau dengan masalah-masalah duniawi. Pokoknya pertapaan saja, tinggal ditempat sepi, kemudian meditasi, Ini lalu oleh kemajuan perkembangan dunai masa kini, mendapat sorotan yang negatif. Bahkan pernah kita ini dituduh: “Wah, apa Walubi ( Perwalian Umat Buddha Indonesia bukan Perwakilan, red) itu hanya mengajarkan umatny sembahyang saja, meditasi saja, dan kalau khotbah, yang dikhotbahkan bagaiaman mencapai sorga, tetapi sama sekali lupa dengan lingkungan, ada orang miskin, ada rumah kumuh, dan sebagainya. Menurut pandangan yang ada, penerapan agama di Indonesia harus dibarengi dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebab dijelaskan disana, “agama tidak bisa membuat rumah, tidak bisa membeli mobil”. Untuk membuat kemakmuran, supaya kain banyak, supaya sepatu modelnya banyak, keperluan hidup banyak; itu bukan agama yang mengerjakan, tetapi ketrampiran, teknoligi dan ilmu pengetahuan. Begitu juga dalam aspek kesehatan dan sebagainya. Kita tidak perlu berdebat dan membantah di sana.


Jadi diharapkan agama itu tidak eksklusif. Sekarang kita menganut agama Buddha, Buddha Dhamma, seperti saya sekarang ini sebagai bhikkhu, sudah mulai diminta oleh pemerintah: “Anda jangan hanya mengajarkan meditasi saja”. Usahakan meningkatkan kemiskinanm dari yang dulu income-nya kecil sekarang menjadi bertambah. Namun sudah jelas pula, mental agama adalah modal dasar. Jadi kita harus ditangan kanan memegang Buddha Dhamma, di tangan kiri memegang seluk beluk dan hal ikhwal pembangunan bangsa. Jelas sekali sekarang demikian.


Jadi kiat para penganut agama Buddha tidak boleh lalai, tidak boleh tutup tertelinga telingga atau mata kita, tetapi kiat harus ‘well informed’ tentang masalah-masalah yang ‘up to date’, yang sekarang ini. Sebenarnya saya merasa paling bangga dengan keadaan umat Buddha, terutama dikota-kota besar, karena mereka berpotensi sekali di dalam ikut andil memakmurkan dan mensejahterakan bangsa ini. Bahkan Bapak Presiden, kalau memberikan penghargaan, kebanyakan kepada orang-orang umat buddha yang dengan diam-diam sudah membantu orang-orang yang tidak mempunyai pekerjaan. Kami drai umat Buddha dengan diam-diam sudah banyak mengangkat kemiskinan dengan memberikan mereka pekerjaan.


Memang kita mengharapkan bahwa simpatisan atau penganut agama Buddha semakin banyak. Tetapi dengan semakin banyak muncul orang-orang baru ini, mungkin saja lalu kembali muncul kerawanan, problem tentang kecengengan kejiwaan itu. Sebenarnya yang tua-tua yang harus lebih mengalah. Itu memang sudah hukum pergaulan. Coba kalau kakak dengan adik, siapa yang harus mengalah? Kakaklah ynag harus mengalah, Tetapi sekarang kok terbalik. Umpamanya ada adik yang mengalah, yang kakak-kakaknya malah galak sekali. Jangan sampai terjadi yang demikian.


Bagi saya, yang bagaimana saja teman-teman pengabdi ini, yang cengeng, yang dewasa, yang mudah tersinggung, yang kalem, saya bisa sekali menerima, karena saya ekstra menjaga dan melestarikan diri. Maka oleh kaerna itu, sejak saya senang mengadakan latihan Vipassana, itu tidak lain maksudnya adalah untuk meningkatkan kejiwaan para umat yang sudah mendapat kesempatan dan mempunyai minat ke arah peningkatan itu. Yang penting jangan jadi jaksa, jangan jadi polisi, atau menjadi mata-mata untuk menyelidiki kesalahan orang lain. Itu tolong dielminir. Jangan karena persoalan sedikit saja, sudah ramai. Kog senang sekali melihat dan menceritakan kesalahan, kelemahan, dan kekuarang orang lain? Kecenderungan demikian sepertinya sudah berurat berakar, mendarah-daging. Cobalah kita kerahkan tenaga dan kemauan untuk mengeliminir kecenderungan itu.


Terdapatnya perpercahan-perpecahan di tubuh organisasi, itu juga tdak lain dan tidak bukan, sebabnya adalah kekurangan kedewasaan kejiwaan dan kualitas mental. Jadi sekarang kita harus mempunyai seni atau keahlian untuk mengelimir hal-hal yang demikian itu.


Sekarang ini, kita lepas dari rasa kesal, rasa kurang simpati. Kalau ada rasa kesal atau rasa kurang simpati, kurang setuju, atau kurang sreg, itu ‘kan cuma perasaan. Perasaan yang muncul disebabkan karena kejiwaan belum dewasa, masih ada ego, masih inginmenaruh pandangan sendiri, konsep sendiri, dan sebagainya di depan. Kalau secara sederhana, itu adalah ciri-ciri dari demokrasi, ciri-ciri dari pluralisme, ciri-ciri dari keadaan yang berbeda-beda. Tetapi kemudian, bagaimana agar yang berbeda-beda ini bisa mengkondisikan semangat bersatu. Jadi pluralisme agama di Indonesia itu mengkondisikan para pemimpin berusaha untuk mengatur, membimbing agama ini, supaya tetap bersatu dan rukun. Metodenya: jangan membicarakan tentang doktrin, jangan berdebat tentang perbedaan; kita hanya mengacu kepada kepentingan bersama. Pemerintah lebih lihat lagi. Para pemimpin agama itu sering-sering dikumpulkan, diajak pergi ke propinsi-propinsi, bahkan yang terakhir ini diajak ke Singapura dengan gratis. Bayangkan! Begitu pandainya merukunkan agama-agama yang berbeda-beda, tetapi mempunyai kepentingan yang sama. Jadi kepentingan yang sama itulah yang diacu, yang dipacu, sehingga bisa rukun-rukun selalu.


Naqh, kita juga harus begitu. Dahulukan kepentingan bersama untuk mencapai tujuan dan cita-cita bersama. Kalau ada gangguan, rintangan, godaan, atau bahkan malapetaka yang menhadang, hal itu wajar terjadi. Tetapi kalau kita teguh dengan tujuan demi kepentingan bersama, hal-hal itu akan dapat diatasi secara alami. Saya harap umat Buddha berhati-hati, agar bertindak denagn sehalus-halusnya, belajar melangkah dengan memperhitungkan proses alaminya itu sendiri. Mudah-mudahan konflik-konflik itu tidak perlu ada.


Saya mengharapkan supaya saudara-saudara mengintegrasikan diri, sungguh-sungguh membulatkan tujuan, membulatkan acuan, dan sebagainya, sehingga dengan demikian, rintangan-rintangan yang akan melemahkan posisi dan kondisi kita akan dapat dieliminir. Dan kalau ada perebdaan-perbedaan dan sedikit konflik, itu adalah wajar sekali. Lautan yang luast itu tidak selamannya tenang. Tiba-tiba ada angin puyuh, lalu gelombang itu besar, ia kemudian akan berubah. Laut kembali tenang. Kalau kita sering dihajar ikeh bukti-bukti kondisi yang berubah-ubah demikian rupa itu, maka kesadaran kita juga akan maju, akan bisa memaklumi keadaan yang kadang-kadang dengan tiba-tiba munculnya angin ribut. Sebagai penumpang di kapal "Walubi" (Perwalian Umat Buddha Indonesia bukan Perwakilan, red) ini, mudah-mudahan saudara tidak mabuk, tidak muntah, tidak rebah, dan kemudian kapok naik kapal . Jangan sampai kapok. Kalau kapok, kita tiadk akan bisa menyeberangkan umat Buddha dengan tujuan yang diharapkan. Sebab sekarang, kita ini ibaratnya berangkat naik kapal itu, kadang-kadang gelombangnya besar. Mudah-mudahan kita semua tahan, tidak mabuk, tidak pingsan, dan semoga semuanya tetap sehat dan akhirnya membawa agama Buddha dan umat Buddha ini kepada tingkat dan tujuan yang diharapkan.


[Dikutip dari Mutiara Dhamma VI ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar