Kamis, 30 September 2010

Menggali Sebuah Impian




Menggali Sebuah Impian

Oleh: Yang Mulia Bhikkhu Abhayanando





“ATITAM NANVAGAMEYYA, NAPPATIKANKHE ANAGATAM. YADATITAMPAHINATAM, APPATANCA ANAGATAM.”

“Janganlah seseorang menyesali masa lalu, atau melamun tentang masa mendatang. Yang lalu sudah lewat, yang akan datang belumlah tiba.”


A. Wacana

Dulu, ketika kita masih kecil, kita sering ditanya oleh orang tua kita, tetangga, teman dan oleh siapa saja yang bertemu dengan kita. Maklum anak kecil, jawabannya tentu sangat polos. Aku mau menjadi guru, aku mau jadi pilot, aku mau jadi presiden, dan lain-lain jawabannya. Apakah cita cita yang dilontarkan pada masa kecil itu akan menjadi kenyataan? Tidak, tidak semua cita-cita kita bisa tercapai, bahkan cita cita itu terkadang tidak sama dengan kemampuan kia sehingga kandas di tengah jalan. Seperti halnya yang saya alami sekarang. Dahulu saya tidak mempunyai cita-cita untuk menjadi bhikkhu, namun saat ini saya menjadi seorang bhikkhu. Cita cita hanyalah tinggal cita cita dan hanya menjadi sebuah kenangan.

Masing-masing orang mempunyai kemampuan yang tidak sama, karena pengalaman masa lampaunya yang tidak sama. Dalam Brahma Vihara ada syair yang berbunyi:

Sabbe satta
Kammassaka
Kammadayada
Kammayoni
Kammabhandhu
Kammapatisarana
Yam kammam karissanti
Kalyanam va papakam va
Tassa dayada bavissanti

Semua makhluk
Memiliki kammanya sendiri
Mewarisi kammanya sendiri
Lahir dari kammanya sendiri
Berhubungan dengan kammanya sendiri
Apapun kamma yang diperbuatnnya
Baik atau buruk
Itulah yang akan diwarisinya.

Dari syair di atas dapat disimpulkan bahwa masing-masing orang mempunyai potensi yang tidak sama, tergantung dari proses kammanya dan tentunya kondisi yang ada. Jadi kita tidak bisa iri dengan orang yang sukses dan juga tidak perlu merasa rendah kalau saat ini kita belum berhasil. Orang bisa saja sukses dengan potensi yang ada dalam dirinya, menjadi dokter, teknisi, ekonom, birokrat, dan lain sebagainya.

Sebenarnya ada dua potensi yang ada dalam diri manusia yang jika dikembangkan akan membawa kebahagiaan. Potensi yang dapat dikembangkan oleh manusia itu ada dua macam yaitu:

  1. potensi keduniawian

  2. potensi spiritual

Dua potensi ini jika diarahkan dan dikembangkan akan menuju kepada kebahagiaan duniawi dan batin. Potensi duniawi tentunya hanya mengalrah kepada harta, kehormatan, kedudukan, istri yagn cantik atau suami yang tampan, dan kebahagiaan yang bersifat duniawi lainnya. Dan sifatnya hanya sementara. Potensi spiritual juga akan membawa kebahagiaan dan kebahagiaan spiritual ini terus menerus akan membawa kedamaian batin.

Cita-cita duniawi dan cita-cita spiritual ini tidak mudah kita dapatkan, semuanya memerlukan tekad, usaha, perjuangan dan pengorbanan. Tanpa adanya faktor faktor tersebut adalah tidak mungkin cita cita itu berhasil dicapai. Bolehkah kita bercita-cita? Tentunya yang bersifat positif, tetapi harus kita ingat bahwa berhasil atau mungkin gagal akan kita hadapi.

B. Cara menghadapi masa depan.

Suatu hari ada seorang bapak yang datang ke vihara, orang itu kelihatan seperti orang yang putus asa. Kebetulan waktu itu saya sendiri yang menemui orang itu. Orang tersebut bertanya kepada saya, “Bhante, hidup ini tidak menyenangkan, rutinitas hidup yang saya hadapi hanya itu-itu saja. Pernah orang mengatakan bahwa masa depan saya suram. Tolong Bhante, saya diramal atau dikasih jimat ataupun mantra yang ampuh. Supaya saya hidup mantap menghadapi masa depan.” Tentu saja yang saya berikan bukan jimat sembarangan, tapi jimat Dhamma. Kemudian orang ini saya arahkan sampai memahami benar tentang makna sebuah kehidupan.

Kisah seperti di atas bukan hanya dialami oleg seorang bapak dalam cerita diatas saha, tetapi juga dialami oleh banyak orang. Pada saat dihadapkan pada realita kehidupan muncul benih-benih keraguan, kecemasan bahkan takut menghadapi masa depan. Terkadang masa depan menjadi momok bagi sebahagian besar orang. Mereka pergi ke tukang ramal, ke dukun, ke tempattempat keramat yagn dianggap mempunyai kekuatan gaib dan magis untuk menghadapi realita kehidupan. Seorang pelajar cemas menghadapi masa masa setelah ia selesai sekolah, seorang dewasa cemas menghadapi kehidupan berumah tangga, orang tua cemas menghadapi masa tuanya. Inilah yang sering muncul dalam kehidupan manusia.

Semua orang menginginkan hidupnya sukses, tetapi mereka terkadang hanya berhenti di angan-angan belaka. Sebagian besar orang hanya bisa menghayalkan cita cita, kalau harapan itu tidak disertai tindakan nyata juga memunculkan rasa kecemasan. Karena yang namanya menghayal tentunya tidak menjadi kenyataan. Pada saat hidupnya tidak seperti yang terjadi dalam mimpi-mimpinya, muncul rasa sedih, kecewa, cemas, takut, bahkan putus asa. Jangan hanya sekedar bermimpi karena hidup bukanlah mimpi. Tetapi mimpi adalah bagian dari kehidupan.

Kita juga harus ingat bahwa yang namanya cita-cita itu kadang-kadang bisa sukses dan bisa juga gagal. Oleh karenanya yang terpenting dalam hidup ini adalah usaha meraih cita-cita, tetapi harus disertai kebijaksanaan. Jangan melekat pada cita-cita. Semakin melekat pada cita cita, maka rasa cemas semakin berkembang. Kalau cita-cita itu berhasil kita tidak akan meras cemas. Jika keberhasilan itu berubah menjhadi sebuah kejatuhan maka kita harus tetap tegar dalam menghadapinya. Begitu pula saat menghadapi kegagalan akan timbul rasa putus asa, kecemasan dan ketakutan dalam menghadapi hidup ini. Iringilah cita-cita atau harapan kita dengan Dhamma, maka saat mengalami apapun yang baik ataupun yang buruk maka rasa cemas tidak akan berkembang.

Jika anda sering ikut meditasi di vihara, cetiya atau pusat pusat meditasi lainnya, maka anda akan mendengar kalimat “hidup saat ini”. Kalimat ini sering diungkapkan guru-guru meditasi kepada siswanya. Kalau kita tidak memahami kalimat itu maka aikan muncul pandangan yang keliru tentang agama Buddha. Hidup saat ini seolah-olah hanya diarahkan untuk hidup pasrah, tidak punya harapan, kosong, hanya menerima apa yang ada. Kalimat ini sering disalah artiklanb oleh orang yang belum memahami ajaran agama Buddha. Sehinga mempunyai pandangan bahwa agama buddha itu pesimis, tidak ada gairah hidup, loyo, hampa. Memang sang Buddha dan para siswa Arya pernah berpesan, “hidup saat ini” tetapi bukan berarti agama Buddha tidak mengajarkan tetang misi dan visi, Pernyataan orang itu salah dan wajar karena mereka belum mengerti. Saat ditanya mengapa makhluk-makhluk mulia yang telah mengembangkan pikiran, mereka kelihatan demikian tentang dan bersinar? Sang Buddha menjawab

“Mereka tidak sedih pada masa lalu, mereka tak mengejar apa yang belum datang.
Saat sekarang cukup buat mereka karenanya mereka demikian bercahaya.
Merindukan masa depan, menyesali masa lalu, dengan cara ini orang dungu merana seperti ilalang yang dibakar.”


Rahasia hidup bahagia dan sukses terletal pada apa yang dilakukan pada saat ini, kita jangan cemas pada masa lalu dan masa depan. Kita tidak dapat kembali ke masa lalu untuk membetulkan apa yang telah kita kerjakan pada masa yang lalu, dan kita juga tidak dapat mengantisipasi apa yang terjadi pada masa yang akan datang. Karena kondisi dunia yang terus menerus berubah, maka hanya ada satu momen yang bisa dikendalikan secara sadar adalah saat ini.

Salakha punya keinginan? Pertanyaan ini sering muncul dalam diri umat Buddha sendiri. Hal ini wjar karena umat buddha setiap saat mendengarkan ceramah terkadang menduga kalimat “kurangi keinginan”. Mengurangi keinginan yang dimaksud adalah keinginan rendah yang egosi, yang hanya mengumbar keserakahan, kebencian, dan kebodohan yang tidak membawa manfaat spiritual. Jika cita-cita atau keinginan kita tidak didasari oleh keserakahan, kebencian dan kebodohan batin tentunya akan membawa manfaat bagi kehidupan kita.

Seperti halnya Sang Buddha, Beliau sebelumnya juga mempunyai keinginan menjadi seorang sammasambuddha. Keinginan sang Buddha bukanlah keinginan rendah. Tetapi keinginan yang membawa kehidupan spiritual diriNya sendiri dan tentunya bagi semua makhluk. Boleh saja kita mempunyai cita-cita, tentunya cita-cita itu harus membawa manfaat bagi kehidupan spiritual kita. Cita-cita duniawi hanyalah sebagai sarana untuk kesuksesan cita-cita spiritual kita. Jadi jangan sampai potensi dunia ini disalah artikan yang akhirnya membawa kemerosotan batin.

Dalam mencapai keberhasilan tentunya perlu adanya program atau perencanaan. Seperti halnya sang Buddha, setelah Beliau bertekad dihadapan Buddha Dipankara, Beliau kemudian menyempurnakan Dasa Paramita untuk mencapai kesempurnaan dan akhirnya berhadil menjadi Buddha. Cita-cita yang tanpa disertai tindakan hanya akan menjadi impian saja. Untuk sukses duniawi kita perlu kerja keras sesuai dengan profesi masing-masing baik sebagai doketer, birokrat, ekonom, petani dan lainlain sebagainya. Begitu pula dalam hal cita-cita spiritual kita juga harus mempunyai kemauan, usaha, pengorbanan, dan kesabaran. Niscaya dengan faktor-faktor ini cita-cita kita akan tercapai.

Misi dan visi sudah ada, tetapi program ini harus disertai tindakan yang nyata dan jelas. Walaupun programnya bagus tetapi tidak ada tindakan nyata dan jelas, maka program inipun hanya tinggal program, benih-benih kesuksesan tidak akan nampak. Sekarang muncul sebuah pertanyaan, kapan waktunya yang tepat untuk melakukan tindakan yang nyata sehingga program itu terlaksana?

Dalam Samyutta Nikaya I, 227, Sang Buddha bersabda “Sesuai dengan benih yang kita tabur, begitulah buah yang akan kita petik. Pembuat kebajikan akan memperoleh kebahagiaan dan pembuat kejahatan akan memperoleh penderitaan.”

Dari sabda sang Buddha tersebut jelas disebutkan tentang perencanaan yang matang sehingga membuahkan hasil yang bagus. Kurang hati-hati dalam berencana akan berakibat fatal, bukannya kesuksesan tapi kehancuran yang didapatkan. Kesempatan yang baik untuk berencana adalah pada saat badan ktia sehat, karena dengan fisik yang sehat kita akan dapat menjalankan tugas dengan baik. Sebaliknya, jika kondisi badan kita tidak sehat sangat sulit untuk menjalankan perencanaan hidup. Sewaktu masih ada kesempatan untuk melakukan hal yang positif, maka gunakanlah kesempatan itu sebaik-baiknya.

Perencanaan hidup yang matang akan mengakibatkan perubahan yang pesat, oleh karena itu tidak perlu cemas terhadap masa depan. Orang merasa cemas yang berlebihan terhadap kesehatan kelaurganya, penghasilan, nama baik dan harta kekayaan. Mereka berusaha membuat stabil yang malah menjadi tidak stabil. Semakin mereka mecemaskan masa depan, semakin mereka merasa kehiilangan rasa percaya diri dalam hidup ini, dan mulailah mereka mengembangkan keinginan-keinginan yang mementingkan diri sendiri. Orang yang terus meneruskan berusaha keadaan hidup, tidak pernah mengenal kata kedamaian pikiran.

Orang yang percaya kepada nasib akan berpikir bahwa ini sudah ditakdirkan, ini sudah ditentukan untukku oleh Makhluk Agung. Karena aku harus berdoa kepada Makhluk Agung untuk memperbaiki nasibku. Ia bahkan akan berdoa dengan mengabaikan kewajibannya setiap hari. Jika yakin terhadap hukum kamma, maka kita akan memahami hal ini sebagai hasil dari apa yang telah kita lakukan pada masa yang silam. Dan kita mestinya memperbanyak perbuatna baik dan menguatkan pikiran kita dengan meditasi. Dengan berbuat demikian, benih-benih kesuksesan akan berkembang.

Segala bentuk keinginan yang positif disertai dengan perencanaan yang matang dan dilaksanakan pada saat yang tepat serta berpegang pada hidup saat ini akan menghasilakan kesuksesan yang mantap. Oleh karena itu kita harus menjaga cita-cita ini sehingga kesuksesan itu berjalan sesuai dengan Dhamma.

C. Hidup saat ini dan perencanaan hidup

Hidup saat ini dan perencanaan hidup kelihatannya bertentangan. Akan tetapi hidup saat ini dan perencanaan adalah hal yang sejalan. Hidup saat ini mengingatkan kita untuk tidak melekat pada keinginan kita, karena segala keinginan itu akan dihadapkan dengan keberhasilan dan kegagalan. Memahami keberhasilan dan kegagalan itu akan membuat pikiran kita damai setiap saat.

Terlalu melekat pada target perencanaan hidup akan mengakibatkan kesedihan, kekecewaan bahkan putus asa. Segala sesuatu kadang-kadang tidak sesuai dengan bayangan kita. Sedih, kecewa, dan putus asa muncul karena kita hanya bisa menerima satu sisi yaitu target kesuksesan, padahal kegagalan juga akan kita hadapi dan harus kita terima kenyataannya. Banyak orang menjadi putus asa mengadapi hidup ini gara-gara tidak bisa menerima kenyataan hidup. Kita harus bisa bersikap realistis dalam menghadapi kenyataan hidup ini.

Hidup saat ini dan perencanaan hidup sebenarnya merupakan dua hal yang selaras dan tidak bertentangan karena keduanya sesuai dengan Dhamma. Hidup saat ini sebagai kontrol perencanaan hidup sehingga jika terjadi kegagalan tidak mudah bersedih. Kecewa maupun putus asa. Sebaliknya jika terjadi keberhasilan tidak mudah sombong, angkuh, dan takabur.

Dengan demikian, tidak perlu cemas menyongsong masa depan hidup kita karena jika kita dapat menindaklanjuti perencanaan hidup dengan prinsip saat ini maka kecemasan itu akan sirna dan kita akan mantap dalam menghadapi masa depan.

Cemas terhadap masa depan adalah hal yang keliru dan harus diluruskan. Kita harus siap menghadapi masa depan dengan perencanaan yang matang disertai dengan prinsip hidup saat ini. Seperti halnya orang mengharapkan tahun baru yang penuh kebahagiaan dan kegembiraan. Semua orang berharap tahun baru harus lebih baik dari tahun sebelumnya. Namun yang pasti adalah tindakan yang nyata pada saat sekarang sebab hal ini menentukan hari esok. Semoga sukses selalu ada pada anda semua dan selalu dalam lindungan Sang Tiratana.

Kalagatanca hapeti attham
Orang yang rajin tidak akan kehilangan manfaat pada setiap kesempatan.
(Khuddaka Nikaya, Jataka Chakkanipata)

[ Dikutip dari Majalah Dhammacakka No.25/Tahun VIII/2002
]

Senin, 27 September 2010

Mengatasi Kematian




Mengatasi Kematian

Oleh: Alm. Yang Mulia Bhikkhu Girirakkhito Mahathera





Memang adalah suatu fakta/kenyataan dari hidup ini bahwa pada suatu saat kita pasti akan berpisah dengan apa yang sangat dicintai, juga akan berpisah dengan jasmani kita sendiri. Apabila seorang yang sangat dicintai meninggal, kita akan merasa sangat sedih dan sangat sukar rasanya mengatasi kesedihan ini. Tetapi ajaran Sang Buddha dapat menolong kita mengatasi kesedihan ini dengan jalan berusaha melihat kenyataan dari apa sebenarnya keadaan hidup dan kehidupan ini.

Dalam kitab Visuddhi Magga, Bab VIII, 39; kita dapat membaca tentang bagaimana pendeknya waktu dari proses hidup dan kehidupan ini. Bahwa menurut kebenaran mutlak atau kebenaran tertinggi, sesungguhnya proses hidup dan kehidupan itu berlangsung sangat pendek dan cepat sekali, hanya persis sesaat dari keadaan satu saat kesadaran yang muncul sekejap dan kemudian segera lenyap. Sama seperti sebuah roda kereta yang berputar, menggelinding hanya pada satu titik demi satu titik dan bila berhenti menggelinding, berhenti hanya pada satu titik. Demikian pula proses dari hidup dan kehidupan ini berlangsung hanya pada satu saat kesadaran yang muncul sesaat dan kemudian segera lenyap.

Dengan demikian berarti kita sesungguhnya telah mengalami kematian/perubahan setiap saat, atau lahir dan mati setiap saat. Apabila kesadaran yang timbul-lenyap timbul-lenyap sangat cepat ini telah berhenti, maka proses hidup dan kehidupan ini dikatakan telah berhenti. Senang, susah, sedih, gembira, dan seterusnya hanya muncul bersama kesadaran yang timbul-lenyap timbul-lenyap sangat cepat ini. Tiada dunia atau hidup dan kehidupan bisa muncul apabila tiada kesadaran muncul. Apabila proses kesadaran muncul, di situ muncul pula proses hidup dan kehidupan. Apabila proses kesadaran berhenti maka proses hidup dan kehidupan disebut berhenti pula.

Apa yang kita namakan mati sesungguhnya tiada berbeda dengan proses timbul-lenyap timbul-lenyap dari satu saat kesadaran. Tiap-tiap saat kesadaran yang muncul, segera lenyap secara utuh, tetapi menyebabkan atau mengkondisikan timbulnya saat kesadaran yang baru, yang segera lenyap pula, demikian seterusnya dan seterusnya. Kesadaran akhir dari kehidupan ini, apa yang dinamakan saat kesadaran kematian atau cuti-citta, begitu ia lenyap segera digantikan oleh saat pertama dari kesadaran akan kehidupan berikutnya yang dinamakanpatisandhi-citta. Di situ tidak terdapat sang aku pada setiap proses hidup dan kehidupan ini, dan betul-betul tidak ada sang aku atau sang roh yang mengembara dari kehidupan yang lalu, sekarang, atau kehidupan yang akan datang.

Adalah semata-mata kebodohanlah yang membuat kita berpikir bahwa badan jasmani dan batin ini adalah kekal. Kita sangat melekat pada badan jasmani dan batin ini dan menganggapnya sebagai aku dan milikku. Kita berpendapat bahwa sang akulah yang melihat, mendengar, merasa, berpikir, dan bergerak ke mana-mana. Melekat pada sang aku inilah yang menyebabkan dukkha. Sang aku menginginkan dan berkhayal akan mengalami awet muda untuk waktu yang sangat panjang, tetapi apabila kita mengalami masa tua, sakit, dan mendekati kematian; kita merasa sedih, takut, cemas, seolah-olah tidak terima sama sekali. Mereka yang bodoh dan tidak mengerti akan fakta dan kenyataan dari hidup dan kehidupan ini, tidak akan bisa mengerti bahwa penderitaan bersumber dan berasal dari kemelekatan, seperti apa yang dijelaskan dalam Kebenaran Mulia Kedua tentang sebab dari derita. Kita seyogyanya berusaha menginsafi secara benar-benar bahwa segala sesuatu yang disebut jasmani dan batin ini adalah anicca, dukkha, anatta, sunnata, tathata, dan idappaccayata. Sang Buddha menunjukkan tentang ketidak-kekalan segala sesuatu (jasmani dan batin) dengan berbagai macam jalan dan cara. Beliau mengajarkan ketidak-kekalan dari jasmani ini untuk menolong kita agar tidak melekat pada pandangan keliru tentang "badanku atau badan ini adalah kepunyaanku". Beliau mengajarkan cara bermeditasi pada kekotoran, kebusukan, dan keburukan dari jasmani ini, dengan bermeditasi pada mayat dalam berbagai tingkat kehancuran, kita dapat membaca di dalam Maha Satipatthana Sutta, Digha Nikaya: "Dan lagi, O, para bhikkhu, sebagai bhikkhu seharusnya berusaha bisa melihat satu mayat yang ditaruh di kuburan, mati baru sehari atau dua hari, tiga hari, lalu membengkak, warnanya berubah, terpecah-pecah, kemudian merenungkan bahwa jasmani sendiri juga adalah secara alamiah sama, pasti akan mengalami kematian".

Didalam Visuddhi Magga, Bab VI, 88, dijelaskan bahwa jasmani ini juga sama kotornya, busuknya, buruknya seperti mayat; hanya sifat dari kebusukan, keburukannya, tidak terang jelas dan tampak nyata pada jasmani yang masih hidup ini karena disembunyikan oleh berbagai hiasan alamiah dan hiasan buatan manusia sendiri yang sangat lihay. Untuk membuktikan jasmani yang masih hidup ini penuh dengan kekotoran, kebusukan, kuburukan, Sang Buddha mengajarkan apa yang tercantum pada Maha Satipatthana Sutta sebagai berikut: "Dan lagi, O, para bhikkhu, seorang bhikkhu seyogyanya merenungkan secara teliti bahwa jasmaninya sendiri terbungkus oleh kulit dan penuh dengan bermacam-macam kekotoran, kebusukan, keburukan dari telapak kaki naik ke atas dan dari ujung kepala turun ke bawah. Bahwa pada jasmani ini terdapat rambut kepala, bulu badan, kuku, kulit, daging, sumsum, tulang, ginjal, hati, limpa, dan seterusnya".

Juga kita harus selalu merenungkan bahwa jasmani ini terdiri atas empat unsur pokok, yaitu:
1.Unsur tanah yang muncul dalam sifat padat/keras dan lembut/halus.
2.Unsur cair yang muncul dalam sifat cair atau perekat.
3.Unsur api yang muncul dalam sifat panas dan dingin.
4.Unsur angin yang muncul dalam sifat gerak dan tekanan.

Keempat unsur pokok ini, apakah mereka berada dalam mayat atau dalam badan yang masih hidup, adalah sama. Itulah sebabnya mengapa perenungan terhadap kekotoran, kebusukan, dan keburukan jasmani, dan merenungkan jasmani ini yang terdiri atas keempat unsur pokok tersebut di atas yang berbeda-beda sifatnya, sangat menolong kita untuk tidak melekat lagi pada jasmani ini dan tidak lagi menganggap jasmani ini sebagai milikku dan kepunyaanku. Memang bukanlah suatu keharusan atau paksaan bagi seseorang untuk selalu sadar akan proses batin dan jasmani yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi kita juga seyogianya mempertimbangkan baik-baik apa sebenarnya yang menjadi tujuan kita. Apakah kita terus-menerus ingin menjadi orang bodoh, penuh dengan kemelekatan dan menganggap secara kokoh dan fanatik bahwa proses jasmani dan batin adalah tergolong aku dan kepunyaanku? Apakah kita tetap menginginkan hidup dalam kegelapan ataukah kita ingin mengembangkan kebijaksanaan untuk bisa mengakhiri dukkha? Apabila kita memilih sang jalan untuk mengakhiri dukkha, kita harus mengembangkan kebijaksanaan dalam kehidupan sehari-hari. Ini berarti apabila kita sedang duduk, berdiri, berjalan, bekerja, dan seterusnya, apabila kita sedang mendengar, membaui, mengecap, menyentuh, merasa, berpikir, senang, susah, rindu, cemas, dan seterusnya; ketahuilah, maklumilah bahwasanya kesemua proses jasmani dan batin ini adalah hanya gejala/fenomena jasmani dan batin yang timbul sekejap, di situ ia timbul, di situ pulalah ia segera lenyap. Ia timbul karena adanya sebab dan syarat dan ia segera lenyap, tetapi menjadi sebab dan syarat pula bagi timbulnya proses batin dan jasmani yang baru.

Inilah satu-satunya jalan untuk bisa merealisasi bahwa segala sesuatu yang disebut batin dan jasmani adalahanicca, dukkha, anatta, sunnata, tathata, dan idappaccayata. Dengan jalan ini kebodohan dan kemelekatan dapat diatasi. Tetapi kebodohan dan kemelekatan itu tidak bisa dihancurkan secara total dalam waktu yang singkat. Ia baru dapat dihancurkan secara total apabila seseorang telah mencapai kesucian tertinggi tingkat Arahat. Pada waktu sang Buddha wafat mencapai parinibbana, para bhikkhu yang masih punya kebodohan dan kemelekatan menangis sedih dan berguling-guling di atas tanah, tetapi para bhikkhu yang kebodohan dan kemelekatannya telah hancur, melihat wafatnya Sang Buddha sebagai peristiwa yang wajar dan alamiah saja. Mereka penuh pengertian.

Marilah kita mengenang kembali sabda Sang Buddha kepada Ananda ketika Sang Buddha mendekati waktu wafatNya mencapai Parinibbana sebagai berikut: "Ananda, jadilah pulau bagi dirimu sendiri, pelindung bagi dirimu sendiri, jangan mencari perlindungan di luar, dengan Dhamma sebagai pulaumu, Dhamma sebagai pelindungmu, tidak mencari perlindungan lain. Dan bagaimana Ananda, seorang bhikkhu menjadi pulau bagi dirinya, perlindungan bagi dirinya, dengan Dhamma sebagai pulaunya, Dhamma sebagai pelindungnya, tidak mencari perlindungan lainnya? Bila ia mengembara merenungkan jasmani di dalam badan jasmaninya dengan sungguh-sungguh disertai dengan pengertian yang jelas, terang, dan dengan penuh kesadaran, setelah mengatasi nafsu keinginan dan duka cita dalam memandang pada dunia, hidup dan kehidupan ini, ia mengembara merenungkan perasaan di dalam perasaannya, pikiran di dalam pikirannya, dan obyek mental di dalam obyek mental". Ini berarti tidak merenungkan adanya sang aku di dalam badan, perasaan, pikiran, dan obyek mental. Inilah cara satu-satunya untuk dapat melihat kebenaran tertinggi dari apa adanya yang sebenarnya dari proses batin dan jasmani, yaitu Anicca, Dukkha, Anatta, Sunnata, Tathata, dan Idappaccayata; pengertian mana yang dapat mengatasi kebodohan dan kemelekatan, mengatasi dukkha, dan mengatasi kematian.

[Dikutip dari Mutiara Dhamma ]

Mengapa Harus Di Sini




Mengapa Harus Di Sini

Oleh: Yang Mulia Bhikkhu Vijito





Pada hari ini, kita semua telah hadir di sini untuk mendengarkan Dhamma, mendengarkan Dhamma adalah salah satu berkah utama, sambil mendengarkan Dhamma kita berusaha untuk membuat tubuh tegak dalam sikap duduk dan pikiran berusaha berkonsentrasi. Pada jaman Sang Buddha, orang mendengarkan Dhamma dengan penuh perhatian; duduk bersila sambil memejamkan mata, mengawasi pikiran, mengontrol pikiran, menyadari, bahwa tempat ini sesuai untuk mendengarkan Dhamma, melatih pikiran, dan mengetahui, mengapa kita berkumpul di sini.

Kadang-kadang kita tidak mau menyadari, kita tidak mau tahu, mengapa kita di sini ..?. Kita tidak mengerti apa yang seharusnya dimengerti, dengan kata lain kita tidak tahu benar-benar bagaimana sebenarnya sesuatu itu atau sesuatu itu sebenarnya apa.

Marilah saat ini kita menenangkan diri, jangan resah dan bingung, orang yang telah mencapai pencerahan telah menjelaskan bagaimana sebenarnya mengendalikan pikiran yang terombang-ambing, tujuan kita datang di sini untuk mendengarkan Dhamma, melatih pikiran, mengawasi pikiran, selanjutnya kita berusaha mengembangkan ketenangan batin, cinta kasih dan kasih sayang kepada semua makhluk hidup.

Mengamati, memeriksa di dalam diri adalah hal yang terpenting, kita harus berjaga-jaga terhadap tindakan, ucapan, dan bentuk-bentuk pikiran. Sebagaimana tindakannya, begitu juga hasil yang akan terjadi, sama seperti benih yang ditanam, begitu pula buah yang akan dipanen, sebagaimana tindakan-tindakan kita, begitu juga buah tindakan kita.Di manakah kita harus berjaga-jaga..?. Pada tindakan fisik ucapan dan pikiran. Dalam kehidupan umum kita begitu banyak mementingkan tindakan fisik ,kita kurang memperhatikan pentingnya tindakan ucapan dan hampir tidak menaruh perhatian sama sekali terhadap tindakan pikiran. Bila sesuatu muncul dalam pikiran, mau diapakan ..?. Tetapi setelah kita menyadari kebenaran dalam diri, hukum kebenaran itu akan mulai menampakkan dirinya. Hukum kebenaran akan menjadi sangat jelas sehingga tindakan pikiranlah yang menjadi sangat penting. Bukan tindakan fisik dan bukan tindakan ucapan.

Bila kita selalu waspada terhadap tindakan pikiran kita, kita tidak perlu mencemaskan perbuatan fisik maupun ucapan; secara teratur perbuatan fisik maupun ucapan akan menjadi baik karena segalanya dimulai dari dalam pikiran lebih dahulu. Semua tindakan dimulai dari pikiran, ketika pikiran menjadi menguat dan makin menguat maka tindakan itu lalu mewujudkan diri sebagai tindakan ucapan, jika bertambah menguat dan makin menguat maka tindakan itu akan mewujudkan diri sebagai tindakan fisik. Segalanya dimulai dari dalam pikiran, karena itu tindakan pikiran adalah yang paling penting. Pikiran mendahului segalanya. Setiap tindakan dimulai dari pikiran dulu, baru setelah itu ada di tingkat ucapan atau fisik. Oleh sebab itulah maka pikiran itu paling penting.

Pikiran mempunyai arti yang penting. Apapun yang dialami orang dalam kehidupan ini; menyenangkan, tidak menyenangkan, baik, buruk atau apapun sebutannya, apapun yang dialami orang dalam kehidupan, semuanya tidak lain tidak bukan hanyalah produk pikiran. Jika seseorang melakukan suatu tindakan pada tingkat fisik atau ucapan dengan dasar pikiran yang tidak murni, berarti dasarnya salah atau tidak murni maka kesengsaraan akan terus menerus mengikuti kemanapun orang itu pergi, dari tempat ini ke tempat lainnya, dari bumi ini ke bumi lainnya; kemanapun kita pergi tidak ada hal lain kecuali kesengsaraan dan penderitaan. Penderitaan akan selalu mengikutinya seperti roda pedati yang selalu mengikuti kuda yang diiikatkan pada pedati itu karena kuda itu terikat pada pedati maka kemanapun kuda itu lari maka roda itu akan terus mengikuti dan terus mengikuti.

Bila seseorang melakukan tindakan fisik atau ucapan dengan dasar pikiran yang murni, maka hanya kebahagiaan yang akan mengikutinya, kemanapun kita pergi, kebahagiaan ada di sini seperti bayang-bayang yang selalu mengikuti.
 
Pikiran adalah dasar yang paling penting, jika dasarnya murni maka semua tindakan kita apapun bentuknya akan memberikan dan membawa buah-buah yang baik saja, tetapi jika dasarnya tidak murni maka hasilnya atau buahnya pasti jelek, sekarang akan menderita di sini dan terus menderita di masa yang akan datang. Jika melakukan tindakan-tindakan yang baik, seseorang akan bahagia di sini dan di masa yang akan datang.

Tidak ada kekuatan di luar yang dapat melakukan semua hal itu karena hukum kebenaran memang demikian. Semakin dalam kita menyadari hukum kebenaran ini, maka kita semakin mengerti dan tidak akan melakukan apapun yang akan membuahkan kesengsaraan bagi kita. Kita hanya akan melakukan hal-hal yang akan membawa kedamaian bagi kita. Beginilah hukum kebenaran itu, hanya bisa terjadi jika mengamati perasaan yang paling kasar menuju yang paling halus, lalu seluruh hukum itu menjadi jelas.

Kita harus berhati-hati terhadap tindakan-tindakan kita, tindakan-tindakan mental kita, tetapi orang tidak dapat berhati-hati terhadap tindakan pikiran kecuali jika kita memahami apa pikiran itu, dan bagaimana pikiran bekerja. Dengan latihan kesadaran yang bergerak dari kepala ke kaki, kita hanya menjelajahi kebenaran yang berhubungan dengan tubuh, selain itu kita harus menjelajahi kebenaran yang berhubungan dengan pikiran; bila kita sudah lebih maju lagi akan lebih jelas bagaimana seharusnya seluruh fenomena materi-batin itu, dan bagaiamana pengalaman itu bekerja .

Di mana tempatnya dan apa hasilnya ..?. Hasilnya Dhamma muncul, ia muncul bersama pengertian dan pengetahuan kita. Semua orang bisa dan mampu mengerti Dhamma, ini bukanlah sesuatu yang harus dicari di buku, kita tidak harus banyak belajar untuk bisa melihatnya ,renungkanlah sekarang uraian di bawah ini tentang kesadaran ,perasaan, bentuk-bentuk pikiran dan pencerapan. Semua ini ada di dalam diri tubuh kita yang tidak kekal, keinginan yang timbul itu semua telah bekerja dan kontak dengan indria kita; tugas kita sekarang hanya mengamati, menyadari memeriksa, menganalisa, memilah-milah, membagi-bagi, memahami, tidak mengikat, tidak melekat, tetapi ketaka melepas, melepas sesuatu yang muncul, ulangi berkali-kali, sampai kita mampu melihat dengan jelas.


[ Dikutip dari Gema Dhammavaddhana Edisi 7

Minggu, 26 September 2010

Satu Dhamma





Oleh: YM. Bhikkhu Uttamo Mahathera




Selama ini, kita mengenal adanya 2 tradisi besar dalam agama Buddha yaitu tradisi Theravada dan tradisi Mahayana yang seakan-akan berbeda, padahal keduanya adalah sama, yaitu sama-sama membawa kita mengapai kebahagiaan hingga akhirnya tercerahkan.

Sulitnya menerima perbedaan yang ada kadang justru menimbulkan perselisihan, padahal tanpa disadari kita sebenarnya hidup dalam perbedaan itu sendiri. Sebenarnya bila kita dapat melihat perbedaan itu, maka akan timbul keasikan tersendiri karena justru dari perbedaan itulah kita bisa saling menunjang, saling bekerjasama dimana masing-masing menjalankan tugasnya sendiri-sendiri. Salah satu contohnya adalah tangan kita, bila diamati sebenarnya kedua tangan kita berbeda dan memiliki perannya masing-masing. Bila tangan kanan memang sendok sewaktu makan, maka tangan kiri menjalankan perannya memegang garpu. Bukankah itu adalah suatu hal yang indah? Coba bayangkan apa jadinya bila kedua tangan kita persis sama, misalnya kedua-duanya hanya tangan kanan atau kedua-duanya hanya tangan kiri..?

Begitu juga sebenarnya dengan keanekaragaman aliran agama yang ada. Semestinya kita bisa menerima bahwa aliran agama Buddha ini meskipun berbeda, juga menjalankan peran dan bidangnya masing2, tujuannya sama-sama mengarahkan kita menjadi manusia yang lebih baik hingga tercerahkan. Jika kita memandang perbedaan ini secara seimbang dengan melihat dari saat petapa Gotama mencapai mencapai pencerahan dibawah pohon Bodhi sebagai titik nol, maka tradisi Theravada (dari India ) menggunakan titik dimana Sang Buddha mencapai kesucian sebagai titik nol dan ke depan, sedangkan tradisi Mahayana (dari Tiongkok – dan menyebar lagi ke Tibet sebagai aliran Vajrayana) menggunakan titik Sang Buddha mencapai kesucian sebagai titik nol dan ke belakang.

Oleh karena itulah dalam tradisi Theravada lebih banyak diajarkan khotbah-khotbah Sang Buddha yang dibabarkan setelah Beliau mencapai pencerahan, sedangkan Mahayana lebih menitikberatkan ajarannya tentang Bodhisatta, tentang pengumpulan kebajikan/ menyempurnakan parami-parami. Karena sebelum pangeran Siddharta mencapai Buddha, beliau juga seorang Bodhisatta dan jadi inilah yang diajarkan dalam aliran dari Tiongkok. Dengan kata lain, kedua tradisi yang berbeda ini pembahasannya tetap sama, hanya sudut pandang saja yang berbeda. Tetapi intinya tetap sama, karena keduanya menceritakan riwayat hidup Sang Buddha, hanya saja yang satu lebih banyak mengajarkan waktu sebelum pangeran Siddharta menjadi Buddha sedangkan yang satunya lagi lebih banyak mengajarkan waktu setelah pangeran Siddharta menjadi Buddha.

Meski demikian, anda tidak akan pernah menemukan ada dari kedua tradisi besar agama Buddha yang mengajarkan menurut pribadi-pribadi yang lain selain sang Buddha. Tidak akan pernah ada yang mengajarkan “Kalo menurut Si Budi atau Si Christine...” tetapi pastinya semua yang diajarkan dalam agama Buddha adalah “Menurut Buddha....”

Dengan kata lain, boleh dikatakan bahwa tradisi yang ada sama-sama mengajarkan Satu Dhamma yang tidak mungkin berbeda, yaitu Empat Kesunyataan Mulia , yang isinya adalah Hidup berisi ketidakpuasan, ketidakpuasan itu ada sebabnya, sebab itu bisa dihilangkan sehingga orang bisa mencapai kebahagiaan sejati dan cara mengatasi ketidakpuasan yang disebabkan oleh keinginan yang disebut dengan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Tidak mungkin ada akan mengatakan bahwa Kesunyataan Mulia ada 5, atau pula mengatakan bahwa Jalan Mulia berunsur Sembilan.

Kita memilih tradisi karena kecocokan, jadi janganlah karena memilih tradisi yang satu kemudian mengatakan tradisi yang lain salah. Selama aliran atau tradisi itu mengajarkan Empat Kesunyataan Mulia, Jalan Mulia Berunsur Delapan, dan Hukum Karma, maka itulah Buddha Dhamma. Yang juga harus kita ketahui dengan pasti bahwasannya Dhamma atau ajaran dari semua Buddha adalah Sama, tidak mungkin berbeda dan itulah sebabnya hanya ada 1 Dhamma.

Sekali lagi, inilah yang dinamakan perbedaan yang indah itu, yang dapat menambahkan seni dalam kehidupan kita. Kelihatan beraneka, namun di dalamnya tetap hanya ada 1 Dhamma (Kebenaran). Bagaikan gelas yang dibuat dengan berbagai macam bentuk dan motif, namun sesungguhnya itu tetap sebuah gelas yang fungsinya sama, hanya kita sendiri yang melihatnya sebagai berbeda dan menjadi kompleks. Begitu juga dengan kedua tradisi yang berbeda, pikiran kita sendirilah yang melabelinya dengan berbagai macam merk.

Janganlah puas menjadi umat Buddha yang hanya percaya dengan membaca buku-buku, kitab suci atau mendengar Dhammadesana dari Bhikkhu Sangha. Tetapi setelah percaya kita juga harus EHIPASSIKO dengan mempraktekkan sendiri ajaran Buddha itu sehingga bila terbukti kita baru bisa yakin.

(Dikutip dari B+Magz Edisi 7 Bulan Agust-Sept 2008)

Tentang Kebenaran







Berbicara tentang Kebenaran, itu adalah biasa. Kebanyakan agama mengakui bahwa mereka - hanya kepunyaan mereka masing-masing - yang mengandung Kebenaran (kalau tidak begitu bagaimana mereka bisa mempromosikan keberadaan mereka, dan mendapatkan serta mempunyai pengikut?) Tetapi siapa yang dapat mempertunjukkannya? Ketika ditanyai tentang hal itu, mereka meminta dengan tegas agar kita harus mempercayainya sebelum kita dapat melihatnya.

Banyak dari sekte/aliran kepercayaan yang ada tersebut mengakui bahwa ajaran mereka saja yang benar, sedangkan yang lainnya tidak. Tetapi siapakah yang benar? Apakah mereka semuanya benar, atau apakah mereka semuanya salah? Apakah mereka sebagian benar atau sebagian salah? Bagaimana kita bisa tahu? Mungkin kita bisa tahu dengan mencoba menemukan APA yang benar, dan SIAPA yang benar.

Pertama-tama, Kebenaran haruslah bersifat universal, kalau tidak ia tidak akan menjadi Kebenaran, bukanlah demikian? Sebagai contoh, api adalah panas dan air adalah basah; mereka sudah begitu sebelumnya, juga begitu sekarang, dan akan begitu nantinya; ini tidak dapat disangkal atau dibantah. Kedua, karena mudah menyebar ke semua penjuru, ia tidak dapat digenggam dan dimonopoli oleh tangan-tangan kotor yang sedikit; tidak pula ia dapat diklaim oleh pikiran-pikiran icik yang ekstrim, seperti barang-barang yagn bisa dimiliki. Ia jauh melampaui apapun yang dapat kita sebut sebagai tanda kemilikan, seperti "AKU", "DIRIKU". dan "MILIKKU". Tidak ada kotak, pembatas, dinding, atau nama yang dapat menggapainya. Demikian pula kata "Kebenaran", adalah bukan kebenaran.

Apakah yang Sang Buddha katakan tentang Kebenaran? Beliau menjelaskan tentang bagaiamna segala sesuatunya, dari sebuah batu kerikil sampai dengan bintang-bintang yang ada di alam semesta yang maha luas ini, yaitu tunduk kepada hukum-hukum. Semuanya terkena oleh hukum ini, yaitu hukum tentang Sebab-Akibat/ Tiada satu pun - baik makhluk hidup maupun benda mati - yang berada di luar jangkauan. Hukum ini, Ini diikuti pula dengan segala sesuatunya selalu dalam keadaan berubah, menjadi sesuatu yang lain, seperti yang telah dibuktikan oleh ilmu pengetahuan.

Tidak ada sesuatu yan terjadi secara kebetulan di Alam Semesta ini; semuanya adalah akibat dari berbagai sebab. Coba perhatikan segeggam pasir di pantai. dengan berbagai sebabnya. Pikirkan segenggam pasir di pantai, dna apa yang terkait dengannya; satu hal menjadikan hal lainnya, yang merupakan satu mata rantau yang bersambungan; ia tidaklah semata-mata pasir yang sederhana. Jika anda mencoba untuk menelusuri asalnya, anda akan mendapatkan bahwa seluruh semesta ini terlibat di dalamnya, dan tetap belum juga menemukan asalnya. Agama Buddha mengatakan bahwa Semesta ini dapat diketemukannya di segenggam pasir dan di segala sesuatunya juga!

Ini berarti bahwa segala sesuatu adalah saling berkaitan, dan karena itu segala sesuatu adlah saling bergantungan satu dengan lainnya, meskipun kita biasnanya tidak melihat hal ini, karena hal ini membutuhkan insight yang dalam, yang menembus dan jelas. Kita bisa membandingkan semesta ini dengan sebuah jaring ikan mengangkat satu simpulnya, maka anda mengangkat keseluruhan jaring itu. Segala sesuatu adalah suatu bagian kecil dari suatu keseluruhan, karena ia terdiri dari atom-atom, yagn tersusun dari partikel-partikel yang lebih kecil, yaitu elektron-elektron, proton-proton, dan netron-netron, yang selalu dalam keadaan bergerak. Oleh karena itu, apa yang kita sebut'benda padat' dadalah sama sekali tidak padat, tetapi hanyalah berupa energi. Tiada sesuatupun yang eksis di dalam dirinya dan oleh dirinya sendiri; oleh karena itu, segala sesuatu adalah kosong dari diri.

Akan tetapi, ini adalah sesuatu yang tidak diinginkan sama sekali oleh kebanyakan orang; yang mereka inginkan adalah sesuautu yang dapat mereka pegang, miliki, dan akui sebagai 'milkki, bukan milikmu'; mereka berharap mampu mengeluarkan yang lain-lain dari Kebenaran MEREKA. Dari sinilah mendorong timbulnya begitu banyak teori tenteng Kebenaran.

Apakah kita mengetahuinya atau tidak, suka atau tidak, percaya atau tidak, itu tidaklah penting; kita semua tunduk kepada hukum-hukum, disapu bersih, menjadi yang lainnya. lebih lanjut, hukum hukum ini bukanlah sesuatu yang suci atau sakral; berdoa kepada mereka untuk meminta belas kasihan atau pengampunan, tak akan mengubah apapun; tidak akan ada jawaban. Bila kita mengerti tentang mereka dan belajar bagaimana menggunakan mereka, bertindak sesuai dengannya dan tidak bertentangan dengannya, kita akan tahu bagaiamna mengarahkan hidup kital kita akan memegang sendiri roda-kemudinya.

Untuk dapat melihat bekerjanya hukum-hukum ini, tidaklah membutuhkjan kepercayaan sama sekali, karena ia selalu terjadi di dalam dan di sekitar kita. Jika kita memilih untuk mengabaikannya, seperti banyaknya dari kita begitu, dan berpura-pura sebagai yang sebalimyua, maka itu bukanlah kesalahan dari apa yang ada, tetapi dari ketidak-dewasaan kita sendiri.

Mengenai banyaknya orang-orang yang mengakui bahwa mereka telah menemukan Kebenaran (atau mengajarkan tentang Ketuhanan), Sang Buddha memberikan sebuah gambaran. Beliau berkata: "Andaikata ada seorang pria yang mengatakan bahwa ia mencintai wanita yang paling cantik di dunia ini, tetapi siapakah itu, ketika ditanya namanya, mengatakan ia tidak tahu. Ketika lebih lanjut ditanya tentang di mana ia tinggal, siapa orang tuannya, berapa usiannya, apa warna rambut dan kulitnya, dan sebagainya, ia juga mengatakan bahwa ia tidak tahu. Dari pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban tersebut, itu telah mengungkapkan bahwa si pria yang mengatakan mencintai wanita yang paling cantik di dunia ini, tanpa sebanyak itu melihat wanita itu atau mengetahui apapun tentang wanita itu, hanyalah bicara omong kosong".

Orang-orang berharap./berandai-andai yang banyak, tetapi memiliki sedikit pengetahuan tentang hal-hal yang mereka harapkan. Apa yang tertulis di satu buku atau di dalam buku-buku yang setinggi gunung, tak akan pernah menjadi bukti untuk meyakinkan tentang Kebenaran, karena Kebenaran haruslah dialami.dirasakan secara langsung oleh diri sendiri. Zen, satu aliran dari agama Buddha, mengajarkan: "Tiada sesuatu yang bisa dipecaya/digantungi dari kitab-kitab suci atau sumber-sumber yang di luar, melainkan hanya melalui penglihatan yang langsung ke dalam batin!" Siapapun bisa menulis sebuah buku - lihat saja seperti buku ini! - tetapi apakah ini berarti isinya adalah benar?

Pendekatan agama Buddha terhadap kehidupan adalah denganmeneilit bagaiaman ia adannya, bukan dengan cara percaya atau perkiraan. Ia tidak berusaha untuk menjelaskan asal mula dari segala sesuatu, dan tersenyum kepada mereka yang melakukan itu, karena tidak seorangpun yang tahu, dan tidak pula bisa diketahui. Lebih lanjut, ia menganggap usaha-usaha untuk menemukannya sebagai hal yang sia-sioa dan buang-buang waktu, karena asal mula pertama dari segala sesuatu tidaklah dapat dilihat/diketahui. Akhir dari sesuatu adalah selalu awal dari sesuatu lainnya, satu benda/hal berubah menjadi benda/hal yang lainnya, dan karenanya tidak ada awal/asal mula atau akhir dari segala sesuatu. Karena masa lalu telah berlalu, dan satu-satunya waktu yang selalu ada hanyalah saat SEKARANG, maka penekanannya adalah pada KEHIDUPAN - bukan hanya pada KEBERADAANNYA - pada saat ini.

Pencarian terhadap Kebenaran adalah suaut kontradiksi, seperti membawa sebuah lilin untuk mencari Matahari. Bukankah matahari selalu bersinar, apakah kita mencarinya atau tidak? Mengapa kita membuat segala sesuatu menjadi sebuah misteri? Kebenaran bukanlah sebuah gagasan; gagasan-gagasan tentang Kebenaran adalah bukan suatu Kebenaran. Setiap orang mempunyai gagasan tentang Kebenaran - yang mentah ataupun yang rumit - tetapi mereka biasannya bersifat subyektif, penggambaran yagn berpusat pada diri./ego.

Kebenaran haruslah terdapat di mana-mana, pada segala sesuatunya. Tetapi kita tidak melihatnya karena kita mencarinya di jalan yang salah - karena, kenyataannya, kita lalai. Pikiran kita biasannya berada di suautu masa lainnya, tidak di saat ini, bermimpi tentang masa lalu atau masa yang akan datang, meragukan tentang Kebenaran atau Pencerahan. Surga atau neraka. Dan mungkin kita tidak ingin melihat Kebenaran, karena itu mungkiun tidak sesuai dengan gagasan dan keinginan kita. Jadi kita berbelok dan mencari Kebenaran-Kebenaran lainnya, dan yang lainnya, dan yang lainnya, dan kita tak pernah menemukan yang sebenarnya / yang sejati.


[
Sumber: Against The Stream, by beachcomber, Malaysia,1998. Alih Bahasa: Lindawati T. Dikutip dari Bk Mutiara Dhamma XIV ]

Sabtu, 25 September 2010

Nasib, Dapatkah Di Ubah?




Nasib, Dapatkah Di Ubah?

Oleh: Yang Mulia Bhikkhu Uttamo Thera



PENDAHULUAN
Kemajuan jaman telah banyak mengubah perilaku manusia. Semakin lama semakin marak penggunaan teknologi canggih untuk mempermudah seseorang menjalani kehidupan. Seseorang yang ingin mengadakan perjalanan jauh, semula hanya mampu mempergunakan mobil, kini ia dapat menggunakan pesawat terbang. Pemanfaatan pesawat TV meningkatkan perolehan arus informasi global yang semula hanya didapat dari surat kabar dan radio saja. Demikian banyak segi kehidupan yang telah dipengaruhi oleh kemajuan jaman. Akan tetapi, meskipun jaman telah banyak berubah, masih cukup banyak sikap dan cara berpikir masyarakat yang relatif tetap. Konsep tentang nasib, misalnya. Sampai saat ini, masih banyak orang yang mempercayai adanya nasib. Mereka menganggap nasib telah ditentukan terlebih dahulu sebelum seseorang dilahirkan ke dunia. Nasib berlaku sejak dilahirkan sampai dengan meninggal. Nasib ini tidak akan dapat diubah walau sedemikian hebat seseorang berusaha memperbaikinya. Konsep ini memang sangat sederhana dan bermanfaat untuk membuat seseorang lebih mudah menerima penderitaan dalam kehidupan. Apabila mereka menjumpai kesulitan hidup yang tidak terpecahkan, maka jalan keluarnya adalah menyalahkan nasib buruknya sendiri dan akhirnya mereka akan tenang. Namun, apakah hal ini ada di dalam pengertian Buddhis?

Umat Buddha yang mengerti sedikit-sedikit Ajaran Sang Buddha menyadari bahwa segala sesuatu dalam kehidupan ini tidak kekal, selalu berubah. Hal ini memang sesuai dengan pengertian yang telah diuraikan oleh Sang Buddha. Oleh karena itu, mereka juga menyadari bahwa nasib pun tidaklah kekal. Artinya, nasib dapat diubah. Namun, cara untuk mengubah nasib inilah yang tidak tepat, tidak sesuai dengan Ajaran Sang Buddha. Banyak orang dalam suasana tahun baru mengunjungi para tukang ramal untuk mengetahui nasib dan masa depan mereka. Apabila sang peramal mengatakan bahwa pada tahun itu nasib mereka baik maka sungguh bahagia mereka. Sebaliknya, bila si peramal memberikan kabar buruk, mereka menjadi gelisah, cemas dan takut. Mereka kemudian bertanya dan memohon kepada si peramal untuk mengadakan upaya atau upacara tertentu yang dapat membebaskan mereka dari nasib buruk. Mereka menghabiskan banyak uang untuk mengadakan upacara tertentu tersebut agar dapat selamat dari penderitaan. Apakah hal ini bermanfaat? Kadang memang dapat memberikan manfaat, tetapi lebih sering mereka menjadi mangsa empuk paranormal gadungan. Justru pada akhirnya si paranormal lah yang lebih bahagia daripada 'mangsanya'.


Agama Buddha memang melihat kehidupan ini tidaklah kekal, selalu berubah. Dengan demikian, memang benar bahwa nasib seseorang pun dapat berubah. Nasib sesungguhnya adalah merupakan kumpulan buah perbuatan baik maupun buruk yang telah pernah dilakukan seseorang. Salah satu sabda Sang Buddha yang sangat terkenal tentang ini adalah: "Sesuai dengan benih yang ditabur, begitulah buah yang akan dipetiknya. Pembuat kebajikan akan mendapatkan kebajikan dan pembuat kejahatan akan menerima kejahatan pula. Tertaburlah olehmu biji-biji benih dan engkau pulalah yang akan memetik buah-buah dari padanya" (Samyutta Nikaya I, 227).Jelas sudah sekarang bahwa suka dan duka adalah buah perbuatan sendiri. Dengan demikian, nasib pasti dapat diperbaiki dengan melakukan suatu tindakan tertentu. Agar lebih jelas memahami Ajaran Sang Buddha yang dapat dipergunakan untuk mengubah nasib maka disusunlah makalah ini. Namun, agar terhindar dari kerancuan pengertian istilah 'nasib' yang telah berkembang di tengah masyarakat bahwa nasib tidak dapat diubah maka dalam makalah ini digunakan istilah yang lebih sesuai yaitu Kamma (Pali) atau Karma (Sanskerta). Istilah 'kamma' memang telah dipergunakan oleh Sang Buddha sendiri. Dalam pembahasan makalah akan digunakan istilah yang cukup memasyarakat yaitu 'karma'.

PEMBAHASAN

Pengertian akan adanya Hukum Karma sudah cukup lekat dalam masyarakat kita, baik di kalangan Umat Buddha maupun bukan. Walaupun pengertian itu masih bersifat setengah-setengah. Masyarakat dengan mudah mengatakan bahwa orang jahat yang kemudian tertimpa bencana itulah akibat buah karmanya. Sebaliknya, jarang terdengar bahwa orang baik yang hidup bahagia adalah juga akibat buah karmanya. Kebanyakan orang menganggap bahwa istilah 'karma' selalu berarti karma buruk. Padahal dalam pengertian Buddhis, karma berarti segala bentuk perbuatan yang dilakukan dengan niat (Anguttara Nikaya II, 82). Niat melakukan perbuatan ini dapat diwujudkan dengan prilaku badan, ucapan maupun tetap dalam pikiran saja. Perbuatan yang dilakukan dapat merupakan perbuatan baik maupun perbuatan buruk.

Memperhatikan perumpamaan yang diberikan Sang Buddha tentang Hukum Karma, dapatlah dimengerti bahwa Hukum Karma sebenarnya adalah Hukum Sebab dan Akibat. Apabila ada sebab maka timbul pula akibat; apabila hilang penyebabnya maka hilang pula akibat. Hukum Sebab dan Akibat ini adalah merupakan hakekat kehidupan. Oleh karena itu, ada beberapa kondisi alam yang juga dipengaruhi oleh Hukum Sebab dan Akibat.Kondisi ini diuraikan dalam Abhidhamma Vatara 54 sebagai HUKUM ALAM (Pancaniyama Dhamma) yaitu:

1.Bija Niyama:Hukum mengenai biji–bijian.
2.Utu Niyama:Hukum yang berkenaan dengan temperatur.
3.Kamma Niyama:Hukum Perbuatan.
4.Citta Niyama:Hukum akibat dari kemampuan pikiran.
5.Dhamma Niyama:Adanya gravitasi.
Hukum Karma (Kamma Niyama) ternyata adalah salah satu dari Hukum Sebab dan Akibat. Sesuai dengan prinsip dasar Hukum Sebab dan Akibat berarti setiap suka dan duka yang dialami pasti ada sebabnya. Apabila dapat mengatasi penyebabnya maka akibatnya pun dapat diubah. Jadi, kebahagiaan dapat dimunculkan dan penderitaan dapat dihindari asalkan mengetahui penyebab kebahagiaan dan penderitaan. Untuk dapat menumbuhkan kebahagiaan dan menghindari penderitaan, cara kerja karma harus diketahui terlebih dahulu. Pada kitab Visuddhimagga 601, cara kerja karma dibagi menjadi:
1.Karma yang menyebabkan kelahiran.
Pada saat kelahiran, seseorang tidak dapat menentukan sendiri agar dapat lahir dengan bentuk tubuh tertentu, jenis kelamin tertentu dan sebagainya. Apa yang didapat pada saat kelahiran adalah mutlak buah karma yang telah pernah diperbuat dalam kehidupan sebelumnya. Lahir sebagai lelaki atau wanita, lahir sempurna atau cacat adalah hasil kerja karma yang melahirkan berdasarkan timbunan karma baik maupun buruk yang dimilikinya.
2.Karma yang mendukung buah karma yang tengah dialami.
Kerja karma jenis kedua ini adalah memberikan tambahan atas karma yang muncul pada saat kelahiran. Apabila seorang anak lahir dengan lebih banyak memiliki karma baik sehingga ia mempunyai bentuk tubuh indah, sehat, ganteng / cantik, dan sempurna maka karma yang mendukung memberikan nilai tambah lagi yaitu, misalnya ia lahir dalam keluarga kaya raya, keturunan yang terhormat, dan seterusnya.
Sebaliknya, anak yang lahir dengan timbunan karma buruk yang cukup banyak sehingga ia memiliki tubuh cacat, wajah buruk maka akan ditambah pula dengan kelahirannya di keluarga pra sejahtera, dan kondisi keluarga yang amburadul.
Inti kerja karma ini adalah jika seseorang lahir bahagia maka akan ditambah kebahagiaannya; bila saat lahir sudah menderita maka ditambah pula menderitaannya.
3.Karma yang mengurangi buah karma yang sedang dialami.
Kehidupan bahagia dan tambah bahagia serta mereka yang menderita semakin menderita ternyata masih dapat diperbaiki. Kebahagiaan dapat ditingkatkan dan penderitaan dapat dikurangi. Inilah yang menjadi tugas karma jenis ini. Namun, tugas tersebut harus dilaksanakan sendiri. Artinya, mereka yang ingin tambah bahagia dan menghindari penderitaan harus mampu melakukan perbuatan baik. Ada banyak perbuatan baik yang dapat dilaksanakan. Dalam bagian lain makalah ini nanti akan dibahas satu demi satu.
Pengertian tentang cara kerja karma jenis inilah yang akan dapat memberikan makna dalam kehidupan. Orang akan terdorong untuk melakukan kebajikan karena menyadari bahwa buah kebahagiaan akan dialami sendiri. Sebaliknya bila ia mengalami kesulitan, ia tidak akan putus asa karena sadar bahwa ia sendirilah yang dapat mengubah tangis menjadi tawa. Dari sinilah semangat hidup dapat dibangkitkan. Dari sini pula dibangkitkan kelebihan manusia sebagai penentu suka duka hidupnya sendiri. Tidak akan ada kekecewaan di kala menderita; tiada kesombongan di kala suka karena orang telah menyadari bahwa segala suka dan duka yang dialami adalah hasil perbuatannya sendiri.
4.Karma yang memotong karma yang menyebabkan kelahiran.
Perubahan yang sangat drastis akibat perbuatan sendiri dapat menimbulkan jalan hidup yang bertentangan dengan karma yang dialami sewaktu dilahirkan. Seseorang yang sempurna tubuhnya dan lahir dari keluarga bangsawan namun ia suka mabuk-mabukan akan dapat mengakibatkan dia menderita selamanya, misalnya apabila ia mengalami kecelakaan lalu lintas yang berakibat cacat seumur hidup. Dengan demikian, hilang kesempurnaan tubuhnya dan tidak ada lagi arti keturunan bangsawan yang dimilikinya.
Sebaliknya orang yang buruk wajahnya dan lahir dikeluarga miskin, namun ia rajin dan penuh kejujuran maka ia dapat memperoleh kepercayaan dari atasannya untuk jabatan penting tertentu dalam suatu perusahaan, misalnya. Jabatan penting yang dipercayakan kepadanya akan dapat memperbaiki kondisi ekonominya yang semula sulit. Jabatan itu juga menyebabkan ia menjadi orang terhormat yang bertolak belakang dengan keadaan yang dialaminya sewaktu ia dilahirkan.

Dengan mengerti cara kerja karma di atas, maka segala perbuatan baik dan buruk yang kita lakukan adalah termasuk dalam jenis karma kelompok ketiga: Karma yang mengurangi buah karma yang sedang dialami. Apabila banyak perbuatan baik yang kita lakukan, maka kebahagiaan dapat terus ditingkatkan dan penderitaan dapat dikurangi. Sedangkan perbuatan jahat harus dihindari karena akan dapat menurunkan kebahagiaan dan meningkatkan penderitaan yang tengah dialami. Inilah kunci penting perubahan karma. Dalam Dighanikaya Atthakatha III, 999terdapat sepuluh jalan berbuat kebaikan (Dasa Puññakiriyavatthu) yaitu:
1.Dãnamaya: Memberikan dana/kerelaan
Dana atau kerelaan dalam Agama Buddha adalah menjadi dasar segala perbuatan baik. Tidak akan ada perbuatan baik yang dilakukan seseorang apabila ia tidak memiliki kerelaan. Dana yang dimaksudkan di sini tidaklah selalu hanya berhubungan dengan uang ataupun materi saja. Dana yang dibicarakan adalah dana yang bersifat materi dan juga dana yang tidak bersifat materi. Dana yang bersifat materi lebih biasa didengar, sedangkan salah satu contoh dana yang bersifat bukan materi adalah kesediaan seseorang memberi maaf kepada orang yang bersalah. Pada tingkat awal, orang memang dianjurkan berdana dalam bentuk materi, misalnya uang, pakaian, makanan maupun kebutuhan yang lain. Sesungguhnya makna dana ini adalah menumbuhkan kebiasaan berpikir untuk membahagiakan mahluk lain. Bahkan, semua mahluk. Ia akan membahagiakan mereka dengan segala macam cara. Menumbuhkembangkan pikiran yang penuh cinta kasih. Dalam Jataka 37 disebutkan bahwa apabila seseorang memiliki pikiran penuh cinta kasih maka ia akan merasa welas asih kepada semua mahluk di dunia. Semua mahluk yang ada di atas, di bawah dan di sekelilingnya, tak terbatas di manapun juga. Apabila sikap ini sudah dapat terbentuk dengan kemampuan materi, maka dapat dilanjutkan dengan memberikan hal-hal yang bukan materi. Mau mendengarkan kesulitan orang lain adalah juga termasuk berdana yang bukan materi.
2.Sîlamaya: Menjaga sila (kemoralan)
Pelaksanaan kemoralan ditujukan agar seseorang selain mampu berbuat baik, ia hendaknya juga mampu mengendalikan dirinya, mengendalikan tingkah lakunya. Dalam pelaksanaan sila, sebagai permulaan, seseorang dapat melatih lima sila atau disebut juga sebagai Pancasila Buddhis dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Lima latihan kemoralan itu adalah latihan untuk tidak membunuh dan menganiaya mahluk hidup, tidak mencuri, tidak melanggar kesusilaan, tidak berbohong dan tidak mabuk-mabukan (Anguttara Nikaya III, 203). Tujuan dari pelaksanaan sila ini agar si pelaku tidak memiliki kesalahan yang dapat merugikan diri sendiri maupun pihak lain. Dengan pelaksanaan sila, selain si pelaku dapat diterima sebagai anggota masyarakat yang baik, ia pun juga termasuk melakukan karma baik. Dalam Theragatha 608 disebutkan bahwa di sini, di dunia ini, seseorang haruslah melatih dengan cermat untuk menyempurnakan kemoralan, karena kemoralan apabila dikembangkan dengan baik akan menghantarkan semua keberhasilan ke dalam genggaman. Selanjutnya, apabila pelaksanaan latihan lima sila ini ingin ditingkatkan, maka seseorang dapat melatih delapan sila sehari dalam seminggu. Lebih meningkat lagi adalah dengan melaksanakan sepuluh sila yaitu dengan menjadi samanera sementara ataupun tetap. Paling banyak latihan sila adalah dengan melakukan bhikkhu sila yaitu melatih 227 peraturan kebhikkhuan.
3.Bhãvanãmaya: Mengembangkan batin
Berdana dan melaksanakan kemoralan adalah latihan pembentukan kebiasaan yang masih berkaitan dengan unsur fisik seseorang. Kedua latihan ini sudah cukup baik, namun masih harus ditingkatkan. Apabila seseorang hanya melatih diri sampai pada unsur fisik saja, maka ia akan menjadi orang yang munafik, pandai berpura-pura; baik kelakuan tetapi jahat pikirannya. Ia hendaknya juga melatih pikirannya dengan meditasi. Meditasi sebaiknya dilatih setiap hari, pagi dan sore hari paling sedikit 15 menit atau 30 menit setiap latihan. Melalui meditasi orang dibiasakan berpikir yang baik, berkonsentrasi pada segala hal yang sedang dipikirkan, dikerjakan dan diucapkan. Tujuan utama meditasi adalah membentuk kebiasaan berpikir, hidup adalah saat ini. Pikiran seseorang sering melayang ke masa lampau ataupun yang akan datang, akibatnya timbullah perasaan suka dan duka. Suka adalah sebagai akibat tercapainya keinginan di masa lampau atau karena membayangkan kebahagiaan yang akan diperoleh di masa depan. Sebaliknya duka adalah karena keinginan di masa lampau tidak tercapai atau ketakutan membayangan masa yang akan datang. Padahal, keduanya adalah tipuan pikiran belaka. Di masa lampau seseorang pernah hidup tetapi ia sudah tidak hidup di masa itu lagi. Sedangkan masa depan, ia akan hidup tetapi belum tentu hidup. Hidup adalah saat ini. Ketakutan maupun kebahagiaan semu justru akan menyia-nyiakan kenyataan bahwa saat inilah seseorang sedang hidup!
4.Apacãyanamaya: Bersikap rendah hati dan menghormati mereka yang lebih tua
Rendah hati adalah salah satu bentuk latihan mengurangi keakuan. Keakuan menjadikan seseorang merasa sebagai tokoh utama dalam hidup ini. Tanpa dirinya seakan dunia tidak akan berputar lagi. Padahal menurut Buddha Dhamma kehidupan ini sesungguhnya dicengkeram oleh Hukum Sebab dan Akibat. Artinya, seseorang mampu mencapai kondisi seperti saat ini pasti ada sebabnya. Dan dari salah satu penyebab tersebut, pasti juga akan melibatkan pihak lain. Seseorang tidak akan pernah mampu untuk hidup sendirian dalam dunia. Ia pasti membutuhkan pihak lain untuk saling membantu. Oleh karena itu, apabila telah disadari bahwa orang tidak dapat hidup sendirian, maka orang akan mampu mengurangi rasa keakuan, mengikis kesombongan. Orang akan dapat hidup hormat menghormati. Orang akan menghormati mereka yang patut memperoleh penghormatan. Orangtua misalnya, adalah orang yang menyebabkan seseorang ada di dunia ini. Mereka pula yang membesarkan dan mendidik anak-anaknya. Oleh karena itu, sudah selayaknya mereka memperoleh penghormatan. Demikian pula dengan kakak yang mungkin juga telah ikut berperan dalam menjaga dan menghindarkan seseorang dari bahaya. Para guru juga memiliki jasa dalam memberikan ilmu pengetahuan kepada murid-muridnya. Serta masih sangat banyak pihak lain lagi yang amat berjasa dan berpengaruh dalam kehidupan seseorang.
Penghormatan selain sebagai sarana mengurangi keakuan, juga untuk membiasakan seseorang agar dapat mengenal budi baik orang lain. Dalam Anguttara Nikaya I, 87 dinyatakan bahwa terdapat dua tanda yang dimiliki oleh orang yang sulit dijumpai di dunia ini. Kedua tanda itu adalah, pertama, orang tersebut memiliki kemampuan dan kemauan untuk memberikan pertolongan kepada pihak lain, tanpa mengharapkan imbalan apapun juga. Kedua, orang tersebut memiliki kesadaran atas kebaikan yang telah pernah diterimanya dan berusaha untuk berbuat baik kepada fihak tersebut dengan lebih besar daripada kebaikan yang pernah diterimanya. Sesungguhnya, adalah satu perbuatan baik yang dapat cepat mengubah karma seseorang apabila ia dapat mengingat jasa kebaikan orang lain, memberikan penghormatan yang selayaknya serta membalas kebaikan mereka.
5.Veyyãvaccamay: Membantu dan bersemangat dalam melakukan hal yang patut
Perbuatan baik tidak berarti hanya berusaha menghindari kejahatan dengan melatih kemoralan. Menghindari melakukan kejahatan adalah salah satu bentuk perbuatan baik yang dikategorikan kebaikan pasif. Sebutan ini diberikan karena sifat perbuatan baik tersebut dilakukan dengan usaha menahan diri untuk tidak mengerjakan sesuatu (kejahatan). Selain itu, ada pula perbuatan baik secara aktif. Maksud perbuatan baik jenis ini adalah seseorang didorong secara aktif dan terus menerus untuk melakukan kebajikan sesuai dengan tuntunan Ajaran Sang Buddha. Banyak disebutkan dalam Dhamma tentang anjuran melakukan kebajikan. Anjuran untuk menolong mahluk lain, berdana, mengembangkan kejujuran serta masih banyak lagi bentuk perbuatan baik lainnya. Selain melakukan sendiri, seseorang hendaknya juga mau menganjurkan orang lain melakukan kebajikan yang sama dengan yang telah dilakukannya sendiri. Perbuatan ini dapat digolongkan sebagai berdana Dhamma. Bukankah dalam Dhammapada XXIV,21 disebutkan bahwa pemberian Dhamma dapat mengalahkan segenap pemberian lainnya?
6.Patidãnamaya: Melimpahkan jasa baik kita
Walaupun dalam Hukum Sebab dan Akibat disebutkan bahwa si pelaku akan memperoleh buah perbuatannya sendiri, perbuatan baik ternyata dapat dilimpahkan jasanya. Proses ini digambarkan dengan seorang anak yang menuntut ilmu di kota lain memberitakan kabar kelulusannya kepada orangtuanya di kota kelahirannya. Mendengar kabar gembira ini, ayah dan ibunya tentunya akan merasakan kebahagiaan. Padahal apabila direnungkan, si anak yang lulus tetapi mengapa orangtuanya juga merasakan kebahagiaan? Inilah yang disebutmuditã citta atau ikut bergembira atas kebahagiaan yang dirasakan oleh orang lain (Vibhangga 272 & 642).Muditã citta termasuk melakukan salah satu karma baik lewat pikiran. Oleh karena itu, kondisi sedemikian inilah yang dimunculkan oleh seorang Umat Buddha apabila melimpahkan jasa kebaikan yang dilakukannya kepada sanak keluarganya yang sudah meninggal. Sanak keluarga yang meninggal adalah seperti orangtua yang tinggal di luar kota (pada perumpamaan di atas), mereka akan ikut berbahagia atas kebajikan yang dilimpahkan kepadanya. Kebahagiaan ini berarti penimbunan karma baik lewat pikiran. Apabila pelimpahan jasa ini sering dilakukan, berarti makin banyak memberi kesempatan para leluhur menanam kebajikan. Akibatnya, apabila karma baik yang ditimbunnya sudah cukup, meninggallah mereka dari alamnya dan terlahir di alam yang lebih baik. Dengan demikian, pelimpahan jasa ini akan banyak memberikan manfaat. Pertama, manfaat didapat oleh si pelaku kebajikan sendiri. Kedua, para leluhur pun ikut menikmati kebajikannya sehingga memberikan kondisi terlahir di alam yang lebih baik. Ketiga, si pelaku dapat mengurangi keakuan, sebab semua kebajikan yang dilakukan diatasnamakan para leluhur. Keempat, obyek perbuatan baik yang menerima kebajikan juga akan memperoleh kebahagiaan. Minimal empat manfaat itulah yang dapat dirasakan dalam proses pelimpahan jasa. Oleh karena itu, dengan seringnya melakukan pelimpahan jasa akan mengkondisikan penanaman karma baik yang cukup banyak pula untuk semua fihak.
7.Pattãnumodãnamaya: Menerima dan bergembira atas perbuatan baik orang lain
Rasa berbahagia atas kebahagiaan yang didapatkan pihak lain, muditã citta, bukan hanya diperlukan untuk para leluhur yang sudah meninggal saja. Sikap pikiran yang baik ini hendaknya juga dimiliki oleh orang yang masih hidup. Hal ini karena sikap pikir ini jelas-jelas merupakan karma baik. Kebanyakan, orang merasa iri hati dengan kebahagiaan orang lain ataupun tidak senang apabila orang lain mempunyai kesempatan berbuat baik. Perasaan ini muncul karena sebagai orang yang belum mencapai kesucian, seseorang masih diliputi oleh ketamakan, kebencian dan kegelapan batin. Oleh karena itu, agar memperoleh ketenangan hidup dan sekaligus untuk menambah perbuatan baik, perasaan iri ini harus dikendalikan bahkan kalau dapat dimusnahkan. Cara memusnahkannya adalah dengan menyadari bahwa segala suka dan duka yang dialami seseorang adalah buah dari perbuatannya sendiri. Kesempatan berbuat baik dan kebahagiaan yang dialami seseorang adalah karena buah karma baiknya sendiri. Apabila seseorang sering menambah kebajikan, tentu saja kesempatan berbahagia semakin besar diperolehnya. Sebaliknya, penderitaan yang dialami seseorang juga akibat buah karma buruknya. Dengan demikian, seseorang hendaknya menghindari melakukan perbuatan yang tidak benar agar terhindar dari penderitaan. Dengan pengertian akan Hukum Sebab dan Akibat ini maka akan musnahlah iri hati dengan kebahagiaan orang lain; serta merasa sombong ketika melihat penderitaan orang lain.
8.Dhammasavanamaya: Mendengarkan Dhamma
Sebagai seorang Umat Buddha, seseorang wajib datang ke vihara mengikuti puja bhakti. Hal ini perlu ditegaskan di sini karena banyak manfaat yang diperoleh dari mengikuti puja bhakti. Pertama, sewaktu membaca ulang kotbah-kotbah Sang Buddha (Paritta) seseorang harus mempergunakan konsentrasi pikirannya. Dengan konsentrasi, maka ia akan terbebas dari pikiran yang buruk. Selama membaca Paritta pikirannya dapat diarahkan menuju ke kebaikan. Kedua, jika di kemudian hari seseorang dapat mengerti makna Paritta yang dibacanya, ia akan memperoleh pedoman hidup yang tiada taranya. Pedoman yang sederhana, mudah dilaksanakan dan membimbing orang untuk lebih percaya diri. Ketiga, di vihara seseorang diberi kesempatan untuk melatih meditasi yang merupakan salah satu sarana mengendalikan pikiran. Dengan pikiran terkendali, niatan melakukan perbuatan jahat dapat dikikis sedangkan niat berbuat baik dapat dipupuk. Keempat, di vihara seseorang memiliki kesempatan mendengarkan Ajaran Sang Buddha. Seperti yang telah diketahui bahwa Dhamma yang telah dibabarkan dengan sempurna oleh Sang Buddha adalah merupakan bekal penting dalam kehidupan. Inti sari Ajaran Sang Buddha adalah menumbuhkan sikap yang benar dalam menghadapi perubahan dalam hidup. Sebab orang sering kecewa dengan kenyataan hidup. Segala sesuatu yang diinginkannya tidak tercapai, sebaliknya hal yang diperoleh justru bukan yang diinginkannya. Mendengarkan Dhamma adalah ibarat memberikan tenaga tambahan pada batin seseorang yang mungkin lelah dalam menghadapi kenyataan hidup. Mendengarkan Dhamma menjadi penting karena banyak manfaat yang diperoleh. Kitab Anguttara Nikaya III, 248disebutkan beberapa manfaat mendengarkan Dhamma, yaitu:
a.Memperoleh pengertian yang belum pernah didengar sebelumnya.
b.Memperjelas hal yang telah pernah didengar sebelumnya.
c.Menghilangkan keraguan tentang hal yang telah pernah didengar.
d.Memberikan pengertian yang benar.
e.Menimbulkan pikiran yang jernih, terang, dan bahagia.
Mengingat cukup banyak manfaat datang ke vihara mengikuti puja bhakti, maka jelas sudah tidak akan ada lagi keraguan untuk melaksanakannya. Bukankah setiap orang ingin meningkatkan kualitas hidupnya? Bukankah orang ingin hidup lebih berbahagia daripada yang tengah dirasakan saat ini? Sering pergi ke vihara adalah merupakan salah satu cara mencapainya. Ikut puja bhakti dan mendengarkan Dhamma adalah cara efektif dan efisien untuk menambah kebajikan dan meningkatkan kualitas diri.
9.Dhammadesanãmaya: Memberikan kotbah Dhamma
Ajaran Sang Buddha yang telah pernah di dapat baik dari vihara maupun dari sumber-sumber lainnya hendaknya dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Pelaksanaan Dhamma ini jauh lebih penting daripada hanya sekedar menghafalkannya. Dengan mencoba menjalankan Ajaran Sang Buddha, seseorang akan dapat merasakan manfaat langsung. Merasakan manfaat Dhamma secara nyata ini hendaknya menjadi semangat untuk menceritakan dan mendorong orang lain agar melaksanakan Dhamma dengan baik pula. Dalam pengertian Buddhis, seseorang dihargai bukan karena banyaknya Dhamma yang dipelajari dan dimengerti tetapi adalah dari seberapa banyak Dhamma yang telah dilaksanakan dalam hidupnya. i>Dhammapada VIII, 3 menyebutkan bahwa daripada seribu bait syair yang tidak bermanfaat, adalah lebih baik satu kata Dhamma yang dapat memberikan kedamaian kepada pendengarnya. Jelaslah di sini bahwa kualitas lebih diutamakan daripada kuantitas. Oleh karena itu, bersedia menceritakan secara sederhana pengalaman sendiri setelah melaksanakan Dhamma akan mendorong orang lain mengikutinya. Menjadikan orang lain memiliki kesempatan mendapatkan pengalaman yang serupa, kebahagiaan. Keberhasilan menganjurkan orang melaksanakan Dhamma adalah merupakan Dhamma dana yang diakui akan memberikan buah terbesar melampaui segala bentuk pemberian lainnya. Banyak cara digunakan untuk membagikan pengalaman melaksanakan Dhamma. Cerita bebas atau 'ngobrol' Dhamma, ceramah resmi maupun hanya berupa 'kesaksian' Dhamma dalam forum terbatas, cetak buku Dhamma, membiayai anak asuh ke sekolah Buddhis, dsb. Adalah beberapa contoh cara memberikan Dhamma kepada orang-orang di lingkungan sendiri.
10.Ditthujukakamma: Membenarkan pengertian salah
Perbuatan baik yang kesepuluh ini adalah kelanjutan dari uraian yang kesembilan di atas. Seseorang pada saat akan membagikan pengalaman Dhamma, hendaknya memiliki tujuan. Salah satu tujuan pokok adalah untuk memberikan pengertian yang benar akan hakekat kehidupan. Cukup banyak pengertian yang tidak tepat yang beredar dalam masyarakat. Misalnya, tentang pengertian nasib yang tidak dapat diubah sama sekali atau cara mengubah nasib yang kurang sesuai. Akan menjadi tugas bersama para umat Buddha untuk memberikan pengertian benar dengan berlandaskan cinta kasih. Kasihanilah mereka yang masih belum mengerti. Janganlah mereka dimusuhi. Berilah kesempatan kepada mereka untuk meningkatkan kualitas dirinya. Dengan memiliki pola pikir demikian akan membangkitkan semangat para umat Buddha membagikan Dhamma secara bijaksana dan penuh cinta kasih serta kesabaran. Tindakan ini jelas-jelas akan menjadikan peningkatan karma baik kedua belah pihak secara maksimal. Pada akhirnya, mereka yang memupuk karma baik yang terbanyaklah yang akan segera mendapatkan kebahagiaan. Mendapatkan perubahan kualitas kehidupan.

KESIMPULAN

1.Segala sesuatu di dunia tidaklah kekal, selalu berubah.
2.Perjalanan hidup seseorang juga dapat berubah.
3.Perubahan perjalanan hidup ditentukan oleh perbuatannya sendiri.
4.Ada, paling sedikit, sepuluh perbuatan yang dapat mengubah kehidupan

[ Dikutip dari Naskah Simposium "Pengaruh Tata Letak Dan Perilaku Dalam Meningkatkan Kebahagiaan ]