Minggu, 17 Oktober 2010

Perbuatan Baik Dalam Praktik






Perbuatan Baik Dalam Praktik
Oleh Yang Mulia Bhikkhu Sudhammajivo

Panca Sila, sebagaimana halnya hukum negara, membantu umat Budha untuk mendisilpinkan diirnya dan mengikuti Jalan Mulia Beruas Delapan. Pancasila sebenarnya nilai-nilai maunsia yang mendasar, yang membawa manfaat besar bagi mereka yang melaksanakannya. Lima aturan itu adalah menjauhi diri dari pembunuhan, pencurian, prilaku seks yang menyimpang, berbohong dan mengkonsumsi bahan-bahan beracun.

Pertama adalah aturan menahan diri dari pembunuhan. Aturan ini berkenaan degnan pembunuhan yang dilakukan secara langsung oleh diri sendiri atau dilakukan secara tidak langsung dengan menyebabkan orang lain membunuh. Lebih jauh lagi, tidak hanya itu bukan hanya menyangkut manusia, tetapi juga makhluk hidup lai. Sila ini dibangun secara kuat atas asar pengakuan kesamaan hakiki dari semua makhluk hidup dan saling timbal balik hubungan. Dalam hal ini, aturan ini tidak berbeda dari dan tentu asja, menciptakan pla bagi sila kedua, ketiga, dan keempat dn hanya sila kelima yang agak berbeda. Secara khusus, kesamaan berarti bahwa semua makhluk hidup sama dalam menginginkan hidup dan takut akan kematian. Saling timbal balik berarti sebagaimana orang tidka mau dibunuh, begitu juga semua makhluk hidup tidak mau dibunuh. Sang Buddha menganjurkan semua oang untuk membandingkan dirinya sendiri dengan orang lain dan dengan demikian menahan diri dari pembunuhan. Sang Buddha mengajarkan prinsip tanpa kekerasan (ahimsa) dan mendorong orang untuk meninggalkan niat jahat dan kemarahan. Sila yang pertama menjga agar sikap yang tidak baik ini tidak berwujud dalam tindakan. Sebagaimana penerapan positif sila pertama adalah melindungi kehidupan atau memberi perlindungan, praktek Buddhis tradisional untuk prinsip ini adalah dengan membeli hewan-hewan yang terkurung (mislanya: burung, kura-kura, ikan, dan katak yang akan dibunuh) dan melepaskannya. Selain itu umat Buddha kadang-kadang memperluas penerapan ila pertama ke kebiasan diet mereka. Dalam kaitan ini, mereka menjadi vegetarian dengan keyakinan bahwa dengan makan daging binatang berarti mendukung praktek pembunuhan binatang. Bila Buddhis membiasakan praktek vegetarian, mereka terutama didorong oleh penghormatan akan hidup dan bukan karena pandangan bahwa diet vegetarian itu baik untuk kesehatan atau bahwa daging pada dasarnya tidak suci.

Kedua adalah aturan menahan diri dari pencurian. Orang dapat mencuru secara langsung, yaitu dilakukan oleh diri sendiri, atau menyebabkan orang lain untuk mencuri. Oleh karena itu kata-kata dan tindakan sekali lagi dapat memainkan peranana dalam pelanggaran sila ini. Umat Buddha selalu diperingati untuk menghindari keserakahan, dan keinginan untuk memiliki berlebihan. Sila kedua menjaga agar sikap ini tidak diekspresikan dalam tindakan yang akan mengakibatkan ketidakbahagiaan bagi semua orang. Lebih jauh lagi, sila kedua menganjurkan agar kira mencari nafkah dengan cara-cara yang benar.

Ketiga adalah aturan menahan diri dari perilaku seksual yang menyimpang. Seperti halnya menciri, perilaku sekual yang menyimpang pada dasarnya didorong oleh hasrat yang berlebihan atau keserakahan. Sang Buddha menganjurkan orang untuk menahan kecenderungan dari perilaku seksual yang salah, Beliau menganjurkan pengobatan khusus untuk masalah ini. Beliau mengajurkan orang untk menganggap lawan jenis yang menjadi pasangan orang lain sebagai ibu/ayah, saudara/i, putra/i sesuai dengan usia mereka. Kalau hal ini gagal untu menundukkan hasrat yang berlebihan, mereka dianjurkan untuk merenungkan kekotoran tubuh. Karena melanggar sila ini, beberapa orang terlahir dengan cacat organ tubuh. AIDS dan penyakit yang ditularkan secara seksual juga teruatma disebabkan oleh pelanggaran sila ini. Tak ada jalan keluar yang lebih baik daripada berpantang melakukan hubungan seksual yang salah. Pencegaha lebih baik daripada penyembuhan. Hubungan suami istri tidak dianggap sebagai pelanggaran seksual yang menyimpang. Hal ini diterima bagi umat Buddha awam yang menjalani hidup berumah tangga.

Keempat adalah aturan menahan diri dari kebihingan. kebenaran sangat penting bgai agama Buddha yang mengajarkan bahwa seseorang dapat mencapai Penerangan Sempurna dengan mengetahui kebenaran. Pangeran Siddharta meninggalkan hidup dalam istana ayahnya untuk mencari kebenaran dan kemudian beliau dikenal sebagai "Raja Kebenaran". Oleh karena itu tidaklah mengherankan bahwa penghargaan atas Kebenaran haruslah dijunjung tinggi dalam aturan perilaku yang baik sebagai sila keempat, yaitu menahan diri dari berkata bohong. Membunuh sering kali brekaitan denga niat jahat dan kemarahan, pencurian berkaitan dengan nafsu. Sedangkan seseorang dapat berkata bohong bisa karena niat jahat dan kemarahan karena ia ingin merusak nama baik orang lain, atau karena nafsu atau keserakahan dalam rangka memperoleh benda yang ia inginkan. Berpantang diri dari berbohong bukan hanya mencakup kebohongan biasa, tetapi juga semua jenis penipuan dan pernyataan yang melebih-lebihkan. Disini, menghasut orang lain untuk berbohong juga merupakan pelanggaran sila keempat. Bahkan lebih tajam lagi, dalam sila keempat juga tersirat menahan diri dari penipuan diri, yaitu membohongin diri sendiri. Orang yang terbiasa membohongi diri takkan mampu maju memcapai kebahagian dan penerangan.

Kelima adalah aturan menahan diri dari mengkonsumsi (memakan atu meminum) bahan-bahan beracun. Sebagaimana ditunjukkan sebelumnya, sila kelima adalah turan yang bebeda dari keempat sila sebelumnya, karena makanan dan minuman yang beracun bukanlah pelanggaran prinsip penghargaan atas hidup, hal memiliki harta benda, hubungan pribadi dan kebenaran yang terwujud dalam sila lainnya. Namun mengkonsumsi barang-barang beracun cenderung menciptakan keadan yang dapat melanggar sila yang lain. Selain itu, jika melenggar keempat sila pertama secara lansung melukai orang lain, melanggar sila kelima secara langsung melukai diri sendiri. Selain menjaga pelaksaan keempat sila sebelumnya denagn menjaga, pemusatan pikian, sila kelima juga melawan ketumpulan pikiran. Yang kedua, sila kelima menyiapkan pikiran untuk praktek mengembangkan mental yang mengembangkan mental yang menuju ke Kebijaksanaan. Dengan demikian sila kelimat bukan semata-mata atau bhakan mungmin erutama prinsip moral, melainkan bagian praktek yang berguna untuk maju dalam tingkat-tingkat yang lebih tinggi dalam jalan menuju penerangan.

Pancasila adalah penerapan khusus dan pribadi dari aturan perbuatan baik. Kalau dilaksanakan secara menyeluruh akan menghasilakn terbentuknya masyarakat yang ideal. Bahkan kalaupun oleh pribadi dan secara sebagian. Pancasila mneyediakan dasra bagi kebahagiaan sekarang dan yang akan datang. Hal ini karena kalau panca sila dilaksanakan akan mencegah penyebaran tindakan tidak baik dari tubuh, ucapan, dan pikiran yang mengakibatkan penderitaan menurut hukum kamma. Oleh karena itu bila dengan melaksanakan sila-sila itu orang menghindari pembunuhan, pencurian, prilaku seks yang salah dan berbohong, orng menjga dirinya supaya tidak menderita drai perbuatannya seperti pedek umur, kemelekatan, atau kesengsaraan perkawinan dn seterusnya, yang merupakan akibat dari tindakan-tindakan tidak baik itu. Dengan demikian pembunuhan semut ataupun nyamuk atau musuh pada masa perang, walaupun masih merupakan unsur dari sila pertama, mungkin tidak membawa akibat kamma yang penuh karena kondisi dimana hal itu terjadi.

Pelaksanaan delapan aturan (Attha Sila) pada tanggal satu dan lima belas pada penanggalan bulan, juga disebut sebagai Uposattha namaknya dimulai sebagai semacam pelengkap bagi umat awam atas pengulangan aturan kebiaraan bagi para bhikkhu. Pelaksanaan delapan sila bagi umat awam dapat ditelusuri kembali pada masa Sang Buddha. Dalam kotbah kepada Visakha, pengikut awam yang saleh, Sang Buddha menganjurkan pelaksanaan delapan sila pada hari-hari tertentu. Secara khusus, melaksanakan delapan sila dikatakan bseagai tiruan dari disiplin para Arahat. Delapan sila bukan hanya membuat penghargaan atas pelepasan dan merenungkan ajaran Sang Buddha, tetapi juga jasa-jasa yang berarti yang berakibat kebahagiaan di maas yang akan datang. Delapan sila mencegah makan pada waktu yang tidak layak, menari, menyanyi, musik dan tontonan yang tidak pantas; dari penggunaan untaian bunga, wewangian, dan polesan; dari benda-benda yang bertujuan mempercantik dan menghias diri. Penggunaan tempat tidur yang tingi dan besar juga dilarang untuk mencegah kemalasan dan mendorong kerendahan diri, sebagaimana secara tradisional, penggunaan tempat tidur dan tempat duduk yang tinggi diperuntukkan bagi orang yang berstatus tinggi dan mengakibtkan perasaan diri sebagai orang penting. Dengan hanya menahan diri dari waktu ke waktu dengan cara ini sehingga seseorang akan dapat mengatasi keresahan dan mampu mengendalikan dirinya. Latihan ini, melatihnya untuk tidak kewcewa bila ia tidak mendapatkan kesenangan inderawi. Para bhikkhu dan bhikkhuni yang telah meninggalkan kesenangan duniawi melaksanakan prinsip-prinsip ini sepanjang waktu. Sebaliknya umat Buddha awam melaksanakan delapan aturan ini sewaktu-waktu saja. Namun semua umat Buddha yang melaksanakan lima aturan setiap hari.

Pelaksanaan sila membantu orang untuk menanam lima kebaikan mulia yang berkaitan dengan masing-masing sila. Yang pertama adalah mengembangkan belas kasihan; yang kedua kedermawanan dan ketidakmelekatan; yang ketiga adalah rasa puas; yang keempat kebenaran, dan yang kelima adalah perhatian penuh dan kejernihan pikiran.

Setiap umat Buddha selayaknya melaksanakan kelima sila untuk dapat meningkatkan dirinya secara moral dan spiritual. Moralitas adalah langkah pertama dalam jalan menuju kebahagiaan abadi. Moralitas adalah pondasi spiritual yang mendasar. Tanpa ladasan ini, takkan ada kemajuan manusia dan kemajuan spiritual. Setelah menegakkan fondasi moral, seseorang dapat melanjutkan untuk mengembangkan pikiran dan kebijaksanaannya. Praktek ini akan menuntunya dari tingkat yang lebih rendah ke tingkat-tingkat perkembangan mental yang lebih tinggi, dan akhirnya menuju puncak dari semua pencapaian yaitu penerangan.


[ Dikutip dari Majalah Dhammacakka No. 12/Tahun IV/1998, diterjemahan secara bebas oleh Sukaria, S.Psi ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar