Minggu, 05 Desember 2010

Suara Keheningan



Suara Keheningan
Oleh Yang Mulia Bhikkhu Ajahn Sumedho


Sewaktu Anda menjadi semakin tenang, Anda akan dapat mengalami suara keheningan di pikiran. Anda mendengarnya sebagai bunyi yang berfrekwensi tinggi, suatu bunyi dering yang selalu ada. Biasanya bunyi itu tidak pernah diperhatikan. Kini ketika Anda mulai bisa mendengar suara keheningan, bunyi itu merupakan tanda kekosongan - tanda keheningan pikiran. Anda selalu dapat kembali padanya. Bila Anda berkonsentrasi pada suara itu dan melihatnya, maka suara itu dapat membuat Anda merasa sangat damai dan bahagia. Sementara bermeditasi dengan obyek keheningan itu, Anda membiarkan kondisi-kondisi pikiran berhenti tanpa menekannya dengan kondisi yang lain. Kalau tidak, Anda hanya akan berakhir dengan tumpukan satu kondisi di atas kondisi-kondisi lainnya.
Proses menumpuk suatu kondisi di atas kondisi-kondisi lain itulah yang dimaksud dengan "membuat kamma". Misalnya, ketika Anda merasa marah, kemudian Anda mulai memikirkan hal lain untuk melarikan diri dari kemarahan itu. Anda tidak menyukai apa yang sedang terjadi di sini, jadi Anda menoleh ke sana. Berarti Anda melarikan diri. Tetapi jika Anda memiliki cara untuk berpindah dari fenomena yang terkondisi menuju yang tidak terkondisi, maka tidak akan ada kamma yang dibuat, dan kebiasaan-kebiasaan yang terkondisi itu akan memudar serta berhenti. Ini seperti suatu "katup pengaman" di pikiran, suatu jalan keluar, sehingga bentukan-bentukan kamma (sankhara) Anda, mempunyai jalan keluar, jalan untuk mengalir ke luar, bukan berlipat-ganda menciptakan sankhara-sankhara baru.
Satu masalah dalam meditasi adalah: banyak orang yang menganggap meditasi itu membosankan. Orang menjadi bosan dengan kekosongan. Lalu ingin mengisi kekosongan itu dengan sesuatu. Maka kita harus benar-benar sadar, bahwa walaupun pikiran tampaknya sangat hening, namun nafsu-nafsu keinginan dan kebiasaan-kebiasaan lama masih ada di sana. Nafsu-nafsu dan kebiasaan-kebiasaan itu akan datang dan menginginkan sesuatu yang menarik. Karena itu Anda harus sabar, bersedia untuk tidak memberikan perhatian pada kebosanan itu dan tidak menanggapi nafsu keinginan untuk melakukan sesuatu yang menarik. Merasa puaslah dengan kekosongan dari suara keheningan itu. Dan Anda harus bertekad kuat untuk memperhatikan kekosongan dari suara keheningan itu.
Tetapi ketika Anda mulai bisa mendengarkan dan memahami pikiran dengan lebih baik, ada kemungkinan bagi kita untuk merealisasikannya. Setelah berlatih bertahun-tahun, bentukan-bentukan kamma yang kasar akan melemah, sedangkan yang lebih halus juga mulai memudar. Pikiran menjadi lebih tenang dan jernih. Tetapi ini semua membutuhkan kesabaran, daya tahan, kesediaan untuk terus berpraktek di dalam segala kondisi, serta kesediaan untuk melepaskan kebiasaan-kebiasaan yang paling disenangi.
Orang mungkin percaya bahwa suara keheningan itu memang ada, atau bahwa itu merupakan suatu pencapaian. Tetapi yang penting dalam meditasi sebenarnya bukan pencapaian ini atau itu, melainkan perenungan kebijaksanaan tentang apa yang Anda alami. Cara untuk berefleksi adalah: bahwa apapun yang datang akan pergi; dan latihan ini merupakan latihan untuk mengetahui segala sesuatu sebagaimana adanya.
Saya tidak akan memberi Anda identitas apapun —tidak ada apapun yang dapat dilekati. Ketika mendengar suara itu, beberapa orang ingin tahu, "Apakah itu tingkat sotapanna (pemasuk arus)?" atau "Apakah kita memiliki jiwa?" Kita amat melekat pada konsep-konsep. Apa yang dapat kita ketahui hanyalah bahwa kita ingin mengetahui sesuatu, kita ingin memiliki label untuk "diri" kita. Jika ada keraguan tentang sesuatu hal, keraguan akan muncul dan kemudian ada nafsu yang menginginkan sesuatu. Tetapi latihan ini adalah latihan untuk melepas. Kita bertahan dengan apa yang ada saat itu, mengenali kondisi sebagai kondisi dan mengenali yang tak-terkondisi sebagai tak-terkondisi. Sesuatu yang sangat sederhana, sebenarnya.
Bahkan aspirasi keagamaan pun harus dilihat sebagai suatu kondisi saja! Bukan berarti bahwa Anda lalu tidak boleh memiliki aspirasi, tetapi Anda harus mengenali aspirasi itu sendiri sebagai sesuatu yang terbatas. Dan kekosongan pun bukanlah "diri". Kemelakatan terhadap ide kekosongan itupun kemelekatan, jadi itu harus dilepas! Dengan demikian, prakteknya menjadi praktek memalingkan diri dari fenomena yang terkondisi, bukan menciptakan kondisi baru lagi di sekeliling kondisi-kondisi yang sudah ada. Dengan demikian, apapun yang muncul di dalam kesadaran Anda - kemarahan atau keserakahan atau apapun - Anda tahu bahwa hal itu ada di sana, namun Anda tidak melakukan apapun terhadapnya. Anda dapat menoleh pada kekosongan pikiran, pada suara keheningan. Ini memberi jalan keluar bagi suatu kondisi (misalnya kemarahan) untuk berhenti; Anda membiarkannya pergi.
Kita memiliki kenangan tentang apa yang telah kita lakukan di masa lampau, bukan? Kenangan-kenangan itu muncul di dalam kesadaran bila ada kondisi-kondisi yang pas untuk memunculkannya. Itu adalah buah kamma karena kita telah melakukan sesuatu di masa lampau, telah bertindak karena kebodohan batin, dan melakukan sesuatu karena keserakahan, kebencian dan salah pandangan, dan sebagainya... Bila kamma itu datang di masa kini, orang masih mamiliki dorongan bagi keserakahan, kebencian dan salah pandangan yang muncul di pikiran sebagai buah kamma. Jika kita bodoh sehingga melakukan sesuatu karena bereaksi terhadap ini semua, jika kita tidak memiliki perhatian/kewaspadaan (sati), maka kita semakin banyak menciptakan kamma lagi.
Ada dua cara bagi kita untuk menciptakan kamma: dengan mengikutinya, atau berusaha untuk terbebas darinya. Jika kita berhenti melakukan kamma, siklus kamma memiliki kesempatan untuk berhenti. Buah kamma yang telah munculpun mempunyai jalan keluar, mempunyai "katup lolos" untuk dapat menuju penghentian.


Pengabdian Tiada Henti, 20 th Abdi Dhamma Sangha Theravada Indonesia(Naskah Asli: The Sound of Silence, Diambil dari buku: THE WAY IT IS, Penerbit: Amaravati Buddhist Monastrery-England.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar