Kamis, 04 November 2010

Nilai Kehidupan



Nilai Kehidupan
Oleh: Yang Mulia Phra Ajahn Yantra Amaro


Yang terkasih para Guru, yang mulia para Bhikkhu, Samanera, sahabat dalam Dhamma, dan Anda sekalian yang tertarik dalam melakukan kebajikan; salam hangat untuk semuanya.

Hari ini adalah kesempatan yang istimewa bagi kita semua untuk datang bersama-sama. Hal-hal baik yang kita lakukan sekarang, seperti mempersembahkan makanan dan persembahan-persembahan lainnya kepada para bhikkhu, memohon tuntunan sila, dan mendengarkan khotbah Dhamma ini, adalah suatu perbuatan baik.

Hari ini adalah tanggal 14 Januari 1990, hari keempat dari bulan yang menciut dari bulan kedua lunar, tahun Buddhis 2533. Tahun baru datang dan pergi dengan amat cepat, dan tahun lalu berlalu dengan cepat pula. Seperti halnya tahun-tahun (yang datang dan pergi), hidup kita pun berjalan dalam suatu siklus yang terus-menerus berubah dari bahagia menjadi derita, dari berhasil menjadi kecewa, dari damai menjadi gelisah, semuanya bercampur aduk bersama-sama.

Hari Tahun Baru telah berlalu. Pernahkah anda memikirkan apakah pada waktu-waktu yang telah lewat anda telah melakukan hal-hal yang berarti, atau hal-hal untuk mengembangkan dirimu sendiri? Apakah anda merasakan bertambah baik, atau apakah anda tetap merasakan hidup ini penuh dengan penderitaan, kesukaran, dan problem-problem; tanpa merasakan adanya kedamaian di dalam maupun di luar dirimu?

Marilah periksa diri kita sendiri. Hari ini saya akan memberikan khotbah Dhamma sesuai dengan tema yang telah saya sebutkan di awal khotbah ini, yaitu: Lokapatthambhika metta —cinta kasih menunjang dunia ini. Cinta kasih (metta) merupakan bagian yang amat penting untuk kita menjalani hidup kita. Sang Buddha sangat penuh dengan cinta-kasih dan kasih sayang (karuna). Beliau begitu sudi mengajarkan kita dan menasehati kita bagaimana meningkatkan kesadaran (sati) dan kebijaksanaan (panna) kita, kesetiaan dan keyakinan (saddha) kita, untuk melakukan hal-hal yang benar sehingga kita dapat memperbaiki tingkah-laku kita.

Dunia ini terdiri atas binatang, tumbuh-tumbuhan, dan banyak benda lainnya, seperti misalnya taman, sungai, udara, dan langit. Kita semua adalah bagian dari dunia yang hidup ini. Kita dilahirkan oleh orang tua kita, orang tua kita lahir dari kakek-nenek kita, dan seterusnya hingga waktu yang amat panjang, sehingga kita semua memiliki nenek-moyang di waktu yang sangat lampau, yang mempengaruhi kita hingga kini. Sebagaimana dunia ini mendukung kita dengan udaranya, tanahnya, airnya, dan sebagainya, demikian pula orang tua kita dengan hati-hati dan lembut menjaga kita setelah kita lahir, menyayangi kita, dan baik kepada kita. Jika kita menyadari jasa kebaikan yang besar dari cinta-kasih mereka, kita akan bersikap lebih baik dan menyayangi mereka pula. Cinta-kasih (metta) membawa kebahagiaan, dan dengan demikian kita harus memberikan cinta-kasih kepada orang tua kita. Hal itu akan memperluas kebajikan cinta-kasih kita kepada makhluk-makhluk lainnya, kepada teman kita dan kepada orang-orang yang kita cintai, kita kenal, dan kita hormati. Hal ini akan memperbesar cinta-kasih kita untuk meliputi setiap orang di dunia ini, sama seperti matahari yang menyinari dunia ini tanpa membeda-bedakan areal atau posisi.

Sinar dari matahari yang bersinar dengan merata kemana-mana dengan tanpa pilih kasih, adalah merupakan hal yang nyata dan alamiah dari Dhamma. Bumi menunjang kehidupan manusia dan semua kehidupan di atasnya serta memungkinkan benda-benda hidup lainnya tumbuh dan berkembang. Segala sesuatu yang kita makan dan pakai, berasal dari Bumi ini; demikian pula dengan air yang kita minum atau pakai mandi atau dipergunakan untuk tujuan-tujuan lainnya. Juga tanah, sungai, langit, udara yang kita hidup, serta energi dari matahari, semuanya berasal dari ALAM. Semua benda ini yang disediakan/diberikan oleh alam, memungkinkan kita untuk tetap hidup dan merasa bahagia dan damai.

Matahari memberi penerangan dan menyebabkan angin bertiup; sungai-sungai membuat kita merasa sejuk dan lembab. Semua benda ini membolehkan manusia dan hewan untuk mandi dan minum, serta memungkinkan tumbuh-tumbuhan dan sayur-sayuran tumbuh. Hujan turun, menyejukkan dan menyirami tumbuh-tumbuhan, lalu ia menguap dan kembali ke langit sebagai awan atau mendung, dan kemudian kembali lagi ke Bumi ketika kondisinya tepat. Siklus perubahan yang kita lihat ini mengungkapkan adanya hubungan antara benda-benda alam, yang sangat perlu untuk kelangsungan keberadaannya; tetapi pada umumnya tersembunyi dalam cinta-kasih Alam. Kita dapat melihat matahari bersinar atau hujan turun ke Bumi dengan tanpa meminta bayaran (tanpa pamrih) kepada kita. Alam hanya memberi dan memberi, sepanjang waktu.

Vihara ini terus-menerus menghasilkan atau menumpuk sampah di atas tanah dimana ia berdiri, tetapi tanah tidak pernah mengeluh. Tetapi sebaliknya ia menerima sampah tersebut dengan cinta-kasih (metta) dan keseimbangan (upekkha). Tanah tidak pernah mengeluh atau protes ketika diinjak, ditumbuk, digali atau dibor, tetapi tetap hanya memberi. Apa yang saya ungkapkan ini adalah bahwa ALAM selalu memberi. Marilah kita bertanya kepada diri kita sendiri, apakah yang telah kita berikan kepada dunia? Bahkan, apakah yang dapat kita berikan kepada diri kita sendiri, sebelum hidup kita ini berakhir?

Hidup adalah tidak pasti. Dengan demikian kita semua yang ada di dalam ruangan ini serta di dunia ini, harus dapat memberikan yang terbaik yang dapat kita berikan, yaitu cinta-kasih kepada semuanya. Tak seorang pun ingin menderita atau susah, tapi sebaliknya mereka ingin kebahagiaan dan kesuksesan, dan mereka ingin mencapai cita-cita/tujuan mereka. Jika kita menyadari hal ini, maka marilah kita tidak melukai ataupun menyakiti satu sama lain. Semua makhluk mencintai hidup mereka dan diri mereka, maka janganlah kita menyakiti satu sama lain. Sang Buddha mengajarkan perilaku yang baik dan bermoral (sila) untuk membentuk sikap-laku yang bermoral di dunia ini.

Perhatikan dengan seksama apa yang telah saya katakan, tetapi jangan cepat-cepat mempercayainya sampai anda menyelidikinya dengan seksama berulang-ulang kali. Sekali anda telah dapat mengalaminya sendiri, maka anda dapat mempercayainya. Ajaran Sang Buddha adalah suatu Kebenaran, tetapi anda mesti mengalaminya sendiri untuk membuktikannya. Bila kita telah melakukan hal ini, cinta-kasih akan menciptakan kebaikan (kusala) di dalam diri kita. Maka kemudian kita tak akan melukai atau membunuh makhluk/orang lain, juga tidak mencuri dari mereka, dan bahkan kita tidak akan berpikir untuk melakukan hal tersebut. Bila kita dipenuhi oleh pikiran-pikiran baik dan cinta-kasih, maka kita tak akan pernah berbuat salah, juga tak melakukan perzinahan.

Apabila kita memperhatikan perbuatan melalui ucapan (menghindari kebohongan, kata-kata yang tidak baik dan kasar, serta obrolan kosong), jika kita memiliki kebaikan cinta-kasih (kusala-metta), kita tak akan pernah berkata kasar, sindiran, ataupun ucapan yang menghina, ataupun bergosip. Kita akan menghindari ucapan/kata-kata seperti itu secara total. Bila kita dikaruniai oleh Dhamma, perbuatan jasmani dan ucapan akan dikendalikan oleh kebajikan moral (sila). Kebajikan moral hadir di dalam setiap orang yang duduk dengan tenang di sini. Ketika pikiran anda tenang dan damai, perbuatan jasmani dan ucapan anda akan baik, apakah sebelum atau sesudahnya anda mengucapkan Pancasila (sila-sila) atau tidak. Tetapi saya tidak dapat menjamin kebajikan moral tersebut akan tetap ada bersama anda setelah anda meninggalkan tempat ini.

Ketika kita diam dan tenang, yakni ketika kita mempunyai kebajikan moral, ia secara alamiah akan muncul di dalam diri setiap orang. Pada saat ini, ketika kita normal, tenang, dan damai, itu adalah kebajikan (kusala). Hal itu bukanlah melampaui kemampuan kita untuk mempraktekkannya dalam mencapai kebenaran. Sifat-sifat murni di dalam diri kita masing-masing ini adalah mudah ditembus dan dipahami. Sang Buddha menyebut hal ini sebagai SILAM, kenormalan. Orang yang normal adalah tenang dan damai di dalam perbuatan jasmani, pikiran, dan ucapannya. Orang yang tidak normal adalah gelisah dan tiada kedamaian di dalam jasmani, pikiran, dan ucapannya.

Kegelisahan adalah tidak normal, dan apapun yang menyebabkan batin menderita akan menyebabkan jasmani menderita pula. Anda dapat memperhatikan hal tersebut. Bila seseorang sedang marah atau serakah, mata mereka menjadi makin lebar, dan berubah menjadi hijau atau merah. Bila seseorang sedang terpedaya, mata mereka akan kelihatan aneh, seolah-olah sesuatu sedang menutupinya sehingga mereka tak dapat melihat dengan semestinya; dengan demikian mereka salah mengerti. Apapun yang coba mereka lakukan, cenderung menjadi salah, dan bila mereka berbicara, kata-kata yang tak benar akan keluar tanpa sengaja. Batin mereka dipenuhi oleh kekotoran/noda (kilesa). Maka oleh karena itu, Sang Buddha menyarankan kita untuk selalu menjaga batin/pikiran kita, agar selalu sadar (sati) pada saat sekarang. Dengan kesadaran sedemikian, kita dapat mengontrol diri kita sendiri, perbuatan-perbuatan kita, ucapan-ucapan kita, dan pikiran-pikiran kita, yang harus dengan hati-hati kita awasi. Ingatlah dengan tugas kita, bahwa dengan dilahirkan, kita harus memikirkan orang lainnya dan berusaha untuk mengerti apa yang kita lakukan, dan lakukanlah sebaik-baiknya. Berusahalah untuk melakukan yang terbaik yang dapat kita lakukan.

Siapapun juga mempunyai suatu tugas untuk dilakukan, misalnya berdana atau bermurah-hati, lakukan itu dengan usaha terbaikmu. Itu adalah kewajiban sehari-hari untuk engkau lakukan. Jika anda adalah orang tua, jadilah orang tua yang baik. Anda tentu tahu apa artinya itu, yaitu menjaga dan merawat anak-anak anda, mendukung dan membimbing mereka pada jalan yang benar, jalan yang terang, jelas, dan penuh dengan kebajikan (sila-dhamma). Bimbing mereka kepada terangnya jalan Dhamma. Ajarkanlah Dhamma kepada anak-anakmu.

Sebagai anak, kalian harus menjadi keturunan yang terbaik dari orang tuamu, dengan tidak menyebabkan orang tuamu susah, cemas, atau kecewa terhadap kelakuanmu; dengan tidak malas, tetapi dengan membantu mereka bilamana diperlukan. Para guru, kalian harus melakukan yang terbaik untuk murid-muridmu, dengan mencintai mereka, baik kepada mereka, membimbing mereka dengan memberi petunjuk pada mereka jalan yang benar. Para murid, kalian harus melakukan yang terbaik untuk membuat guru kalian gembira, dengan bersikap-laku yang baik, dengan berlaku sesuai dengan Dhamma yang baik yang diajarkan oleh gurumu. Ini adalah tugas-tugas kalian.

Benda-benda alam juga mempunyai tugas mereka masing-masing. Sesuatu yang lahir tanpa tugas/kewajiban, tidak memiliki Dhamma. Jika orang tua tidak melakukan kewajiban mereka, misalnya jika mereka mengakibatkan anak-anaknya dan membiarkan mereka melakukan apa saja yang ingin mereka lakukan, orang tua demikian bukanlah manusia yang patut dihormati. Bahkan binatang pun mencintai anak-anak mereka. Beberapa orang tua mengabaikan anak-anaknya dan tidak sepantasnya disebut manusia. Mereka hanya berwujud/tampak sebagai manusia, tetapi di dalamnya kita tidak tahu mereka itu sebagai apa. Mereka mungkin saja hantu, raksasa, atau setan/iblis (mara). Saya belum pernah melihat hantu atau raksasa sungguhan, tetapi saya telah pernah melihat setan/iblis di dalam hati manusia; setan dari keserakahan, setan kekhayalan, kekejaman, dendam, dan kemarahan. Setan jenis ini adalah lebih berbahaya daripada setan sungguhan. Saya belum pernah mendengar setan/hantu yang menakut-nakuti atau memperdaya manusia lainnya.

Hampir setiap hari hal semacam ini terjadi, muncul diberitakan di koran-koran. Kadang-kadang hal itu terjadi langsung kepada dirimu, kamu tak perlu membacanya di koran. Kadang-kadang kakak adik saling memaki atau menyumpah-nyumpah, dan bila setan ini telah merasuk, mereka menjadi sangat marah dan salah mengerti satu dengan lainnya. Saya menyebut setan jenis ini adalah setan dari pikiran, misalnya setan kilesa, setan yang mengerikan, setan kemarahan, atau setan kemalasan, dan saya tak ingin bertemu dengan mereka semua. Saya nasehatkan anda untuk berusaha menghindari mereka pula.

Terdapat cara untuk melindungi dirimu sendiri dari setan-setan ini, yakni: Lakukan Kebajikan, maka setan akan takut. Berucaplah dengan benar, maka setan akan takut. Sebaliknya bila berpikir jahat, maka anda akan dimakan oleh setan. Ini adalah metode yang sederhana. Lakukan seperti apa yang saya katakan, yaitu berpikir atau berkata yang baik dengan penuh cinta-kasih, kebajikan, dan kasih sayang. