Minggu, 26 Desember 2010

Antara Lidah Dan Sendok

 
Antara Lidah Dan Sendok
Oleh Yang Mulia Bhikkhu Uttamo Thera
 

Bagaikan lidah yang dapat merasakan setiap rasa sayur yang melewatinya, demikian pula orang bijaksana dapat mengerti Dhamma walaupun baru sejenak mengenalnya (Dhammapada Bala Vagga 65).

Di dalam Dhammapada dikatakan ada dua jenis perkenalan dengan Dhamma. Yang pertama adalah perkenalan biasa-biasa, selanjutnya tetap biasa-biasa saja. Diibaratkan seperti sendok. Sendok tidak pernah kepedasan. Tidak pernah begitu menyentuh lombok langsung berteriak kepedasan. Kenapa? Karena sendok tidak punya rasa. Menyendok sambal bisa, kuah juga mau. Apa saja boleh diambil dengan sendok. Menyendok yang baik dan menyendok yang jelek bisa pula. Sendok tidak bereaksi, karena dia tidak pernah merasakan rasa apapun yang menempel di tubuhnya.

Begitu juga dengan umat yang termasuk jenis ini. Datang ke vihara, ikut puja-bhakti, baca paritta, dan meditasi. Termasuk ngantuk dan melamunnya... Satu kali, dua kali, tiga kali, empat kali, satu bulan, dua bulan, setahun, dua tahun sampai sepuluh tahun mengenal Dhamma tetapi masih tetap biasa-biasa.

Ketika ditanya, setelah mengenal Dhamma selama sepuluh tahun apakah masih emosi? Jawabnya, masih. Apakah setelah mengenal dhamma sudah bisa meditasi? Belum. Beginilah jenis yang pertama, selalu mengantarkan sayur ke dalam mulut, tapi tiada pernah merasakan.

Namun ada jenis perkenalan dengan Dhamma yang mulanya biasa-biasa, selanjutnya makin menggebu-gebu. Ibaratnya lidah. Lidah itu luar biasa. Seandainya satu butir nasi dimasukkan ke dalam hamburger yang kita makan, pasti kita akan dapat merasakan nasi itu. Karena lidah kita sudah terbiasa dengan rasanya, meskipun cuma satu butir. Itulah kehebatan lidah. Luar biasa.

Demikian pula dalam mengenal Dhamma. Menjadi umat Buddha bukan dilihat sudah berapa lama sudah jadi umat Buddha. Itu bukan jaminan. Tetapi, yang penting adalah sudah seberapa jauh kita merasakan nikmatnya Dhamma.

Sabbam rasam dhammaraso jinati. Dari seluruh rasa, rasa Dhammalah yang paling unggul (Dhammapada Tanha Vagga 354)

HANYALAH OBJEK

Sudahkah kita merasakan Dhamma? Sudahkah kita merasakan manfaat Dhamma dalam kehidupan kita sehari-hari?

Perkenalan dengan Dhamma kadang hanya sejenak, perkenalan dengan Dhamma kadang hanya sepintas, kesannya itu. Nah, kita termasuk lidah ataukah sendok?

Kalau salah satu dari kita setelah mengenal Dhamma langsung merasakan manfaatnya, maka berbahagialah dia. Karena dia adalah "lidah" yang bermanfaat. Tetapi kalau sampai sudah duduk capek, namakara sampai dahinya hafal, ketika ditanya mengenai Agama Buddha masih tidak mengerti, kita mesti memperbaikinya karena masih kualitas sendok.

Darimanakah kita bisa mendapatkan Dhamma? Sebetulnya Dhamma ada di dalam kehidupan kita sehari-hari. Dhamma bukan hanya ada di buku-buku. Dhamma bukan hanya yang dibagikan oleh para bhikkhu. Satu contoh, kalau kita pergi ke vihara lalu melihat Buddharupang, maka itu sebetulnya adalah pelajaran Dhamma. Banyak orang yang sudah bernamakara berkali-kali kepada Sang Buddha tetapi nggak mengerti maksudnya. Kebiasaan? Wah, itu salah total.

Kebiasaan sebetulnya sering menimbulkan penyimpangan. Pernah di sebuah vihara terdapat kebiasaan aneh, setiap puja-bhakti harus ada anjing hitam yang diikat di bawah pohon bodhi di halaman vihara. Padahal, asal mulanya hanya karena bhikkhu kepala vihara senang memelihara anjing hitam dan selalu mengikatnya ketika sang bhikkhu melaksanakan puja-bhakti. Ketika bhikkhu kepala vihara meninggal, kebiasaan itu diteruskan tanpa tahu alasannya.

Itulah kebiasaan yang menyimpang. Kita juga sering begitu. Ketika ditanya, kenapa bernamakara? Biar dapat berkah sang Buddha? Oh....

Tidak ada pelajaran dalam Agama Buddha yang mengatakan bahwa dengan namakara bisa dapat berkahnya Sang Buddha. Tidak ada. Kita bernamakara, Sang Buddha tidak tersenyum. Kita tidak namakara, Sang Buddha tidak apa-apa. Tetapi bernamakara atau tidak, itu berhubungan dengan diri kita sendiri.

Pada saat kita bernamakara, sebetulnya pikiran, ucapan, dan perbuatan kita diarahkan kepada hal positif. Kita berusaha berkonsentrasi sehingga bernamakara tiga kali. Dengan bernamakara, kita membutuhkan waktu minimal setengah sampai satu menit untuk punya pikiran, ucapan, dan perbuatan benar. Kalau tiap hari melakukan kegiatan namakara, maka dalam satu bulan kita bisa punya tiga puluh menit pikiran, ucapan dan perbuatan benar. Satu tahun tiga ratus enam puluh menit.

Makin banyak kita namaskara, makin banyak kita menanam kamma baik. Patung Sang Buddha hanyalah sebagai obyek, sasaran, atau sarana kita untuk menanam pikiran, ucapan dan perbuatan benar. Begitu pula bernamakara pada seorang bhikkhu. Itu bukan namakara buat bhikkhunya. Bukan namakara sama jubahnya. Tetapi bhikkhunya sebagai obyek untuk menanam kamma baik lewat pikiran, ucapan dan perbuatan.

Ketika kita bernamakara pada Buddharupang, yang posisinya bumisparsa mudra, sebetulnya ini menunjukkan bahwa kita harus bertekad jangan sampai patah semangat sebelum mencapai cita-cita. Apapun yang menghalangi harus kita hadapi untuk mencapai tujuan akhir. Sebelum cita-cita tercapai jangan pantang mundur. Sekolah mau men-DO, tidak bisa. Kita harus berjuang keras sampai tidak ada kesempatan men-DO kita.

Kita harus bertekad, harus teguh, harus kuat. Kenapa? Karena kita melihat contohnya, Sang Buddha guru kita. Kalau guru kita berani bertekad kuat tidak akan beranjak dari meditasinya sebelum mencapai cita-cita (kesucian -red), maka kita pun juga sebagai murid-muridnya harus bisa. Ini adalah salah satu mudra. Ada banyak mudra, tapi yang diterangkan hanya satu mudra. Supaya kita sebagai umat Buddha tidak ada kata patah semangat. Harus selalu bersemangat. Kalau punya cita-cita, tetaplah teguh. Seperti yang dilakukan Sang Buddha.

SEKOLAH KEDUKUNAN

Lalu soal baca paritta. Tidak jarang di antara kita ada yang mau membaca paritta untuk hal yang aneh-aneh.
Bhante, paritta apa supaya tidak digigit anjing? Baca saja "Semoga semua makhluk hidup berbahagia." Kalau supaya nggak dicopet? "Semoga semua makhluk hidup berbahagia." Itulah parittanya.

Kenapa? Kadang-kadang kita suka aneh-aneh. Supaya tidak digigit anjing pakai paritta ini, agar tidak dicopet baca paritta itu. Jadinya kita seperti menghapal "mantra-mantra". Seperti sekolah kedukunan saja. Padahal Agama Buddha bukan begitu.

Sebenarnya membaca paritta juga mengarahkan kita supaya punya pikiran baik, ucapan baik, dan perbuatan baik. Sama seperti namakara tadi. Ini kalau kita tidak mengerti artinya. Tapi kalau mengerti, lain lagi.

Misalnya dalam paritta Abhinhapaccavekkhana disebutkan aku akan mengalami usia tua, aku belum bisa mengatasi usia tua, aku akan mati, dan aku belum bisa mengatasi kematian. Berarti kita bisa tua dan bisa meninggal. Padahal sekarang masih muda, masih belum meninggal. Mumpung masih muda, masih belum meninggal, kita harus mengembangkan kebaikan, belajar banyak paritta, belajar Dhamma, dan melaksanakannya dengan baik. Semangat hidup akan muncul untuk memanfaatkan setiap momen kehidupan dalam mengembangkan diri.

Inilah salah satu manfaat menjadi "lidah-lidah" Dhamma. Sebagai lidah, kita langsung bisa merasakan rasa asin, manis, dan asam. Demikian pula sebagai umat Buddha, walaupun baru sekali kita mengenal Dhamma tetapi kalau kita mengerti intinya bahwa Dhamma adalah pembawa semangat kehidupan, sehingga tidak akan pernah ragu, tidak pernah patah semangat, maka hidup kita akan selalu diisi dengan prestasi, hasil gemilang dari usaha dan perjuangan kita.

Jadilah lidah yang baik. Janganlah menjadi sendok yang tidak pernah mengetahui rasa makanan. Sehingga biar hanya sebentar ngenal Dhamma, bisa memanfaatkannya dengan baik. Semoga kita berbahagia di dalam Dhamma. Semoga semua makhluk baik yang tampak maupun yang tidak tampak memperoleh kebaikan dan kebahagiaan sesuai dengan kondisi kammanya masing-masing.

Kamis, 23 Desember 2010

Antara Kaya & Miskin

 
 
Antara Kaya & Miskin
Oleh Samanera Dhirayatano
 

 
Empat makanan Keinginan manusia

Pattakamma Sutta, Samyutta Nikaya menyebutkan bahwa terdapat empat hal di dunia ini yang selalu diagung-agungkan, dicita-citakan dan selalu di harapkan oleh setiao orang, tetapi hal itu sangat sulit untuk di dapatkan. Empat hal tersebut adalah:

1. Harapan untuk mendapatkan kekayaan dengan jalan Dhamma.
2. Cita-cita untuk menjadi orang yang terpandang di dalam masyarakat.
3. Harapan agar mempunyai umur yang panjang dan selalu sehat.
4. Setelah meninggal bisa terlahir di alam-alam bahagia, yaitu terlahir di alam surga.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kenyataannya keempat tersebut memang selalu di harapkan oleh setiap orang. Perlu diingat bahwa untuk mendapatkan kekayaan memang tidak sulit, tetapi untuk mendapatkan kekayaan dengan jalan Dhamma merupakan hal yang tidak mudah. Demikian juga setelah mendapatkan kekayaan kita mempunyai harapan agar kita menjadi orang yang terpandang. Jika seseorang mengumpulkan kekayaan dengan jalan yang benar, maka dia akan dihormati oleh masyarakat, dan tentunya akan membawa efek kepada keluarga dan juga kepada gurunya. Perbuatan baik yang telah kita tanam menyebabkan seseorang mendapat kesehatan dan umur panjang, tetapi menurut agama Buddha tidak ada sesuatu yang terbentuk bersikap kekal. Oleh karena itu, setelah memdapatkan hal-hal tersebut diatas, maka harapan terakhir adalah dapat terlahir kembali di alam-alam yang membahagiakan. Jadi disini sudah jelas bahwa Sang Buddha menasehatkan kepda kita bahwa kekayaan atau harta materi bukanlah satu-satunya jalan tujuan dalam hidup kita, dan dalam mengumpulkan materi seseorang diharapkan untuk memperhatikan norma-norma etika dan norma-norma keagamaan, sesuai dengan Dhamma. Lalu bagaimanakah pandangan agama Buddha mengenai kekayaan ini ditinjau dari orangnya? Apakah syarat-syaratnya sehingga seseorang dapat dikatakan sebagai orang yang kaya? Apakah ukurannya, definisi atau batasannya sehingga sseorang dapat mengatakan dirinya kaya atau justru merasa bahwa dirinya masih miskin? Pada bahasan-bahasan berikutnya akan diterangkan lebih lanjut tentang jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas.

