Kamis, 18 November 2010

Pelindung Sejati



Pelindung Sejati

Diri sendiri sesungguhnya adalah pelindung bagi diri sendiri, karena siapa pula yang dapat menjadi pelindung bagi dirinya? Setelah dapat mengendalikan dirinya sendiri dengan baik, ia akan memperoleh perlindungan yang sungguh amat sukar dicari.  
(Dhammapada XII, 160)

Pendahuluan

Hari berganti menjadi minggu, menjadi bulan, tahun dan akhirnya milenium baru akan segera tiba. Banyak kemajuan di segala bidang telah dicapai oleh umat manusia. Segala kemajuan itu ditunjuk agar manusia bisa hidup lebih nyaman. Akan tetapi, sebagaimana kenyataan yang selalu terjadi di dunia bahwa segala sesuatu pasti memiliki, paling tidak, dua sisi, seperti sekeping mata uang. Kemajuan memang dapat memberikan dampak positif atas kehidupan seseorang di samping tentu ada pula dampak negatifnya. Akibat kemajuan jaman, banyak orang, dalam hal ini di Indonesia, telah berada di jalan keliru. Mereka telah menyalahgunakan kemudahan yang didapatkannya dalam kehidupan sehari-hari. Mudahnya menemukan obat untuk mengurangi rasa sakit yang serius malahan digunakan untuk memanjakan diri, seperti dalam penggunaan narkotik, misalnya. Begitu pula dengan obat penenang yang mestinya dibuat untuk menolong mereka yang memperoleh kesulitan tertentu, malahan dikonsumsi oleh orang yang seharusnya tidak perlu menggunakannya. Demikian pula dengan maraknya sarana komunikasi serta transportasi, kadang malah disalahgunakan untuk mempermudah mengkoordinir tawuran massal bahkan pengeroyokan pada seseorang yang disangka sebagai ‘dukun santet.’ Masih banyak kejadian memprihatinkan yang dengan mudah dijumpai di sekitar kita. Kondisi yang memprihatinkan ini jelas mengetuk hati banyak fihak untuk dapat menemukan cara pemecahan atas masalah ini.

Oleh karena itu, dalam usaha menyikapi dan memberikan alternatif pemecahan atas gejala masyarakat yang kurang sehat itulah, maka makalah ini disusun. Alternatif pemecahan masalah tersebut didasari atas adanya syair Dhammapada di awal tulisan ini. Pada syair tersebut, tampak jelas bahwa tujuan beragama Buddha adalah untuk memiliki dan meningkatkan kemampuan pengendalian diri. Karena, seseorang memang tidak akan pernah bisa selalu menggantungkan diri dengan fihak lain untuk dapat memperoleh perlindungan sejati menghadapi segala bentuk kesulitan, termasuk menghadapi dampak negatif kemajuan jaman tersebut. Dalam Ajaran Sang Buddha ada tiga pokok dasar prilaku yang penting yaitu kerelaan, kemoralan dan konsentrasi (Anguttara Nikaya IV, 241). Ketiganya tidak bisa dilepaskan satu dari yang lainnya. Ketiganya secara bersama-sama, apabila dilaksanakan, akan membentuk sikap hidup yang baik lahir dan batin. Secara lahiriah, dia akan dapat melaksanakan kebajikan sesuai dengan tuntutan agama maupun harapan masyarakat, secara batiniah dia tidak akan pernah memiliki dua muka (munafik) yaitu memiliki perbedaan sikap dan pikiran ketika di depan ataupun di belakang seseorang. Adapun makna kerelaan adalah latihan untuk mengurangi kemelekatan yang dimulai dengan menghindari kemelekatan terhadap benda-benda yang dimiliki. Dalam latihan ini, seseorang diberikan kesempatan untuk memberikan benda yang sesuai kepada mereka yang membutuhkan, misalnya dalam perayaan ulang tahun teman sampai pada perayaan Kathina. Tujuan dari latihan kerelaan ini adalah agar seseorang dapat memberikan perhatian demi kebahagiaan fihak lain. Inilah hasil tertinggi dari kerelaan. Kemoralan adalah latihan pengendalian diri agar tidak melakukan, paling tidak, lima perbuatan yang tidak baik, yaitu pembunuhan dan penganiayaan, pencurian, pelanggaran kesusilaan, kebohongan dan mabuk-mabukan (Anguttara Nikaya III, 203). Tujuan pelaksanaan latihan ini adalah agar seseorang dapat membebaskan diri sendiri dari rasa bersalah, sehingga ia dapat bepergian ke mana saja, tanpa mempunyai rasa takut maupun kurang percaya diri. Sedangkan konsentrasi adalah latihan menyadari segala sesuatu yang sedang dipikirkan sehingga apabila timbul pikiran baik, bisa segara diwujudkan dalam perbuatan, sebaliknya apabila muncul pikiran negatif, maka dapat segera dikendalikan agar tidak memberikan kesempatan menambah karma buruk. Tujuan memiliki kesadaran pada segala gerak-gerik pikiran ini adalah untuk menyelaraskan antara perbuatan dengan pikiran. Melenyapkan kesempatan menjadi orang munafik.

Permasalahan

Landasan seseorang bersikap dan berperilaku, dalam Ajaran Sang Buddha disebutkan karena adanya tiga akar perbuatan yaitu ketamakan, kebencian dan kegelapan batin (Digha Nikaya III, 273). Ketamakan adalah dorongan untuk selalu berusaha mendekatkan diri dengan obyek yang tidak menyenangkan. Kebencian adalah dorongan untuk selalu menjauhkan diri dari obyek yang tidak menyenangkan. Dan timbulnya kedua dorongan itu disebabkan adanya ketidaktahuan akan kenyataan dunia bahwa segala sesuatu pasti berubah. Kita pasti akan berpisah dengan yang kita sayangi dan cintai; sebaliknya, kita tidak akan mampu menghindari dari bertemu dengan segala sesuatu yang kita tidak sukai. Semua itu karena danya proses dalam segala segi kehidupan ini.

Karena lemahnya pengendalian pikiran yang dimiliki, seseorang dalam kehidupan sehari-hari, cenderung akan lebih mudah memuaskan ketiga akar perbuatan itu daripada mengendalikannya. Oleh karena itu, dalam masyarakat sering terdengar pengertian bahwa berbuat baik lebih sulit daripada berbuat jahat. Hal ini juga telah disebutkan dalam Dhammapada XII, 7 yaitu sunguh mudah untuk melakukan hal-hal yang buruk dan tidak bermanfaat, tetapi sungguh sulit untuk melakukan hal-hal yang baik dan bermanfaat bagi diri sendiri. Untuk mendidik seseorang agar dapat melakukan perbuatan baik, dibutuhkan waktu lama dan perhatian yang terus menerus, sedangkan untuk mengajarkan dia berbuat jahat, tidak perlu waktu lama dan biasanya seseorang langsung mahir meniru maupun melakukan kejahatan.

Dorongan memuaskan secara keliru ketiga akar perbuatan ini akan lebih diperkuat dengan adanya lingkungan yang tidak mendukung. Dalam Dhamma disebutkan bahwa seperti kayu cendana yang dibungkus kertas, maka kertasnya pun akan berbau harum; maka apabila seseorang tinggal di lingkungan yang baik, sikap dan perbuatannya cenderung untuk baik pula; sebaliknya kalau ia tinggal di lingkungan yang tidak baik maka perilakunyapun akan terpengaruh. Hal ini secara jelas disebutkan Manggala Sutta (khotbah Sang Buddha tentang Berkah Utama) bahwa seseorang janganlah bergaul dengan orang yang tidak bijaksana, bergaullah dengan orang bijaksana. Oleh karena itu, salah satu usaha menjadikan diri sendiri sebagai pelindung sejati adalah memiliki kemampuan untuk memilih lingkungan yang baik disamping adanya upaya lain dalam peningkatan moral pada diri seseorang tersebut. Dalam makalah ini akan dibahas tentang kiat meningkatkan kualitas batin agar menjadi benteng kemoralan dalam pergaulan di sepanjang jaman.

Pembahasan

Apabila mengamati kondisi masyarakat dewasa ini, tampaklah bahwa pelanggaran kesusilaan dalam berbagai bentuk kian meningkat frekuensinya. Secara sederhana, pelanggaran kemoralan yang sering terjadi apabila dihubungkan dengan lima pedoman latihan kemoralan yang diberikan oleh Sang Buddha akan seperti tabel di bawah ini :


NomorKemoralanPelanggaran:
1.Tidak membunuhMenyiksa, Membunuh,Tawuran massal, pengeroyokan
2.Tidak melakukan pencurianMencuri, menjarah, merampok, gendam
3.Tidak melanggar kesusilaanPerkosaan, pelecehan seksual, PIL, WIL
4.Tidak berbohongPenipuan, penggelapan
5.Tidak mabuk-mabukanNarkoba


Berbagai bentuk pelanggaran di atas, jelas sering terjadi bahkan gampang terjadi di sekitar kita. Bahkan mungkin di antara pelakunya justru melibatkan orang yang berhubungan dekat dengan kita. Oleh karena itu, jelaslah bahwa usaha untuk memperbaiki keadaan ini tidak bisa ditunda-tunda lagi. Seluruh anggota masyarakat hendaknya ikut berperan serta melakukannya. Langkah awal usaha ini hendaknya dimulai dari diri sendiri terlebih dahulu.

Kalau banyak individu yang dapat memperbaiki diri serta mampu mengendalikan diri, maka lingkungan pertamanya, yaitu rumah tangganya akan tenang, tentram dan bahagia. Jika banyak keluarga yang tenang dan bahagia maka masyarakat yang terbentuk oleh banyak keluarga yang tenang dan bahagia maka masyarakat yang terbentuk oleh banyak keluarga bahagia itu akan aman dan tentram. Jika banyak anggota masyarakat yang mampu mengendalikan diri, maka timbullah bangsa yang damai dan bahagia. Sedangkan banyak bangsa yang baik dan damai, maka kedamaian serta keamanan dunia akan menjadi kenyataan. Dengan demikian, sekali lagi, dengan memperbaiki diri sendiri, seseorang akan memberikan bantuan yang besar untuk keamanan dan perdamaian lingkungan maupun dunia.

Dalam usaha memperbaiki dan meningkatkan kualitas diri, ada beberapa hal yang diperlukan. Dimulai dengan mencari dan memiliki kesempatan tinggal di lingkungan yang mendukung. Namun, apabila ada kenyataannya kita tinggal di tempat yang tidak sesuai, maka kita hendaknya berusaha untuk menguatkan mental agar tidak gampang terpengaruh. Ibarat seseorang yang tangannya tidak terluka, tidak akan takut terpengaruh oleh racun yang digenggamnya. Dengan memiliki kualitas mental yang baik, seseorang akan mempunyai benteng yang tangguh, pelindung sejati di manapun ia berada.

Untuk mendapatkan kualitas batin yang baik ini, ada nasehat Sang Buddha yang bisa dilaksanakan. Nasehat ini terdapat dalam Anguttara Nikaya IV, 51 yaitu bahwa seseorang akan dapat meningkatkan kualitas batinnya, apabila ia memiliki :

1. Keyakinan
2. Kemoralan
3. Malu melakukan kejahatan
4. Takut akan akibat kejahatan
5. Banyak mengingat Dhamma dan melaksanakannya
6. Rela membagikan kepada mereka yang membutuhkan
7. Mampu membedakan hal yang berguna dan yang tidak berguna

1. KEYAKINAN
Dalam menjalani kehidupan ini, seseorang hendaknya memilih dan memiliki suatu keyakinan yang sesuai untuk dapat digunakan sebagai dasar perbuatannya. Keyakinan ini dapat berupa ketaatan pada suatu agama atau kepercayaan tertentu atau bisa juga mengikuti petunjuk orang bijaksana yang diseganinya. Perlu keyakinan ini karena didasari pengertian bahwa seseorang memerlukan pengalaman orang yang lain untuk bisa dicontoh dan dikembangkan dalam diri kita masing-masing. Perlunya mempunyai contoh dan pengalaman orang lain adalah karena waktu kehidupan (= usia) manusia sangatlah singkat. Kematian bisa datang setiap saat. Oleh karena itu, dengan mempelajari pengalaman yang baik dari orang lain, seseorang dengan cepat dapat meniru dan mengembangkannya dalam diri sendiri, sehingga akan memperoleh banyak manfaat dari contoh nyata tersebut. Dengan demikian, ia tidak akan menyia-nyiakan kehidupannya. Ia akan segara terbebas dari pengaruh negatif yang ada di sekitarnya.

2. KEMORALAN
Sebagai konsekuensi logis seseorang mengikuti suatu ajaran atau agama, maka ia akan dihadapkan pada kewajiban untuk mengindari kejahatan. Bentuk sederhana penghindaran kejahatan adalah seperti yang telah disebutkan di atas, yaitu adanya lima latihan kemoralan yang terdiri dari latihan menghindari pembunuhan/penganiayaan, menghindari pencurian atau mengambil barang yang tidak diberikan secara sah, menghindari pelanggaran kesusilaan, menghindari kebohongan serta menghindari mabuk-mabukan atau menggunakan barang-barang yang dapat melemahkan atau bahkan menghilangkan kesadaran. pada mulanya, mungkin hanya sebagian dari kelima latihan ini yang berhasil dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, dengan bertambahnya waktu, seseorang akan terbiasa dengan pelaksanaan kelima latihan tersebut. Dengan melaksanakan kelima latihan ini, maka pelanggaran yang telah disebutkan dalam tabel di atas akan dapat dihindari. Dengan demikian, orang yang konsekuen dengan pelaksanaan sila akan terbebas dari rasa bersalah, timbul keyakinan diri dalam pergaulan dan tidak dimusuhi oleh masyarakat sekitarnya.

3. MALU MELAKUKAN KEJAHATAN
Usaha memperbaiki diri, pada tahap awal masih membutuhkan fihak lain untuk mengawasi maupun menegur dan mengkritik. Oleh karena itu, dengan mengikuti suatu keyakinan tertentu serta lingkungan tempat seseorang berada telah mengetahui bahwa ia aktif di lingkungan kepercayaan tertentu, maka orang tersebut akan timbul rasa malu untuk melakukan kejahatan, atau pelanggaran sila. Rasa malu ini, paling tidak, akan menjadi rem yang baik untuk menghindari kesalahan lewat perbuatan maupun ucapan. Dalam Khuddaka Nikaya 409 disebutkan bahwa apabila Anda masih dapat mencela diri sendiri atas suatu hal, janganlah lakukan hal itu. Hanya saja, rasa malu masih belum mampu mengendalikan pikiran seseorang. Hanya dengan memiliki rasa malu, seseorang akan baik di ucapan dan perbuatan, namun belum tentu di pikirannya.

4. TAKUT AKAN AKIBAT KEJAHATAN
Kualitas batin yang lebih baik akan dapat timbul jika seseorang mulai menyadari sebab dan akibat dari sikap serta perbuatannya sendiri. Sikap ini bisa muncul apabila orang tersebut memiliki pengertian bahwa orang yang melakukan kebajikan akan mendapatkan kebahagiaan, sedangkan orang yang melakukan kejahatan akan mendapatkan penderitaan. Demikian pula, jika seseorang tidak mau disakiti maka hendaknya ia pun tidak menyakiti makhluk lain. Dalam Samyutta Nikaya I, 36 disebutkan bahwa apabila mencintai dirinya sendiri, seseorang tidak selayaknya melibatkan dirinya dengan kejahatan. Inilah perilaku menghindari kejahatan yang muncul karena kesadarannya sendiri. Sikap batin ini akan menyelaraskan perilaku yang baik dengan batin yang baik pula. Ia menjadi orang yang jujur dan tidak lagi munafik.

5. BANYAK MENGINGAT DHAMMA DAN MELAKSANAKANNYA
Telah memiliki rasa takut akan akibat perbuatannya sendiri memang sudah baik, hanya saja belum cukup. Seseorang perlu menambah pengetahuan keagamaanya dan juga melaksanakannya. Agama bukanlah setumpuk teori kebajikan yang hanya dipercaya saja. Agama adalah ajaran kebajikan yang perlu dilaksanakan dan dibuktikan manfaatnya dalam kehidupan ini. Ajaran yang dapat menyelesaikan permasalahan dan menimbulkan kebahagiaan adalah ajaran yang bermanfaat dan layak diikuti.

Agar memiliki banyak pengetahuan akan kebenaran, maka seseorang hendaknya rajin berkunjung ke tempat ibadah. Untuk para umat Buddha hendaknya rajin ke vihara agar dapat mendengarkan dan berdiskusi Dhamma dengan baik. Kejelasan pengertian Dhamma akan memberikan semangat untuk melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai hasil pelaksanaan Dhamma adalah kebahagiaan yang bisa dirasakan sendiri maupun lingkungannya. Dengan hasil pelaksanaan Dhamma, seseorang akan timbul keyakinan yang kuat akan manfaat Dhamma yang indah pada awalnya, indah pada pertengahannya dan indah pada akhirnya.

6. RELA MEMBAGIKAN KEPADA MEREKA YANG MEMBUTUHKAN 

Kerelaan adalah merupakan salah satu pokok ajaran Sang Buddha di samping kemoralan dan konsentrasi. Latihan kerelaan diperlukan agar seseorang selalu siap menghadapi kesulitan hidup dalam bentuk apapun juga. Sesungguhnya, problem kehidupan muncul karena adanya ketidakpuasan dalam menerima kenyataan. Pikiran kita sibuk membandingkan jarak antara harapan dan kenyataan. Makin jauh jaraknya, makin terasa penderitaannya. Dengan semangat melatih kerelaan, seseorang akan lebih mudah menerima kenyataan, sebagaimana adanya. Ia akan dapat menjembatani jarak antara harapan dan kenyataan itu. Ia akan mampu mengevaluasi dan menentukan sikap untuk meningkatkan kualitas diri ataukah menunggu waktu agar harapan itu menjadi kenyataan. Kemudian, setelah seseorang bisa menerima kenyataan, barulah ia bisa mengevaluasi penyebab kenyataan tersebut. Apabila merupakan kenyataan manis, cobalah dicari penyebabnya dan kembangkanlah di masa mendatang agar kebahagiaan serupa itu akan terus bisa diperoleh. Sebaliknya, apabila mengalami kenyataan pahit, carilah penyebab penderitaan itu agar di masa depan dapat dihindari kondisi untuk munculnya penderitaan serupa. Dengan demikian, maka hidup kita akan selalu bahagia dan terjauhkan dari segala bentuk kekurangan maupun penderitaan yang sering dijadikan alasan atau kambing hitam untuk melakukan pelanggaran latihan kemoralan.

7. MAMPU MEMBEDAKAN HAL YANG BERGUNA DAN YANG TIDAK BERGUNA
Sebagai persyaratan terakhir untuk perbaikan kualitas diri adalah bahwa seseorang hendaknya memiliki kemampuan untuk membedakan dan memilih hal yang bergunda dari hal yang tidak berguna. Kemampuan ini bida diperoleh dari pengalaman mencoba seseorang dengan pkiran jernih akan dapat menjalani kehidupan yang baik. Ia tidak akan gampang tergoyahkan oleh segala bentuk gangguan negatif yang ada di sekitarnya. Ia akan memiliki percaya diri untuk menentukan sikap tanpa harus takut dengan ancaman dari luar. Ia akan menjadikan dirinya sebagai pelindung sejati atas dirinya sendiri. Kebahagiaan akan menjadi hasil dari kebijaksanaannya menentukan langkah hidupnya.

Penutup

Dari penjelasan di atas, tampaklah bahwa sesungguhnya diri kita sendirilah yang menjadi penentu suka dan duka kehidupan kita sendiri. Apabila kita mampu mengendalikan dan meningkatkan kualitas diri maka kebahagiaan akan dapat didapatkan. Kebahagiaan karena memiliki kehidupan yang sehat lahir dan batin, terbebas dari perilaku yang menyimpang dari aturan-aturan kemoralan.


Pernah disampaikan dalam Seminar Demoralisasi dalam Keluarga di Millennium III, pada tanggal 16 Januari 2000 di Semarang. ]

1 komentar:

  1. Namo Buddhaya,
    Bapak/Ibu moderator, mohon ijin re-posting di facebook.
    Terimakasih.

    BalasHapus