Batasan kaya dan miskin menurut ajaran agama Buddha.

Sesungguhnya ukuran atau batasan “kaya dan miskin” itu bersifat psikologis, bersifat kejiwaan dan berlaku relatif di dalam diri masing-masing manusia. Bisa saja antara satu orang dengan orang lain mengartikan batasan antara kaya dan miskisn ini secara berbeda, namun demikian hendaknya kita tetap memiliki target atau patokan sehingga kita dapat mengatakan sebagai “kaya” atau “miskin”.

Lebih lanjut manusia ditinjau dari batasan kaya dan miskin ini dapat dibagi menjadi empat macam kelompok manusia atau empat golongan. Empat penggolongan itu adalah:

A. Orang kaya yang miskin
Manusia kelompok pertama ini memang kaya dalam hal materi, dia memiliki harta dan kekayaan. Tetapi justru dengan kekayaan yang dia miliki itu dia merasa tidak bisa tenang. Yang dipikirkan oleh orang-orang seperti ini adalah bagaimana merubah dan menambah kekayaan. Kekayaan atau harta di nomor satukan, tidak peduli apapun yang dilakukan asalkan hal itu bisa mendatangkan harta dan kekayaan. Bahkan untuk menggunakan kekayaan sendiri saja dia merasa sayang. Dia tidak menggunakan kekayaannya, baik untuk dirinya sendiri dan tidak membagi-bagikan kekayaan kepada orang lain untuk mendapatkan kebajikan (napas attanamsukheti pineti napas vibhajati napas punnakaroti). Kalau dia menggunakan kekayaan itu hanya untuk menanamkan kekayaan itu hanya untuk kebahagiaan dirinya sendiri, tetapi tidak untuk menanamkan kebajikan (attanamsukheti pineti napas vibhajati napas punnamkaroti). Orang seperti ini biasanya keluarganya berantakan, meskupun kaya dalam hal materi tetapi keharmonisan di dalam keluarganya sudah tidak ada lagi. Hubungan antara suami istri dan anak sudah tidak terpikirkan lagi, karena harta dan kekayaan menurut mereka lebih penting daripada semua itu. Orang seperti ini tidak akan hidup bahagia di alam-alam berikutnya, karena walauun kaya tetapi orang ini tidak bisa menggunakan kekayaannya dengan benar, dia ia akan terlahir dialam menyedihkan. Orang seperti ini dapat dikatakan juga sebagai manusia yang berasal dari tempat yang terang menuju ketempat yang gelap (joti Tamo Parayano).

B. Orang kaya yang kaya
Kelompok orang yang kedua ini adalah orang-orang kaya didalam materi, dia memiliki harta dan kekayaan yang jauh mnelimpah itu dia mampu mengembangkan kebajikan dan mendapatkan kebahagiaan. Dia bisa menggunakan kekayaan untuk menikmati bagi dirinya sendiri dan untuk kepentingan orang lain, demi menanam kebajikan (attanamsukheti pineti samvibhajati punnamkaroti). Orang-orang dalam kelompok ini adalah orang yang terpuji, karena dia tidak melekat pada kekayaan ( adinnavadassanani) dan tahu menggunakan kekayaan untuk jalan kebebasan (nissaranapanna). Sebagai orang yang kaya dia bisa hidup dengan seimbang, tahu akan berapa banyak uang atau kekayaan yang telah didapatkan dan tahu berapa banyak kekayaanyang harus digunakan (samavijikata). Dia tidak hidup dengan kikir (ajjadumarika) dan juga sebaliknya, dia tidak jatuh dalam gaya hidup yang bersifat konsumerisme, hidup dengan glamour, dan penuh dengan foya-foya (udumbarakhatika). Orang-orang semacam ini akan hidup bahagia, keharmonisan dalam keluarganya selalu terjaga dan dalam masyarakatpun ia akan dihormati dan disegani dengan sendirinya empat macam dalam kehidupannya yang sekarangpun akan diperolehnya, yaitu; kebahagiaan karena dapat memiliki kekayaan (atti sukha), kebahagiaan karena dapat menikmati apa yang telah diperolehnya (bhoga sukha), kebahagiaan karena dapat memenuhi kebutuhannaya sendiri sehingga tidak terjatuh dalam hutang (anavajja sukha). Karena dia bisa mengerti akan kegunaan kekayaan dan menggunakan dengan jalan yang benar, maka ia akan terlahir dialam-alam yang membahagiakan. Mereka adalah orang-orang yang berasal dari tempat yang terang dan menuju ketempat yabng terang pula (joti-joti parayano).

C. Orang miskin yang kaya
Orang yang tergolong dalam kelompok ketiga ini adalah orang yang tidak memiliki harta atau kekayaan materi yang melimpah, tetapi meskipun demikian dia tidak merasa putus asa atau merasa rendah diri karenanya. Biarpun miskin dia ttetap bekerja dengan usaha dan semangaat yang tinggi (uttanaviriyadhigatehi), dengan keringat sendiri (sedavakkhotehi), dan dengan jalan Dhamma (Dhammakehidmammaladdhehi). Dia tetap menjalankan kehidupannya sehari-hari sesuai dengan nroma-norma dalam masyarakat dan norma-norma keagamaan (Dhammacari), Orang seperti ini adalah orang-orang yang memiliki batas-batas kepuasan (santutthi), dia cukup merasa puas dengan apa yang telah didapat sesuai dengan jalan kebenaran dan puas dengan apa yang telah dimilikinya. Meskipun hanya memiliki sedikit harta dan tidak kaya dia tetap menjaga moral (sila) dan melakukan usaha-usaha yang dapat menimbilkan manfaat untuk orang lain serta bermanfaat untuk kedua-duannya. Dia juga tetap menjaga keharmonisan didalam kelaurgannya dan tidak melupakan kawajiban-kewajiban sebagai seorang perumah tangga, seperti; kewajiban kepada pemerintah untuk membayar pajak (rajabali), kewajiban untuk menjamu tamu sesuai dengan kemampuan( atithibali), kewajiban terhadap keluarga (nathibali), kewabijan terhadap para dewa 9devatabali), kewajiban kepada para leluhur yang telah meninggal (pubbhapetabali), kewajiban-kewajiban lainnya. Orang-orang yang seperti ini biarpin miskin harta dalam kehidupannya yang sekarang tetapi dia bisa memperoleh dan menggunakan dari sedikit yang dimilikinya dengan benar maka dia akan dapat terlahir di alam-alam yang bahagia. Mereka adalah orang-orang yang berasal dari tempat yang gelap tetapi menuju ketempat yang terang (tamo joti parayano).

D. Orang miskin yang miskin
Kelompok orang yang terakhir ini adalah orang-orangyang benar-benar miskisn, dia miskin harta atau untuk tidak memiliki kekayaan tetapi juga miskin batinnya (tingkat spiritualnya rendah). Dari kemiskiannya itu justru timbul kebencian (dosa) dan iri hati (issa) begitu melihat orang lain yang kaya. Dia juga tidak bisa menerima kenapa dirinya menjadi miskin dan orang lain bisa kaya. Baginya nasehat-nasehat orang yang bijaksana tidaklah ada gunanya dan dia akan cenderung bergaul degnan orang jahat yang sepaham dengan dirinya. Keharmonisan didalam keluarganyapun tidak bisa diharapkan lagi karena orang-orang semacam ini moralnya (sila) sudah tidak terjaga lagi, bahkan untuk melakukan pelanggaan terhadap pelaksanaan sila itu sendiri sering terjadi. Pertengkaran dalam keluarga sering terjadi, cekcok antara suami istri dan anak sudah menjadi sarapan tiap pagi. Mereka tidak pernah mau berusaha dan berjuang keras dengan semangat yang tinggi (napas utthanaviriyadhigatehi) untuk bisa memenuhi kebutuhan keluarga. Bahkan usaha-usaha yang tidak sesuai dengan jalan Dhamma (adhammikehidhammaladdhehi) untuk bisa memenuhi kebutuhan keluarga. Bahkan usaha-usaha yang tidak sesuai dengan jalan Dhamma (adhammikehidhammaladdhehi) sering dilakukan. Kebanyakan dari mereka hanya mementingkan diri sendiri dan tidak pernah mau pedulu dengan orang lain. Yang ada hanyalah kebencian dan iri hati begitu melihat orang lain bahagia. Orang-orang yang seperti ini akan terlahir kembali di alam-alam yang menyedihkan, dapat dikatakan mereka adalah orang-orang yang pergi ke tempat yang gelap dari tempat yang gelap (tamotama parayano).

Bagaimana seharusnya dengan diri kita?

Dalam situasi perkembangan perekonomian yang semakin memuncak, dimana persaingan antar manusia dalam mendapatkan harta atau kekayaan semakin ketat, manusia cenderung semakin serakah dan menjadi makhluk yang mementingkan dirinya sendiri (egois).

Pada dasarnya kekayaan itu sendiri dapat dikelompokkan dalam dua golongan, yaitu kekayaan materi yang bisa dicuri, dan kekayaan batin yang tidak bisa dicuri. Sangiti sutta menyebutkan kekayaan batin yang tidak dapat dicuri oleh siapapun itu adalah kekayaan ariya yang disebut juga ‘satta ariya dhana’ atau ‘tujuh kekayaan ariya’, yaitu Keyakinan (saddha), kemoralan (sila), malu untuk berbuat jahat (hiri) takut akan akibat dari perbuatan jahat (ottapa), pengetahuan Dhamma atau pendidikan (sutta), Kedermawanan atau kemurahn hati (caga), dan Kebijaksanaan (panna). Tujuh macam kekayaan Dhamma tersebut jauh lebih baik dari kekayaan materi dan ‘satta ariya dhana’ merupakan kekayaan yang terbaik dan tertinggi (anuttaramuttmam dhanagam) Sang Buddha memberikan anjuran kepada kita semua untuk mengembangkan kesejahteraan batin.

Kekayaan itu bersikap netral, baik dan tidaknya tinggal bagaimana seseorang menggunakannya.

Dalam ajaran Sang Buddha tidak ada larangan bagi kita untuk menjadi kaya, tetapi bagaimana cara memperoleh dan cara menggunakan kekayaan itu sendiri harus sesuai dengan kebenaran atau sesuai dengan ajaran Dhamma.

Jika kekayaan digunakan untuk kejahatan maka hal itu akan menjadi tidak bermanfaat, tetapi jika kekayaan digunakan untuk berbuat kebajikan ini akan sangat bermanfaat. Kekayaan materi bukanlah satu-atunya tolak unsur kebahagiaan, maka dari itu sebagai orang yang kaya jadilah ‘orang kaya yang kaya’ dan jika masih merasa menjadi orang miskin, jadilah ‘orang miskisn yang kaya’.

Dalam Dhammapada, Sukha Vagga XV-204 Sang Buddha mengatakan, “Kesehatan adalah keuntungan yang paling besar. Kepuasan adalah kekayaan yang paling berharga” (arogya parama labha, santutthi paramamdhanam). Maka dari itu singkirkan kebencian (dosa) dengan kepedulian terhadap orang lain dan pengembangan cinta kasih kepada semua makhluk (metta), jauhkan diri dari keserakahan (lobha) terhadap harta atau kekayaan materi dengan memiliki batas-batas kepuasan (santithi)m dan berusahalah untuk hidup secara sederhana (apicchata) atau tidak berlebih-lebihan dalam menggunakan materi.

[ Dikutip dari Artikel Berita Dhammacakka Edisi : 30 Juli 2000 ] 

Senin, 20 Desember 2010

Cerpen Buddhis: Cinta Yang Terpuruk

 
Cinta Yang Terpuruk
Oleh : NTD

Indahnya matahari terbenam tidak membuatku bahagia. Aku berdiam sendiri di kamar, termenung dan sempat terlintas ucapannya di siang hari. "Aku tidak bermaksud untuk menghianatinya juga menduakannya, Mengapa ia berpikir demikian? Mengapa ia berpikir bahwa selama ini aku berpura-pura padannya? "Tanpa kusadari, pipiku sudah basah dengan air mata.Aku belum sempat menjelaskan persoalan ini dengannya tadi siang, tapi besok aku akan menemuinya di kampus.

"Tedy ! Tedy ! Aku ingin bicara denganmu." Aku tahu ia terpaksa, tapi masalah ini harus aku bicarakan dengannya.
"Ada apa, Rit?"


"Aku mau bicara tentang masalah itu, kau salah paham, Tedy!"
"Sudah jelas kok masalahnya Rit, Kamu menduakan aku, temanku sendiri yang melihat kamu jalan berdua dengannya sambuk bergandengan malam minggu kemarin, aku si percaya kamu 60% tapi....."
 

"Ted, aku tuh sama dia ngak ada apa-apa. Hubungaku dengannya, maksudku Budi tak lebih dari teman, percaya deh. Masalah dia menggandengku, mungkin.... dia takut aku hilang atau entahlah!" Kulihat wajahnya dengan amarah, tapi aku ingat dengan ajaran Sang Buddha karena kebencian tidak akan berakhir bila dibalas dengan kebencian juga. makadari itu aku harus menjelaskan semua padannya. Aku tidak ingin dia berpikir buruk tentang diriku. Aku tahu bahwa aku telah berbuat salah padanya.

"Rit, benarkah semua ini?" Aku hanya mengganguk. "Oh, Rita, aku percaya padamu."
"Jadi.........."
"Yah, masalah kita selesai. Anggap sajaini tidak pernah terjadi."
"Oh Tedy, aku sayang sekali sama kamu." Tedy hanya tersenyum dan kemudian mengajaku masuk ke ruang kuliah.

Sudah sekian lama kami berhubungan, memang selalu ada kendala. Oragn tua Teddy tidak setuju dengan hubnungan kami karena alasan perbedaan agama. Tapi kami tetap mempertahankan cinta kami, sampai aku mengetahui bahwa aku sudah dijodohkan dengan Budi oleh orang tuaku. Budi memang baik dan seDhamma,tapi aku tidak menyukainya. Memang selama ini, dia tdak tahu kalau aku sudah berhubungan dengan Tedy selama 3 tahun. Aku dan Budi memang jarang bertemu dan mengenai acara pertunangan kami akan diadakan minggu depan. Oh, bagaimana ini? Aku tak bisa meninggalkan Tedy tapi aku juga tak bisa melanggar perintah orang tuaku.

Sewaktu aku sedang berpikir, kudengar suara mama memanggil. "Rit, ada Tedy tuh !"
"Iya, Ma, Rita segera turun." AKu turun dan menghampiri Tedy.
"Hai Rit! Aku tidak ganggu kamu kan ?"
"Tidak kok, Ted. Pintu rumahku selalu terbuka lebar untukmu."
"Rit, aku mau kasih tahu4kamu, bahwa massa perusuh telah sampai dipintu gerbang kompleks perumahan kamu. Aku harap kamu tetap disini. Aku takut mereka akan..."
"Ted, jangan diteruskan! Terima kasih, Ted, Kamu sudah kasih tahu aku."
"Tapi apakah kamu nggak takut, Rit? Soalnya, selalu wanita yang menjadi korban bila terjadi kerusuhan!"


"Ted, bukannya aku tidak takut, tapi aku percaya pada karmaku sendiri. Kalau memang karmaku buruk, aku tidak dapat menghindarinya."
"Tapi, Rit, bolehkan aku disini bersamamu?" Aku khawatir sama kamu."
Aku hanya tersenyum, hatiku sangat bahagia karena perhatiannya yang tidak kudapatkan dari Budi. Tiba-tiba telephone rumah berbunyi dan aku yang mengangkatnya, karena keluargaku sedang mendengarkan berita kerusuhan yang sedang terjadi. Rupannya telephone dari Budi, aku sangat kecewa padannya, ia mengabarkan kalau ia sedang berada di Sdyney bersama keluargannya saat ini. Tiba-tiba aku dikagetkan dengan suara Tedy.
"Rit, mereka makin bertindak brutal. Lihat keadaan rumah tetanggamu!" "Aku takut akan terjadi sesuatu pada diri kita semua."

Tiba-tiba empat orang masuk melompat pagar rumahku. Mereka berwajah menyeramkan dan penuh dengan kebencian. Tedy langsung menutup pintu rumahku dan menguncinya. Para perusuh berteriak sambil berusaha mendobrak pintu.
"Rit, cepat sembunyi ! Pintu ini akan didobrak, aku tidak bisa menahannya. Cepat, Rit, Cepat !"
"Tapi Ted, bagaimana dengan kamu? Mereka akan memukul bahkan dapat membunuhmu !"
"Aku tidak peduli, Rit. Akut tidak peduli, Cepat!Kamu harus sembunyi!""Aku akan mengorbankan diriku asalkan kamu selamat, Rit"
"Baiklah, aku akan mengikuti kehendakmu, Ted" Dengan berat hati aku meninggalkannya.
Kemudian papa turun dari loteng dengan tiba-tiba dan menghampiriku. "Rit, cepat sembunyi diatas bersama mama dan adikmu, papa akan menyusul."
"Papa mau kemana ?"
"Papa akan membantu Tedy, ia tidak bisa menghadapi musuh sendirian. Ayo cepat Rit!"
"Baik, pa, tapihati-hati yah Pa!" Kulihat papahanya tersenyum lalu pergi meninggalkanku dan aku bergegas ke atas bersama mama dan adikku. Sayup-sayup terdengan suara gaduh dan teriakan kesakitan dibawah. Rupannya sudah terjadi perkelahian dibawah. kemudian suara dibawah menjadi hening4. Aku khawatir dengan keadaan papa dan Tedy. Tanpa pikir panjang aku segera turun walau mama mencegahku. Dibawah aku melihat pemandangan yang mengenaskan karena kulihat papa duduk lemas dengan luka-luka memar dikepada dan sedikit luka goresan pada tangannya, tetapi yang terparah adalah Tedy dengan sekujur tubuh berlumuran darah.


"Rit, bantu papa untuk meluruskan tubuh Tedy!"
Aku membantu Papa meluruskan tubuh Tedy dilantai dan kuletakkan kepalannya dipangkuanku. Air mataku keluar melihat keadaan Tedy. "Ted, kamu tidak apa-apakan ?" Kulihat senyumnya yang damai.
"Aku tidak apa-apakok, kamu ngak usah khawatir, aku sangat bahagia dapat melindungi orang yang sangat kucintai."


"Ted, kamu akan baik-baik saja, kamu tenang aja deh! Aku akan telephone Ambulans."
"Rit, jangan tinggalkan aku!" Genggaman tangannya semakinkuat. "Aku ingin selalu disisimu, Rit, membahagiakanmu, melindungimu,"
"Ted,jangan banyak bicara ya, darahmu keluar terus."
"Rit,biarkan aku dipangkuanmu menjelang ajalku. Rit, janji yah sama aku kalau kamu nggak akan sedih setelah kepergianku."
"TEd....!
"Berjanjilah padaku, Rit, kamu akan membuka lembaran cinta baru, menikahlah dengan Budi!" "Tedy, dari mana kamu tahu itu sayang?"
"Mamamu memberitahukan aku tadi selagi aku datang dan acara pertunangan akan dilaksanakan minggu depan."
"Tedy aku tidak mencintainya, aku mencintai kamu, Ted"
Tedy hanya tersenyum dengan suara yang terputus, ia berkata "Rit.... Aku juga mencintai kamu"
Lalu tangannya terlepas dari genggamanku dan......
"Ted, Tedy !" aku menangis dan kemudian kuletakkan keduatangannya diatas dadanya sambil kuucapkan "Sabbe Sankhara Anicca", semua itu tidak kekal adannya.

Dua bulan pun berlalu, aku tidak dapat melupakannya, cintanya yang tulus selalu kusimpan dalam hati. "RIta, sudahlah, tidak usah dipikirkan lagi!" "Aku tidak bisa Bud! Ia orang yang baik,cintannya tulus,Bud! Aku tidak bisa begitu saja melupakan Tedy. Kamu tahu kan!" Aku tahu Budi kecewa, tapi itu lebih baik, aku tidak ingin memberinya harapan kosong karena aku tidak akan menihak dengannya. Aku akan melanjutkan kuliahku yang tertunda karena kerusuhan Mei lalu.

(Dikutip dari majalah Dhammacakka)

Kamis, 16 Desember 2010

Tujuan Pengembangan Insight



Tujuan Pengembangan Insight

Oleh: Alm. Yang Arya Bhikkhu Girirakkhito Mahatera




Saat ini nampak jelas sekali para umat mulai seius mengembangkan Dhamma di dalam diri sendiri. Dan kemudian tentu kehausan itu akan ilanjutkan dengan menerapkan ajaran-ajaran Dhamma di dalma diri masing-masing. Sesungguhnya, kalau kita belajar Dhamma adalah berusaha untuk menyesuaikan diri dengan alam, lingkungan, keadaan, dan kondisi-kondisi yang ada Sebagai individu, manusia, kita tidak jemu-jemu menghadapi situasi/kondisi yang berubah-ubah, yang perubahannya terus berlansung atnnnnnpa pernah behenti; dan kita harus senantiasa berusaha untuk mnejadi harmonis dengan keadaan, lingkungan dan kondisi yang ada. Justru agama, seakan-akan mempunyai harga mati dalam bagaimana menjadikan diri kita ini agar selalu selaras, esimbang, dan harmonis dengan alam maupun linkungan. Jadi agama tidak lagi berpikir atau memcoba membantah, tau mengoreksi kebenaran ajaran agama yang diyakini masing-masing umat, meskipun Sang Buddha mengatakan bahwa silakan periksa, pelajari dan teliti; kalau cocok boleh terus dipakai, kalau tidak ditinggalkan. Dan dari berbagai disiplin ilmu sudah sepakat mengatakan bahwa agama seakn-akan sudah – kalau seperti barang – punya harga mati, harga pas, jadi tidak ada tawar-menawar lagi. Memang demikian. Misalnya agama Buddha, Sang Guru Agung Buddha Gautama menjelaskan tentang apa manusia itu, yang terdiri atas kelompok jasmani, kelompok perasaan, kelompok pikiran, kelompok ingatan, dan kelompok kesadaran. Proses dari tiap-tiap kelompok ini terjadi di dalam diri kita, yang berada ditengah-tengah alam semesta atau dunia ini, yang senantiasa berubah. Tahun 1900-an dengan sekarang tahun 1994-an itu keadaannya sudah berubah.


Sementaar itu, dari perkembangan berbagai disiplin ilmu, kini mulai gencar mempertanyakan apakah agama bisa memenuhi keperluan hidup dalam segala aspeknya? Misalnya, apakah agama sanggup membuat kesejahteraan, kemajuan dalam kehidupan manusia yang begitu banyak aspeknya? Sekarang penduduk Indonesia jumlahnya sudah semakin banyak, ero globalisasi sudah demikian gencar, keterbukaan Indonesia dalam beberapa bidang sudah nampak jelas sekali. Namun kita harus mengakui bahwa sampai sekarang Pemerintah indonesia belum mampu mengatur manusia yang beigtu banyak itu. Lain halnya seperti negara tetangga kita, Singapura, di mana penduduknya relatif sedikit, kemudian pendidikan hidup yang berdisiplin itu sudah sejak lama sekali ditanamkan, serta mayarakatnya dalam kondisi yang kemamurannya hampir mearata. Saya pernah berbincang-bincang dengan seorang supir disana, berapa gaji supir di sana, yaitu 1500 Dolar Sinagpura. Kalau dikruskan, sekitar satu setengah juta Rupiah. Kalau di sini, tidak ada gaji supir yang ssdemikian itu. Karena dengan 1500 Dolar itu baru memenuhi standar kehidupan di sana, walaupun tidak mewah, tetapi tida miskin. Mereka mampu untuk sewa listrik, beli air untuk minum, mandi, cuci, dan sebagainya. Dengan demikian mereka dapat hidup layak. Begitulah keadannya, dan kalau kita lihat disiplinnya, memang sudah maju sekali, terutama bekersihannya. Kalau kita badingkan dengan di sini tentu jauh sekali. Mereka di sana sudah bisa menyesuaikan diri dengan peraturan dan hukum yang berlaku ash, yang tentunya sesuai dengan ajaran agama yang mereka peluk; juga belajar harminis dengan hukum-hukum alam yang diajarkan oleh agama mereka masing-masing.


Oleh karena itu, tiap ajaran agama mempunyai peraturan, yang umum, yang pokok, kemudian yang tambahan. Semuanya adalah untuk menjadikan kita harmonis, seimbang, selaras, dan tidak konflik dengan kepentingan bersama, terutama dengan alam. Kalau misalnya alam kondisi panas terik, lalu kita tidak mampu menyesuaikan diri dengan keadaan yang panas terik itu, sehingga kita menjadi menderita, kemudian mengeluh, tidak tahan, dan gelisah. Itu berarti bahwa kita belum mampu harmonis dan menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan.


Saya kira gejala ini sangat nyata kelihatan di kalangan kita umat Buddha, sehingga tatkala di suatu waktu ada pertemuan dari orang-orang tertentu di suatu tempat, kelihatan sekali batin para umat di sana tidak harmonis, tidak seimbang; pokoknya minimal ‘dislike’ dalam hati. Karena orang-orang yang hadir di sana, mereka itu adalah kritikus-kritikus bhikkhu yang getol sekali. Mereka itu seakan-akan menjadi polisinya bhikkhu, begitulah. Sebenarnya bhikkhu itu tidak punya “CPM”, tetapi kalau militer punya CPM. CPM itu diangkat dengan resmi oleh yang berwenang dan dididik; pun cara ngeprit pelanggaran yang ada tidak sembarangan, tetapi mengerti aturannya. Tetapi oarng-orang ini rupa-rupannya mereka belajar Dhamma Vinaya, kemudian merasa mengerti, namun bersekutu dengan belum tercapainya keharmonisan kejiwaan; sehingga mereka menjadi kritikus-kritikus uang kadang-kadang menimnulkan akibat-akibat yang minimal dapat menjadi konflik. Kadang-kadang mereka mengerti “KUHP”-nya bhikkhu –kitab “KUHP”-nya para bhikkhu adalah Vinaya. Mungkin dia menghafal, apalgai yang pernah menjadi Bhikkhu, kemudian lepas jubah, itu mereka tahu. Lalu kemampuan menghafal peraturan itu dijadikan atau menjadikan dirinya CPM sukarela yang tanpa ‘beslit’ begitulah kira-kira.


Pengembangan Insight tau Pandangan Terang melalui latihan-latihan Vipassana, itu bukan bertujuan untuk menjadikan kiat pintar mengerti Dhamma, lalu kemudian untuk berdebat, untuk melihat kesalahan orang lain, atu untuk memojokkan orang lain, atau untuk memamerkan pengertian benarnya masing-masing. Bukan beitu maksudnya. Justru dengan Vipassana atau mengerti Dhamma itu, adalah agar kita mengatur batin kita supaya tetap segera harmonis, seimbang, selaras, dan tak ada konflik dengan keadaan, lingkungan, hukum alam, serta kondisi-kndisi yang ada.


Itulah topic yang ingin saya perbicarakan dan bahas di sini, sebagai suatu injeksi, yang mudah-mudahan dapat lebuh menyembuhkan penyakit-penyakit yang kurang perlu aad di dlam batin kita sekarang.


Jadi sekarang, kita mesti berupaya membuat persahabatan kita di dalam Buddh Dhamma ini agar benar-benar bisa mengenyam dan menikmati ketentraman dan keselarasan; kemudian bisa dengan cepat mengeliminir kesalah-fahaman, konflik, dan sebangsanya. Berusaha untuk secepat kilat bisa menuntaskan semua problem, dengan kata lain kiat akhirnya dapat muncul menjadi pribadi-pribadi yang sanggup menjadi problem solvre. Kita tahu “How to solve the problem of life”. Itulah kiranya tujuan yang kita gantungkan dala cita-cita kita. Dan kalau batin kita suadh dewasa maka ‘like and dislike’ itu bisa diturunkan, dikurangi. Itu merupakan ciri-ciri sat hasil yang kita raih. Bagaimanapun kikuknya saudara anggap orang lain menyalahi aturan, apakah Dhamma, apakah Vinaya, kalau seseorang sudah mempunyai Insight, dia tidak lagi usil menjadi polisi. Tidka! Karena apa? Karena dia memaklumi bahwa dunia adalah dunia, sorga adalah sorga, neraka adalah neraka, dunia yang campuran bik dan buruk adalah dunia yang campuran baik dan buruk. Itulah kondisi dunia. Jadi kalau kita belum mengerti, - isi dunia saja belum mengerti-, kita tinggal di dunia, bergaul dengan kawan-kawan yagn masih duniawi, dan kondisi duniawi ada yang baik dan ada yang buruk; lalu kiat masih belum bisa menyesuaikan diri dengan kondisi yang baik dan buruknya, kapan kita bisa meningkat?


Perlu diingat dan diketahui bahwa memiliki kualitas mental yang memadai amatlah penting untuk menghadapi kejadian, problem, kondisi, situasi yan berubah-ubah dan sangat rawan ini. Pejabat pemerintah harusnya mempunyai kualitas mental yang tangguh. Para rohaniwan agama juga harus mempunyai mental yang memadai. Tidak boleh sepihak. Kemudian kualitas mental masyarakat juga harus ditingkatkan. Kita jangan malu mengakui bahwa kualitas mental kita, kualitas disiplin kita, ketaatan kepaad peraturan, masih jauh daripada apa yang disebut baik. Maka oleh karena itu, kita harus berusaha meningkatkan kedewasaan kualitas mental ini.


Kalau orang yang mentalnya sudah dewasa ‘like dan dislike’ – kalau dia diumpamakan biji tumbuh-tumbuhan-, dia itu tidak bisa tumbuh di atas lantai yang licin. Walaupun dia disiram dengan air, dia tidak bisa tumbuh. Tetapi kalau tanah gembur kemudian ada hujan turun, dia mudah tumbuh. Rumput pun tumbuh. Jadi mental itu ada kualitasnya; seperti tanah yang gempur, dilempar biji apa saja kalau ada hujan akan tumbuh. Ada mental yang udah digosok dan diproses, sehingga seperti kaca yang jernih dan bersih, atau seperti tegel yang mengkilat. ‘Like dan dislike’ dengan antek-anteknya itu, seolah-olah tidak bisa melekt pada batin orang yang demikian. Secara alami sekali, mereka tidak melekat. Maka itu, kita melihat ada orang yang cepat sekali tersinggung, cepat sekali emosi, cepat sekali konflik. Pokoknya tidak selesai-selesai dan tidak habis-habisnya tersinggung dan membuat konflik.Ada saja yang dipermasalahkan. Nah berbeda dengan orang yang bathinnya sudah dewasa, yang saya umpamakan batinnya sudah digodok, digembleng, diasah, dilap hingga licin dan bersih sekali. Terutama dualisme itu yaitu ‘like and dislike’, merasa diuntungkan atau dirugikan, merasa ddihargai atau diremehkan; itu sulit melekat kepada batin orang sedemikian. Maka sikapnya pun menjadi dewasa sekali.


Kita sekarang amat memerlukan orang-orang seperti itu, terutama kalau kita mendambakan Buddha Dhamma ada manfaatnya, ada kegunaannya; yakni dengan memproses pikiran itu, yang sering saya katakan dari cengeng, mudah tersinggung, mudah melekat kepada dualisme, menjadi sehat, kuta, stabil, mantap. Jadi ke arah sana fokus kita, tujuan kita belajar Buddha Dhamma, sehingga itu menjadi modal dasar ynag dirumuskan oleh pemerintah. Dalam pembangunan bangsa ini, kita harus punya modal iman dan takwa yang kuat, moral etik yang tinggi; kemudian digabung, disekutukan dengan ilmu pengetahuan, teknologi, ketrampilan, dan keuletan, maka kdua-duannya ini akan menjadi sarana untuk membangun pribadi-pribadi, manusia-manusia Indonesia yang diharapkan.


Namun memang kecenderungan manusia itu berbeda-beda. Diantara pada bhikkhu juga ada yang lebih cenderung ke pertapaan aatu meditasi saja, tidak mau campur dengan organisasi atau dengan masalah-masalah duniawi. Pokoknya pertapaan saja, tinggal ditempat sepi, kemudian meditasi, Ini lalu oleh kemajuan perkembangan dunai masa kini, mendapat sorotan yang negatif. Bahkan pernah kita ini dituduh: “Wah, apa Walubi ( Perwalian Umat Buddha Indonesia bukan Perwakilan, red) itu hanya mengajarkan umatny sembahyang saja, meditasi saja, dan kalau khotbah, yang dikhotbahkan bagaiaman mencapai sorga, tetapi sama sekali lupa dengan lingkungan, ada orang miskin, ada rumah kumuh, dan sebagainya. Menurut pandangan yang ada, penerapan agama di Indonesia harus dibarengi dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebab dijelaskan disana, “agama tidak bisa membuat rumah, tidak bisa membeli mobil”. Untuk membuat kemakmuran, supaya kain banyak, supaya sepatu modelnya banyak, keperluan hidup banyak; itu bukan agama yang mengerjakan, tetapi ketrampiran, teknoligi dan ilmu pengetahuan. Begitu juga dalam aspek kesehatan dan sebagainya. Kita tidak perlu berdebat dan membantah di sana.


Jadi diharapkan agama itu tidak eksklusif. Sekarang kita menganut agama Buddha, Buddha Dhamma, seperti saya sekarang ini sebagai bhikkhu, sudah mulai diminta oleh pemerintah: “Anda jangan hanya mengajarkan meditasi saja”. Usahakan meningkatkan kemiskinanm dari yang dulu income-nya kecil sekarang menjadi bertambah. Namun sudah jelas pula, mental agama adalah modal dasar. Jadi kita harus ditangan kanan memegang Buddha Dhamma, di tangan kiri memegang seluk beluk dan hal ikhwal pembangunan bangsa. Jelas sekali sekarang demikian.


Jadi kiat para penganut agama Buddha tidak boleh lalai, tidak boleh tutup tertelinga telingga atau mata kita, tetapi kiat harus ‘well informed’ tentang masalah-masalah yang ‘up to date’, yang sekarang ini. Sebenarnya saya merasa paling bangga dengan keadaan umat Buddha, terutama dikota-kota besar, karena mereka berpotensi sekali di dalam ikut andil memakmurkan dan mensejahterakan bangsa ini. Bahkan Bapak Presiden, kalau memberikan penghargaan, kebanyakan kepada orang-orang umat buddha yang dengan diam-diam sudah membantu orang-orang yang tidak mempunyai pekerjaan. Kami drai umat Buddha dengan diam-diam sudah banyak mengangkat kemiskinan dengan memberikan mereka pekerjaan.


Memang kita mengharapkan bahwa simpatisan atau penganut agama Buddha semakin banyak. Tetapi dengan semakin banyak muncul orang-orang baru ini, mungkin saja lalu kembali muncul kerawanan, problem tentang kecengengan kejiwaan itu. Sebenarnya yang tua-tua yang harus lebih mengalah. Itu memang sudah hukum pergaulan. Coba kalau kakak dengan adik, siapa yang harus mengalah? Kakaklah ynag harus mengalah, Tetapi sekarang kok terbalik. Umpamanya ada adik yang mengalah, yang kakak-kakaknya malah galak sekali. Jangan sampai terjadi yang demikian.


Bagi saya, yang bagaimana saja teman-teman pengabdi ini, yang cengeng, yang dewasa, yang mudah tersinggung, yang kalem, saya bisa sekali menerima, karena saya ekstra menjaga dan melestarikan diri. Maka oleh kaerna itu, sejak saya senang mengadakan latihan Vipassana, itu tidak lain maksudnya adalah untuk meningkatkan kejiwaan para umat yang sudah mendapat kesempatan dan mempunyai minat ke arah peningkatan itu. Yang penting jangan jadi jaksa, jangan jadi polisi, atau menjadi mata-mata untuk menyelidiki kesalahan orang lain. Itu tolong dielminir. Jangan karena persoalan sedikit saja, sudah ramai. Kog senang sekali melihat dan menceritakan kesalahan, kelemahan, dan kekuarang orang lain? Kecenderungan demikian sepertinya sudah berurat berakar, mendarah-daging. Cobalah kita kerahkan tenaga dan kemauan untuk mengeliminir kecenderungan itu.


Terdapatnya perpercahan-perpecahan di tubuh organisasi, itu juga tdak lain dan tidak bukan, sebabnya adalah kekurangan kedewasaan kejiwaan dan kualitas mental. Jadi sekarang kita harus mempunyai seni atau keahlian untuk mengelimir hal-hal yang demikian itu.


Sekarang ini, kita lepas dari rasa kesal, rasa kurang simpati. Kalau ada rasa kesal atau rasa kurang simpati, kurang setuju, atau kurang sreg, itu ‘kan cuma perasaan. Perasaan yang muncul disebabkan karena kejiwaan belum dewasa, masih ada ego, masih inginmenaruh pandangan sendiri, konsep sendiri, dan sebagainya di depan. Kalau secara sederhana, itu adalah ciri-ciri dari demokrasi, ciri-ciri dari pluralisme, ciri-ciri dari keadaan yang berbeda-beda. Tetapi kemudian, bagaimana agar yang berbeda-beda ini bisa mengkondisikan semangat bersatu. Jadi pluralisme agama di Indonesia itu mengkondisikan para pemimpin berusaha untuk mengatur, membimbing agama ini, supaya tetap bersatu dan rukun. Metodenya: jangan membicarakan tentang doktrin, jangan berdebat tentang perbedaan; kita hanya mengacu kepada kepentingan bersama. Pemerintah lebih lihat lagi. Para pemimpin agama itu sering-sering dikumpulkan, diajak pergi ke propinsi-propinsi, bahkan yang terakhir ini diajak ke Singapura dengan gratis. Bayangkan! Begitu pandainya merukunkan agama-agama yang berbeda-beda, tetapi mempunyai kepentingan yang sama. Jadi kepentingan yang sama itulah yang diacu, yang dipacu, sehingga bisa rukun-rukun selalu.


Naqh, kita juga harus begitu. Dahulukan kepentingan bersama untuk mencapai tujuan dan cita-cita bersama. Kalau ada gangguan, rintangan, godaan, atau bahkan malapetaka yang menhadang, hal itu wajar terjadi. Tetapi kalau kita teguh dengan tujuan demi kepentingan bersama, hal-hal itu akan dapat diatasi secara alami. Saya harap umat Buddha berhati-hati, agar bertindak denagn sehalus-halusnya, belajar melangkah dengan memperhitungkan proses alaminya itu sendiri. Mudah-mudahan konflik-konflik itu tidak perlu ada.


Saya mengharapkan supaya saudara-saudara mengintegrasikan diri, sungguh-sungguh membulatkan tujuan, membulatkan acuan, dan sebagainya, sehingga dengan demikian, rintangan-rintangan yang akan melemahkan posisi dan kondisi kita akan dapat dieliminir. Dan kalau ada perebdaan-perbedaan dan sedikit konflik, itu adalah wajar sekali. Lautan yang luast itu tidak selamannya tenang. Tiba-tiba ada angin puyuh, lalu gelombang itu besar, ia kemudian akan berubah. Laut kembali tenang. Kalau kita sering dihajar ikeh bukti-bukti kondisi yang berubah-ubah demikian rupa itu, maka kesadaran kita juga akan maju, akan bisa memaklumi keadaan yang kadang-kadang dengan tiba-tiba munculnya angin ribut. Sebagai penumpang di kapal "Walubi" (Perwalian Umat Buddha Indonesia bukan Perwakilan, red) ini, mudah-mudahan saudara tidak mabuk, tidak muntah, tidak rebah, dan kemudian kapok naik kapal . Jangan sampai kapok. Kalau kapok, kita tiadk akan bisa menyeberangkan umat Buddha dengan tujuan yang diharapkan. Sebab sekarang, kita ini ibaratnya berangkat naik kapal itu, kadang-kadang gelombangnya besar. Mudah-mudahan kita semua tahan, tidak mabuk, tidak pingsan, dan semoga semuanya tetap sehat dan akhirnya membawa agama Buddha dan umat Buddha ini kepada tingkat dan tujuan yang diharapkan.


[Dikutip dari Mutiara Dhamma VI ]

Selasa, 14 Desember 2010

Umat Buddha Dan Solusi Kemarahan





Umat Buddha Dan Solusi Kemarahan
Oleh: Yang Mulia Bhikkhu Uttamo Thera




TIPE UMAT BUDDHA

Dapat diterangkan di sini bahwa tipe atau jenis umat Buddha itu ada bermacam-macam. Jenis kelompok umat yang pertama adalah: Umat Buddha KTP. Jadi ke mana-mana disombongkan: Ini lho, KTP saya: Buddhis!" Kalau mereka ditanya, bagaimana riwayat Sang Buddha? Jawabnya: "Ah, itu bukan urusan saya. Itu urusannya para bhikkhu dan para Dharmaduta. Pokoknya saya Buddhis. Ditanya viharanya di mana. Jawabnya: "Bukan urusan saya. Itu urusannya orang-orang yang mau jadi bhikkhu. Ditanya buku parittanya apa, dijawab: Buku paritta bukan urusan saya. Saya susah membaca paritta". Paritta apa saja yang dihafal? Jawabnya: Untuk apa menghafal paritta? Lidah saya keseleo-keseleo! Jadi kamu Buddhis-nya apa? K-T-P! Toh kalau KTP-nya Buddhis, juga bisa masuk surga, cukup. Kalaupun mau ditambah sedikit, pokoknya Buddhisnya sampai dupa. Kalau saya sudah bisa pegang dupa, acung-acung dupa, jungkir balik di depan patung, saya sudah Buddhis: Patung apakah itu? Tidak tahu. Pokoknya saya ikut yang lain. Nah, ini golongan yang pertama. Amat menderita, Saudara.

Golongan yang kedua adalah golongan yang lebih baik daripada yang pertama, yaitu yang disebut umat Buddha bergaya "Kapal Selam". Saudara tentu pernah nonton film "The Man From The Atlantis", bukan? Di sana mereka selalu menggunakan kapal selam. Saudara perhatikan kebiasaan kapal selam; kalau ada bahaya, dia turun, biar aman. Kalau mau ketemu pejabat, dia naik. Nanti kalau santai-santai, nganggur-nganggur: turun. Kalau mau jalan-jalan: naik. Nah, itu cerita film The Man From The Atlantis. Ternyata  cerita itu bukan hanya ada di televisi, tetapi di vihara cerita itu bisa terjadi. Ada acara Waisak: muncul. Tidak ada bhikkhu: tenggelam. Ada bhikkhu: naik. Ini tipe yang kedua.

Tipe yang ketiga adalah tipe yang paling ideal, yaitu umat Buddha yang memang betul-betul mempelajari Dhamma dan melaksanakan Dhamma. KTP-nya Buddhis, rajin datang ke vihara untuk berpuja-bakti, mendengar Dhamma, serta melaksanakan Dhamma dalam kehidupan sehari-hari. 

JENIS UKIRAN KEMARAHAN DAN SOLUSINYA

Di Bali saya lihat umat Buddhanya telah menunjukkan satu kekompakan/persatuan di dalam mengembangkan Buddha Dhamma. Ternyata orang Bali, umat Buddha di Bali, bukan hanya terkenal bisa mengukir kayu, mengukir barang-barang, meja-kursi, tapi juga bisa mengukir prestasi di dalam memajukan umat Buddha. Oleh karena itu saudara tidak sia-sia menjadi orang Bali. Bisa mengukir, tidak hanya mengukir patung, tapi juga mengukir prestasi untuk memajukan agama Buddha. Dan saya harap, ukirannya jangan berhenti sampai di sini. Ini hendaknya semakin dikembangkan, sehingga ukiran prestasi atau kebajikan saudara itu semakin banyak, ke mana akhirnya manfaat kebajikan ini juga menjadi milik saudara.

Berbicara tentang ukiran yang positif perlu saudara kembangkan, tetapi yang negatif jangan dikembangkan. Apakah yang negatif itu? Sang Buddha di dalam Anguttara Nikaya I ayat 283, bercerita tentang seni mengukir. Beliau bercerita demikian. Saudara-saudara, ada jenis tukang ukir yang bermacam-macam. Yang pertama adalah tukang ukir yang mengukir di batu karang. Jadi ada batu karang yang besar, diukir. Saya tadi baru saja datang dari Tanah Lot, di sana saya melihat batu karang yang besar sekali, dan seperti diukir dindingnya. Begitu juga ketika ke Gunung Kawi, saya melihat gunung batu yang diukir. Ini kepandaian orang Bali dalam hal mengukir. Sang Buddha mengatakan, ada orang-orang yang seperti orang yang bisa mengukir batu cadas, batu karang. Bayangkan, saudara. Batu karang yang teguh, yang kuat, seperti candi Gunung Kawi, diukir. Itu bisa bertahan bertahun-tahun lamanya, bahkan ratusan tahun. Kalau itu ukiran yang positif, tentu kita akan merasa senang dan bahagia. Tetapi seperti saya katakan tadi, yang diceritakan Sang Buddha ini adalah jenis ukiran yang negatif. Orang yang mengukir seperti mengukir di batu karang itu adalah diumpamakan orang yang kalau sudah jengkel, marah, atau benci, ia menyimpan kejengkelan atau kebenciannya itu bukan untuk waktu 1-2 hari, bukan untuk waktu 1-2 bulan, tetapi bertahun-tahun jengkelnya masih ada. Itu seperti orang mengukir di batu karang, seperti mengukir Gunung Kawi. Dari jenis yang pertama ini, saya ingin bertanya, apakah saudara punya Gunung Kawi" di dalam diri saudara? Apakah masih tersimpan kejengkelan saudara yang 10 hari yang lalu? Yang 10 tahun yang lalu?

Suami rewel, langsung dikatakan: "Memang kamu sudah rewel sejak bertahun-tahun lalu". Demikian juga dengan sang suami, bila melihat istrinya akan ke vihara make-up-nya saja lama sekali, lalu suami mengatakan: Ayo cepat, ini sudah mau mulai kebaktiannya. Kamu pasang gincu saja, masa begitu? Jambonnya itu terlalu muda. Hapus. Ganti yang merah tua. Wah, itu terlalu merah, kayak bikang ambon! Hapus. Ganti yang muda lagi. Berkali-kali ganti sampai tissu satu dus habis untuk menghapus pemerah bibir. Suaminya jengkel, kemudian mengatakan: Kamu ini dari sejak menikah sampai sekarang punya anak-cucu, begini terus.

Kalau saudara masih mengucapkan kata-kata seperti itu, hati saudara itu seperti Gunung Kawi, seperti batu karang di Tanah Lot yang diukir, sehingga tidak bisa hilang kejengkelan, dendam saudara itu, baik kepada pasangan hidup maupun kepada yang lain. Kalau sekarang kepada pasangan saja tidak bisa memafkan sampai bertahun-tahun, apalagi sama teman. Kalau di vihara kita melihat teman berbisik-bisik, tertawa cekikikan-cekikikan, saudara berkata: Awas kamu ya, kamu menggosipkan saya. Pokoknya selama kamu belum meninggal, saya tidak akan pernah mau datang ke vihara. Jangan harap saya akan menginjakkan kaki di rumahmu". Itu namanya kita mengukir Gunung Kawi di dalam diri kita. Apakah saudara demikian? Saudara sendiri yang bisa menjawabnya.

Jenis ukiran yang kedua, bukan mengukir di batu karang, atau di dinding batu, tetapi mengukir di pantai. Tadi saya juga mengunjungi Pantai Sanur. Saya cemplungkan kaki saya di pasir pantai, kemudian saya minggir. Tidak lama, jejak telapak kaki saya hilang kena ombak. Tapi hilangnya setelah ombaknya beberapa kali. Nah, saudara, Sang Buddha pun mengumpamakan demikian; seperti orang mengukir di atas pasir. Ada ukirannya, ada gambarnya, bisa bertahan untuk waktu yang sementara. Kalau yang pertama tadi, waktunya tidak terhingga, sampai mendarah daging menulang sumsum kebenciannya tidak bisa hilang. Tapi, kalau yang mengukir di atas pasir, ini lain ceritanya. Jengkel sama temen, jengkel sama pasangan hidup, itu wajar. Pasangan hidup masih punya kesalahan, itu wajar. Namanya saja manusia yang masih punya rasa kebencian. Tetapi kalau kita seperti mengukir di pasir, hendaknya janganlah untuk waktu yang lama.

Jenis berikutnya yaitu jenis yang ketiga. Kalau yang pertama adalah mengukir di batu karang, jenis yang kedua mengukir di pasir, maka yang ketiga adalah yang ideal, yaitu mengukir di atas air. Saudara nanti boleh mencoba di bak mandi saudara. Tulis huruf A. Bekas garisnya ada, tetapi langsung hilang. Demikian pula hendaknya apabila timbul kejengkelan, kemarahan, ketidaksenangan di dalam hati kita, hendaknya jangan ditahan seperti batu karang, bahkan juga jangan ditahan seperti lukisan di pasir, tetapi hendaknya seperti kita melukis di atas air. Cepat hilang kejengkelan itu. Nah, saudara, tiga jenis kejengkelan, tiga jenis ukiran inilah yang mulai kita renungkan sekarang.

Idealnya kita tentu mau menjadi umat Buddha yang terbaik, bukan? Saya yakin tidak ada yang ingin menjadi umat Buddha yang jelek-jelek, tetapi pasti yang baik. Bahkan kalau bisa, yang terbaik. Menjadi umat Buddha yang sungguh-sungguh mau mendengar Dharma, melaksanakan Dharma dengan baik, bukan hanya umat Buddha KTP atau Kapal Selam. Demikian pula dengan kesabaran, hendaknya seperti melukis di atas air. Tapi sekarang, bagaimanakah caranya? Seseorang bisa jengkel, marah, atau tidak senang itu karena ada sebabnya. Apakah yang menjadi sebab kejengkelan/kemarahan?

Kalau kita marah kepada pembantu di rumah, apakah sebabnya? Apakah karena pembantu kurang pintar? Ataukah saudara yang kurang pintar? Tentu saudara menjawab, Pembantu yang kurang pintar. Kenapa demikian? Karena kalau dia pintar, dia sudah jadi boss seperti saudara semua. Jadi, yang kurang pintar itu siapa? Kita sendiri! Kalau misalnya ada pembantu yang menutup pintu saja lupa terus, setiap hari mesti disuruh; kemudian kita omeli;Kamu ini betul-betul bodoh ya, bodoh kayak kerbau. Masa diberitahu untuk menutup pintu saja setiap hari tidak pernah ingat?

Kalau saudara renungkan baik-baik pembantu yang lupa-lupa terus itu mungkin memang otaknya kurang lancar. Kalau saudara omeli sampai setengah jam itu, sebetulnya saudara menjadi seperti dia. Karena dengan ngomel-ngomel, saudara sendiri jadi tidak menutup pintu, pintunya terbuka terus. Padahal kalau sudah tutup pintu itu, sudah selesai masalahnya.

Jadi kalau saudara ngomel, saudara marah, berarti saudara tidak menyadari bahwa kemampuan orang itu jauh di bawah saudara. Berarti yang kurang pintar bukan dia, tetapi saudara sendiri yang kurang pintar memahami kenapa kok dia membuat kesalahan itu. Makanya secara Dharma, alam sudah menunjukkan bahwa kalau satu jari menunjuk orang lain, maka tiga jari menunjuk kepada diri sendiri. Kalau kita menunjuk: Kamu kurang pintar!" Berarti 1 jari menunjuk dia, 3 jari menunjuk ke kita; berarti kita ini 3 kali lebih "kurang pintar daripada dia. Maka dari itu belajarlah dari alam, supaya tidak gampang-gampang kita menunjuk orang lain: kamu bodoh, kurang pintar, buruk, dan sebagainya. Jadi yang pertama harus kita renungkan bahwa sebetulnya mengapa saya marah? Mengapa saya jengkel dengan dia? Itu semua sesungguhnya adalah karena keinginan saya sendiri. Jadi penyebab dari kejengkelan, ketidaksenangan, atau kemarahan, sesungguhnya adalah karena KEINGINAN sendiri.

Coba saudara yang sudah punya pasangan hidup, tanyakan,Kenapa saudara sayang sama pasangan hidup saudara. Kenapa saudara kadang-kadang ingin selalu dekat dengan pasangan hidup saudara? Kadang-kadang inginnya hanya ngomong-ngomong bersama dengan pasangan hidup saudara. Kenapa? Karena pasangan hidup saudara bisa memberikan apa yang saudara inginkan. Wah, kalau saya ngomong-ngomong dengan dia, cocok sekali. Sehingga, karena ngomong-ngomong terus, lalu lupa ke vihara! Atau Wah, saya ini kalau jalan berduaan dengan dia, senang sekali, karena saya itu bisa mengikuti jalan cepat. Kalau ingin jalan lambat sambil nonton-nonton toko, dia bisa ikut pelan, bisa mengikuti keinginan saya. Saya ketemu dengan teman-teman, dia bisa saya ajak dan tidak memalukan saya. Wah, saya bahagia.

Tetapi sebaliknya, dengan pasangan hidup juga bisa jengkel. Kenapa? Karena pasangan hidup saudara tidak memuaskan keinginan saudara sendiri. Diajak ngomong-ngomong: Bagaimana ya, situasi politik zaman sekarang? Langsung pasangan hidupnya menjawab: Iya, situasinya tidak enak. Coba, harga bawang sekarang naik. Ditanya: Bagaimana keadaan vihara sekarang, apakah banyak kemajuan? Jawabnya: Ya, cukuplah. Tapi umat vihara yang dulu itu pernah pinjam sendok, tidak dikembalikan. Padahal sendoknya antik, itu. Bagaimana ya caranya kita minta kembali sendoknya sama dia? Wah, ini sudah tidak cocok. Yang ditanya tentang vihara, jawabannya tentang sendok. Yang ditanya soal politik, jawabannya bawang merah, bawang putih. Sudah tidak karuan ini. Ah, malas saya ngomong-ngomong sama dia, enakan ke vihara, pelarian. Daripada di rumah jengkel terus, stress, lebih baik ke vihara saja, dengar-dengar Dhamma atau kadang-kadang di vihara ngaco-ngaco saja, bisa juga begitu. Nah, saudara, mengapa kita jengkel dengan pasangan hidup kita? Karena kita tidak ingin pasangan hidup kita itu melakukan demikian. Sebaliknya kalau jalan; saya ingin cepat, pasangan hidupnya pelan. Saya ingin pelan sambil nonton-nonton toko, dia malah ngebut, mau cari toilet! Bagaimana ini? Wah tidak cocok. Lebih baik jalan sendiri saja. Kenapa? Karena keinginan tidak tercapai. Begitu juga kalau ketemu teman-teman, diajak ngomong-ngomong. Teman-teman bertanya, Bagaimana ini pasangan hidupmu, bahagia ya, hidup rukun-rukun? Langsung sang istri pasang muka merengut: Rukun apa. Itu kan hanya di depan umum. Kalau di belakang, dia ngomel-ngomel terus sama saya, malah pernah mukulin saya juga, koq. Sang suami lalu berpikir, Wah, ini menjatuhkan martabat dan gengsi. Bisa repot. Ini memalukan saya. Sehingga istri tidak diajak jalan-jalan lagi.

Nah, dari contoh-contoh tersebut, jelaslah kenapa kita senang sama orang, kenapa kita tidak senang sama orang. Itu semua karena keinginan kita. Kalau keinginan tercapai, saya senang. Kalau keinginan tidak tercapai, saya tidak senang. Bukan hanya dengan pasangan hidup atau orang, dengan benda, rumah/tempat, dengan musik, bacaan, apa saja, semuanya tergantung kepada kesenangan saudara. Kalau kesenangan tercapai, saudara senang, cinta, bahagia. Kalau kesenangan atau keinginan tidak tercapai, saudara jengkel, emosi, marah. Kalau demikian, dapat kita simpulkan bahwa marah adalah karena keinginan kita, setuju?

Kalau sekarang marah itu adalah karena keinginan, maka begitu kita marah, hendaknya kita segera menyadari: "Ini keinginan saya. Saya ingin apa sih? Saya ingin dia pintar seperti ini. O..., lalu saya lihat kemampuannya, dia tidak bisa, ya sudah. Keinginan saya, saya turunkan. Tidak usah terlalu menuntut. Kalau kita hanya memegang keinginan saja, Pokoknya dia harus bisa menuruti omongan saya, maka kita akan menderita. Menderita karena keinginan kita sendiri.

Dengan bisa memaklumi kekurangan orang lain, dan mengubah cara berpikir atau keinginan kita, kita dapat mengurangi kemarahan. Jangan terlalu menuntut terhadap orang lain, karena semua orang, semua barang, semua benda itu ada kelemahannya, ada kekurangannya.

Jadi kalau saudara marah, ingat baik-baik: "Ini toh karena keinginan saya. Lalu bagaimana renungannya supaya tidak sering marah? Bagaimana mengendalikan kemarahan? Kita merenungkan demikian: Dia punya kekurangan, tetapi juga punya kelebihan; demikian pula dengan saya. Tiada lagi kemarahan di dalam diri saya. Nah, inilah mantranya. Mantra agar tidak marah. Kalau kita mulai jengkel atau marah kepada seseorang, kita merenungkan atau langsung mengatakan: Dia memang punya kekurangan, tapi juga punya kelebihan. Begitu pula dengan saya. Tiada lagi kemarahan di dalam diri saya. Melakukan perenungan ini, kalau pagi bangun tidur diulang 5 kali, malam mau tidur diulang 5 kali. Dan mulai membaca mantra ini sejak hari ini. Kenapa demikian? Saya 'kan belum marah sama dia? Itu memang benar. Tapi ini untuk siap-siap menghadapi munculnya marah itu. Sama seperti saudara belum ketemu maling, tapi saudara sudah belajar kungfu. Jangan belajar kungfu kalau malingnya sudah datang. Keburu benjol semua kepala saudara. Belajar kungfu itu kalau malingnya belum datang, otomatis jurusnya keluar. Demikian juga dengan kemarahan. Jangan menunggu akan marah, baru merenungkan mantra itu. Mulailah sejak sekarang, mumpung belum marah. Walaupun saudara adalah pasangan hidup yang serasi, saudara hendaknya mulai berpikir demikian. Walaupun di pergaulan saudara tidak ada masalah, mulailah saudara berpikir begitu. Sehingga nanti kalau ketemu teman di organisasi yang menjengkelkan, saudara akan berpikir: Walaupun dia punya kekurangan, toh dia juga punya kelebihan. Saya akan mengingat-ingat kelebihannya.

Dengan demikian maka kejengkelan kita bisa kita kurangi, karena sumber kejengkelan adalah pikiran kita, keinginan kita sendiri. Karena kita ingin dia sempurna, dan tidak ingin dia tidak sempurna. Siapakah yang sempurna dalam dunia ini? Tidak ada yang sempurna. Inilah yang perlu kita renungkan di dalam hati. Jangan ngomong dia punya kelebihan dulu, karena kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tidak nampak. Kesalahan orang sedikit saja nampak, tetapi kebaikannya meskipun banyak, tidak nampak. Karena itu kesalahan pada orang lain lebih mudah dilihat daripada kelebihan dia. Karena itu kita ngomong dulu kekurangannya pada mantra perenungan kita: Memang dia punya kekurangan, tapi dia pasti punya kelebihan. Begitu pula saya. Tiada lagi kemarahan di dalam diriku. Ini direnungkan terus. Kalau direnungkan terus, maka dalam waktu 1 tahun saya akan melihat ukiran-ukiran di Gunung Kawi, yang berupa kejengkelan-kejengkelan, emosi, kebencian, kemarahan, semuanya menjadi hancur, lumat, rata dengan tanah. Tidak ada lagi emosi di dalam diri saudara.

Tetapi ukiran-ukiran Gunung Kawi yang baik-baik, dengan mengenalkan Dharma kepada lingkungan, keluarga, rekan-rekan dan kerabat saudara, akan terus berjaya untuk waktu yang tak terbatas. Dan kalau saudara bisa mengembangkan hal ini —ukiran yang positif bisa dipertahankan, ukiran yang negatif tidak dilakukan—, maka kebahagiaan akan menjadi milik saudara. Kebahagiaan tidak hanya saudara alami di dalam kehidupan ini, tetapi kebahagiaan juga akan saudara alami setelah kehidupan saudara hidup di duni aini. Artinya saudara pun akan bisa terlahir di surga karena kebaikan saudara. KTP saudara Buddhis, juga bisa lahir di surga. Umat Buddha kapal selam juga bisa lahir di surga. Umat Buddha yang sungguh-sungguh, akan terlahir di surga untuk waktu yang lama dan berkali-kali.

Oleh karena itu lakukanlah kebaikan, karena kebaikan yang dilakukan akan membuahkan kebahagiaan, baik di dalam kehidupan ini, maupun di dalam kehidupan-kehidupan yang selanjutnya.


Semoga semua makhluk, baik yang tampak maupun yang tidak tampak akan memperoleh kebahagiaan lahir dan batin, sesuai dengan kondisi karma masing-masing.

Senin, 13 Desember 2010

Rasa Bersalah Para Penjahat


Rasa Bersalah Para Penjahat
Oleh Ajahn Brahm


Sebelum saya tertimpa tugas terhormat yang membebani sebagai kepala vihara, dulunya saya sering mengunjungi penjara-penjara di Perth. Saya menyimpan baik-baik catatan mengenai tugas pelayaran di penjara ini karena bisa saya pakai sebagai kredit prestasi seandainya saya sendiri sampai harus dipenjara.

Pada kunjungan perdana saya ke sebuah penjara besar di Perth, saya terkejut dan terkesan akan banyaknya narapidana yang menghadiri ceramah mengenai meditasi yang saya bawakan. Ruangan pertemuan penuh sesak. Sekitar sembilan puluh lima persen dari populasi penjara hadir untuk belajar meditasi. Makin lama saya berbicara, rupanya semakin gelisahlah para pendengar saya. Baru sepuluh menit berlalu, seorang narapidana, salah satu penjahat paling kondang di penjara, mengangkat tangannya untuk bertanya. Saya mempersilahkannya.

"Apa betul," tanyanya, "Dengan meditasi kita bisa terbang?"

Sekarang saya tahu mengapa ada begitu banyak narapidana yang datang ke ceramah saya. Rupanya mereka semua berencana belajar bermeditasi supaya bisa terbang melewati tembok penjara!

Saya bilang kepada mereka bahwa hal itu tidaklah mustahil, namun itu hanya untuk meditator yang berbakat istimewa saja, dan itu pun setelah bertahun-tahun latihan. Pada kesempatan berikutnya saya datang untuk mengajar di penjara itu lagi, hanya ada empat orang narapidana yang masih setia mengikuti ceramah saya.

Setelah beberapa tahun mengajar di penjara, saya jadi mengenal beberapa penjahat dengan akrab. Salah satu hal yang saya temukan adalah bahwa setiap penjahat merasa bersalah terhadap apa yang telah mereka lakukan. Mereka merasakannya siang dan malam, dalam lubuk hati yang terdalam. Mereka hanya memberitahukan hal ini kepada teman dekat saja. Di depan publik, mereka menampilkan wajah sangar khas penjahat. Tetapi bila mereka bisa mempercayai Anda, ketika mereka menganggap Anda sebagai pembimbing spiritual mereka, meskipun untuk sejenak saja, mereka akan membuka diri dan mengungkapkan rasa bersalah yang memedihkan. Saya sering membantu mereka melalui cerita mengenai "Anak-Anak Kelas B".



Sumber :
Buku Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya
108 Cerita Pembuka Pintu Hati
Oleh Ajahn Brahm
(Buku Wajib Punya, disarankan membeli di toko buku terdekat atau hubungi Penerbit)
Info lebih lanjut silahkan hubungi Ehipassiko Foundation 
http://www.facebook.com/comeandsee
atau
http://www.ehipassiko.net/

Tanggung Jawab Universal dan Lingkungan Global Kita

Tanggung Jawab Universal dan Lingkungan Global Kita
Oleh H. H. Dalai Lama

Penerjemah : Rudi Agus Widono
Editor         : Tim AB

©2010 Artikel Buddhis (AB)

Anda dipersilahkan menyalin, merubah bentuk, mencetak, mempublikasi, dan mendistribusikan karya ini dalam media apapun, dengan syarat:
(1) Tidak diperjualbelikan;
(2) Dinyatakan dengan jelas bahwa segala turunan dari karya ini (termasuk terjemahan) diturunkan dari dokumen sumber ini; dan
(3) menyertakan teks lisensi ini lengkap dalam semua salinan atau turunan dari karya ini. Jika tidak, maka hak penggunaan tidak diberikan.

Ketika berakhirnya abad ke-20, kita menemukan bahwa dunia telah semakin mengecil. Manusia di dunia telah hampir menjadi satu komunitas. Politik dan Aliansi (Persekutuan) militer telah menciptakan kelompok multinasional yang besar; industri dan perdagangan internasional telah menghasilkan ekonomi global. Komunikasi di seluruh dunia melenyapkan penghalang jarak, bahasa dan ras. Kita juga terseret bersama oleh masalah besar yang kita hadapi yaitu: kelebihan penduduk, menipisnya sumber daya alam, dan krisis lingkungan yang mengancam udara, air, dan pepohonan, serta begitu banyak bentuk kehidupan yang indah yang menjadi pondasi penting keberadaan planet kecil yang kita tinggali bersama ini.

Saya percaya bahwa untuk menghadapi tantangan di zaman kita ini, umat manusia harus membentuk rasa tanggung jawab universal yang lebih kuat. Masing-masing kita harus belajar untuk bekerja  tidak hanya untuk dirinya, keluarga atau bangsanya sendiri, tetapi juga demi kepentingan seluruh umat manusia. Tanggung jawab universal adalah kunci nyata menuju kelangsungan hidup manusia. Ini merupakan pondasi/dasar terbaik untuk kedamaian dunia, penggunaan sumber daya alam yang wajar, dan dengan memperhatikan generasi mendatang, kepedulian terhadap lingkungan.

Itulah mengapa begitu melegakan melihat organisasi-organisasi non-pemerintah seperti kalian. Peran kalian dalam mengasah masa depan yang lebih baik sangat diperlukan. Saya telah melewati banyak organisasi seperti itu yang dibentuk oleh sukarelawan berdedikasi yang memiliki kepedulian yang tulus bagi sesama umat manusia. Komitmen seperti ini menggambarkan “garis depan” proses sosial dan lingkungan.

Terserah kita suka atau tidak, kita telah dilahirkan di dunia ini sebagai bagian dari satu keluarga besar. Kaya atau miskin, berpendidikan atau terbelakang, menjadi milik suatu bangsa, agama, ideologi atau yang lainnya, pada akhirnya masing-masing dari kita hanyalah seorang manusia biasa seperti yang lainnya. Kita semua menginginkan kebahagiaan dan tidak menginginkan penderitaan. Lagi pula, masing-masing dari kita memiliki hak yang sama untuk mengejar kebahagiaan dan menghindari penderitaan. Saat anda menyadari semua makhluk adalah sama dalam hal ini, anda akan otomatis merasakan empati dan kedekatan pada mereka. Di luar ini semua, pada gilirannya, muncul rasa tanggung jawab universal sejati, yaitu keinginan untuk secara aktif membantu sesama melewati semua masalah mereka.

Kebutuhan akan rasa tanggung jawab universal muncul di setiap aspek kehidupan modern. Pada masa kini, suatu kejadian yang signifikan (penting) di satu sisi bagian dunia akhirnya memengaruhi seluruh planet. Oleh karena itu, kita harus memperlakukan setiap masalah besar yang bersifat lokal sebagai urusan global, dari saat masalah tersebut dimulai. Kita tidak bisa lagi meminta dinding pembatas nasional, rasial (berdasarkan cirri-ciri fisik, ras, bangsa, suku bangsa, dsb) dan ideologi yang memisahkan kita tanpa reaksi yang merusak. Dalam konteks rasa saling ketergantungan kita yang baru ini, mengingat ketertarikan kita kepada yang lain adalah jelas –jelas merupakan bentuk terbaik dari kepentingan pribadi (self – interest).

Kita perlu menghargai rasa saling ketergantungan akan alam jauh lebih dari yang pernah kita lakukan pada masa lalu. Kekelirutahuan (Ketidaktahuan) kita akan hal ini adalah tanggung jawab secara langsung pada banyak masalah yang kita hadapi sekarang. Contohnya, “menyadap” sumber daya alam yang terbatas di bumi kita -- terutama di negara-negara berkembang -- hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, adalah bencana. Jika ini berlanjut tanpa perbaikan, pada akhirnya kita semua akan menderita. Kita harus menghormati keseimbangan hidup dan memberinya kesempatan memperbaiki dirinya sendiri.

Ketidaktahuan (Kekelirutahuan) akan sifat yang saling bergantung ini tidak hanya akan merugikan lingkungan alam, tapi juga kehidupan sosial manusia. Bukannya saling menjaga satu sama lain, kita malah banyak menempatkan hasrat kita akan kebahagiaan dengan mengejar materi untuk kepentingan pribadi. Kita menjadi begitu terpikat dalam pengejaran ini hingga tanpa menyadarinya, kita telah lalai mengembangkan kebutuhan paling dasar manusia akan cinta, kebaikan dan kebersamaan. Ini betul-betul menyedihkan. Kita harus mengingat apa  sebenarnya kita sebagai manusia. Kita bukanlah benda-benda yang dibuat oleh mesin. Bagaimanapun, karena kita bukanlah makhluk materi semata, merupakan kesalahan untuk mencari pemuasan  eksternal saja.

Untuk mencapai pertumbuhan yang tepat, kita perlu memperbarui komitmen kita pada nilai-nilai manusia dalam banyak bidang. Kehidupan politik, tentu saja, membutuhkan etika sebagai pondasi, tapi ilmu pengetahuan dan agama, juga sebaiknya, harus dikejar dengan moral sebagai dasarnya. Tanpanya para ilmuwan tidak bisa membedakan antara teknologi yang menguntungkan dan yang memang bermanfaat. Kerusakan lingkungan di sekitar kita adalah hasil yang paling jelas dari kebingungan ini. Dalam hal agama, tentu saja moral diperlukan.

Tujuan suatu agama adalah tidak untuk membuat bangunan yang indah, tapi untuk menumbuhkan kualitas positif manusia seperti toleransi, kemurahan hati dan kasih sayang. Setiap agama di dunia, tidak peduli apa filosofi yang dimilikinya, didirikan pertama kali dan yang terutama atas aturan bahwa kita harus mengurangi keegoisan kita dan melayani sesama. Sayangnya, terkadang dalam nama agama, orang mengakibatkan lebih banyak perselisihan daripada pemecahan masalah. Para praktisi dengan keyakinan yang berbeda harus menyadari bahwa setiap tradisi agama memiliki nilai hakiki yang besar yang dimaksudkan untuk mendukung kesehatan mental dan spiritual.

Saya telah sangat berbesar hati  mengikuti perkembangan terakhir dalam pencarian perdamaian antara warga Israel dan Palestina. Gencatan senjata kedua pihak, dan berbicara secara langsung adalah, pendapat saya, satu-satunya cara untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi. Kita harus belajar hidup bersama dalam jalan tanpa kekerasan yang dapat memelihara kebebasan semua orang.

Ada sebuah syair luar biasa dalam Alkitab tentang mengubah pedang menjadi mata bajak. Itu sebuah gambaran yang indah, sebuah senjata berubah menjadi alat untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, simbolis suatu sikap perlucutan senjata dalam dan luar. Dalam semangat pesan kuno ini, Saya pikir penting bagi kita untuk menekankan sebuah kebijakan mendesak yang telah lama tertunda penghapusan militer di seluruh dunia. Penghapusan militer akan membebaskan sumber daya manusia dalam jumlah besar yang dapat dipakai untuk melindungi lingkungan, pengentasan kemiskinan, dan keberlangsungan pembangunan manusia.

Saya selalu memimpikan masa depan negara Saya, Tibet, jika didirikan dengan dasar ini. Tibet akan menjadi tempat berlindung bebas militer yang netral, tempat dilarangnya keberadaan senjata dan manusia hidup dalam harmoni dengan alam. Saya menyebutnya Daerah Ahimsa atau tanpa kekerasan. Ini bukan mimpi semata – ini betul-betul cara hidup yang  diambil penduduk Tibet selama ribuan tahun lebih sebelum negara kami diserbu. Di Tibet, kehidupan liar dilindungi mengikuti prinsip Buddhis. Kami membuat peraturan perlindungan lingkungan, tapi lingkungan terlindungi lebih karena paham yang ditanamkan sejak masih kanak - kanak.

Saya akan menutupnya dengan mengucapkan bahwa Saya merasa optimis tentang masa depan. Ada sejumlah tren baru-baru ini yang menunjukkan potensi kita untuk mencapai masa depan yang lebih baik. Perubahan yang terjadi secara bertahap dalam sikap kita terhadap bumi ini adalah sumber harapan. Seperti baru saja sekitar satu dekade lalu, tanpa pikir panjang kita menelan sumber daya alam di dunia seakan-akan sumber daya tersebut tidak terbatas. Kita gagal menyadari bahwa konsumsi tanpa pengendalian adalah bencana bagi kedua lingkungan dan kesejahteraan sosial. Sekarang, kedua individu dan pemerintah sedang mencari sistem baru yang ramah lingkungan dan ekonomis.

Memang benar bahwa hingga akhir tahun 1980-an, banyak orang percaya bahwa perang merupakan suatu keadaan yang tak terelakan oleh umat manusia. Pandangan yang muncul saat itu adalah bahwa orang-orang dengan minat/kepentingan yang bertentangan hanya bisa berhadapan satu sama lain (ctt: bisa jadi berperang). Namun, pandangan ini telah berkurang. Saat ini seluruh dunia lebih berkomitmen untuk hidup berdampingan secara damai, sebagai buktinya ada disini, di kawasan Timur Tengah. Ini merupakan perkembangan yang positif disamping mengherankan.

Setelah selama berabad-abad percaya bahwa suatu masyarakat hanya bisa diatur dengan sikap disiplin yang keras dan kaku, Manusia di seluruh penjuru dunia telah menyadari nilai positif dari suatu demokrasi. Berbicara dari hati mereka, mereka telah menunjukkan bahwa keinginan kuat akan kebebasan dan kebenaran serta demokrasi tumbuh dari sebuah bibit yaitu sifat dasar manusia. Kejadian yang belum lama ini terjadi di dunia telah membuktikan ekspresi kebenaran sederhana, yaitu sebuah kekuatan dahsyat dalam pikiran manusia, dan sebagai hasilnya, ia membentuk sejarah.

Salah satu pelajaran terbesar untuk kita semua adalah perubahan penuh kedamaian di bagian timur Eropa. Pada zaman dahulu, orang yang tertindas selalu mengambil jalan kekerasan dalam perjuangannya mendapatkan kebebasan. Sekarang, revolusi penuh damai tersebut, mengikuti jejak kaki Gandhi dan Martin Luther King, telah memberikan kepada generasi penerus mereka contoh luar biasa, perubahan tanpa kekerasan. Ketika, di masa depan, terjadi peningkatan kebutuhan untuk mengubah masyarakat, anak cucu kita bisa melihat kembali ke tahun 1989 sebagai paradigma perjuangan demi kedamaian: kisah nyata kesuksesan pada skala yang belum pernah terjadi sebelumnya, melibatkan lebih dari setengah lusin negara dan ratusan juta orang.

Sementara itu, telah tumbuh kewaspadaan tentang hak asasi manusia. Cara kasar tidak akan pernah menundukkan hasrat mendasar manusia akan kebebasan, kebenaran dan demokrasi, yang merupakan hak fundamental kita. Orang sudah tentu tidak suka seseorang atau sebuah sistem yang mengganggu, curang dan memiliki kebohongan. Segala perbuatan ini bertolak belakang dengan jiwa manusia.

Semua tanda-tanda menggembirakan ini mencerminkan sebuah penghargaan baru bagi nilai-nilai dasar manusia. Karena pelajaran yang telah mulai kita ambil, abad berikutnya akan lebih bersahabat, lebih rukun, dan tanpa ancaman. Belas kasihan, bibit kedamaian, akan mampu tumbuh dengan subur. Di waktu yang sama, Saya percaya semua individu memiliki tanggung jawab yang sama untuk membantu memandu keluarga besar kita ke arah yang benar. Keinginan baik saja tidak cukup, masing-masing kita harus memikul tanggung jawab tersebut.

Saya berharap dan berdoa di hari-hari berikutnya,  masing-masing dari kita akan melakukan semua yang kita bisa untuk melihat bahwa cita-cita menciptakan dunia yang lebih menyenangkan, lebih rukun dan sehat akan tercapai.

[dari: Tibetan Bulletin (Maret- April 1994]

[ini adalah pesan yang alamatnya ditujukan kepada Society for the Protection of Nature, Israel, pada Maret 22, 1994]





 ==================================================






Universal Responsibility and Our Global Environment
by H. H. the Dalai Lama

As the twentieth century draws to a close, we find that the world has grown smaller. The world's people have become almost one community. Political and military alliances have created large multinational groups; industry and international trade have produced a global economy. Worldwide communications are eliminating ancient barriers of distance, language and race. We are also being drawn together by the grave problems we face: overpopulation, dwindling natural resources, and an environmental crisis that threatens our air, water, and trees, along with the vast number of beautiful life forms that are the very foundation of existence on this small planet we share.

I believe that to meet the challenge of our times, human beings will have to develop a greater sense of universal responsibility. Each of us must learn to work not just for his or her own self, family or nation, but for the benefit of all mankind. Universal responsibility is the real key to human survival. It is the best foundation for world peace, the equitable use of natural resources and, through concern for future generations, the proper care of the environment.

That is why it is so heartening to see such non-governmental organisations as yours. Your role in forging a better future is absolutely essential. I have come across many such orgaisations built by dedicated volunteers out of genuine concern for their fellow human beings. Such commitment represents the forefront of both social and environmental progress.

Whether we like it or not, we have all been born on this earth as part of one great family. Rich or poor, educated or uneducated, belonging to one nation, religion, ideology or another, ultimately each of us is just a human being like everyone else. We all desire happiness and do not want suffering. Furthermore, each of us has the same right to pursue happiness and avoid suffering. When you recognise that all beings are equal in this respect, you automatically feel empathy and closeness for them. Out of this, in turn, comes a genuine sense of universal responsibility -- the wish to actively help others overcome their problems.

The need for a sense of universal responsibility is present in every aspect of modern life. Nowadays, significant events in one part of the world eventually affect the entire planet. Therefore, we have to treat each major local problem as a global concern from the moment it begins. We can no longer invoke the national, racial or ideological barriers that separate us without destructive repercussions. In the context of our new interdependence, considering the interest of others is clearly the best form of self-interest.

We need to appreciate interdependence in nature far more than we have in the past. Our ignorance of it is directly reponsible for many of the problems we face. For instance, tapping the limited resources of our world -- particularly those of the developing nations -- simply to fuel consumerism, is disastrous. If it continues unchecked, eventually we will all suffer. We must respect the delicate balance of life and allow it to replenish itself.

Ignorance of interdependence has not only harmed the natural environment, but human society as well. Instead of caring for one another, we place most of our efforts for happiness in pursuing individual material consumption. We have become so engrossed in this pursuit that, without knowing it, we have neglected to foster the most basic human needs of love, kindness and cooperation. This is very sad. We have to consider what we human beings really are. We are not machine-made objects. However, since we are not solely material creatures, it is a mistake to seek fulfillment in external development alone.

To pursue growth properly, we need to renew our commitment to human values in many fields. Political life, of course, requires an ethical foundation, but science and religion, as well, should be pursued from a moral basis. Without it scientists cannot distinguish between beneficial technologies and those which are merely expedient. The environmental damage surrounding us is the most obvious result of this confusion. In the case of religion, it is particularly necessary.

The purpose of religion is not to construct beautiful buildings, but to cultivate positive human qualities such as tolerance, generosity and love. Every world religion, no matter what its philosophical view, is founded first and foremost on the precept that we must reduce our selfishness and serve others. Unfortunately, sometimes in the name of religion, people cause more quarrels than they solve. Practitioners of different faiths should realise that each religious tradition has immense intrinsic value as a means for providing mental and spiritual health.

I have been extremely heartened to follow the recent developments in the search for peace between Israelis and Palestinians. Laying down guns on both sides, and talking face-to-face is, in my opinion, the only way to resolve such disputes. We must learn to live together in a nonviolent way that nurtures the freedom of all people.

There is a wonderful verse in the Bible about turning swords into ploughshares. It is a lovely image, a weapon transformed into a tool to serve basic human needs, symbolic of an attitude of inner and outer disarmament. In the spirit of this ancient message, I think it is important that we stress today the urgency of a policy that is long overdue -- the demilitarisation of the entire planet. Demilitarisation would free great human resources for protection of the environment, relief of poverty, and sustainable human development.

I have always envisioned the future of my own country, Tibet, as founded on this basis. Tibet will be a neutral, demilitarised sanctuary where weapons are forbidden and the people live in harmony with nature. I have called this a Zone of Ahimsa or non-violence. This is not merely a dream -- it is precisely the way Tibetans tried to live for over a thousand years before our country was tragically invaded. In Tibet, wildlife was protected in accordance with Buddhist principles. We enacted decrees to protect the environment, but it was mainly protected by the beliefs which were installed in use as children.

I would like to conclude by stating that I feel optimistic about the future. There are a number of recent trends which show our potential for achieving a better world. The rapid changes in our attitude towards the earth are a source of hope. As recently as a decade ago, we thoughtlessly devoured the resources of the world as if there was no end to them. We failed to realise that unchecked consumerism was disastrous for both the environment and social welfare. Now, both individuals and governments are seeking a new ecological and economic order.

It is true to say that as late as the 1980s people believed that war was an inevitable condition of mankind. The notion prevailed that people with conflicting interests could only confront each other. This view has deminished. Today people all over the globe are more committed to peaceful co-existence, as is evident here in the Middle East. This is an astonishingly positive development.

After believing for centuries that human society could only be governed with rigid authoritarian discipline, people in all corners of the world have woken up to the virtues of democracy. Speaking from their hearts, they have shown that the desire for freedom and truth and democracy stems from the core of human nature. Recent events have proved that the simple expression of truth is an immense force in the human mind, and as a result, in the shaping of history.

One of the greatest lessons for all of us has been the peaceful change in Eastern Europe. In the past, oppressed people have always resorted to violence in their struggle to be free. Now, these peaceful revolutions, following in the footsteps of Gandhi and Martin Luther King, have given future generations a tremendous example of successful, nonviolent change. When, in the future, the need arises to change society, our descendents can look back to 1989 as a paradigm for peaceful struggle: a real success story on an unprecedented scale, involving more than half a dozen nations and hundreds of millions of people.

Meanwhile, there has been a growth of awareness of human rights. Crude power can never subdue mankind's basic desire for freedom, truth and democracy, which are our fundamental right. People simply don't like a person or a system that bullies, cheats and lies. These activities are essentially opposed to the human spirit.

All these encouraging signs reflect a renewed appreciation of the benefits of basic human values. Because of the lessons we have begun to learn, the next century will be friendlier, more harmonious, and less harmful. Compassion, the seeds of peace, will be able to flourish. At the same time, I believe that every individual has a responsibility to help guide our global family in the right direction. Good wishes alone are not enough, we each have to assume responsibility.

I hope and pray that in the days ahead, each of us will do all we can to see that the goal of creating a happier, more harmonious and healthier world is achieved.

[from: Tibetan Bulletin (March-April 1994)

[This is the text of the address delivered to the Society for the Protection of Nature, Israel, on March 22, 1994]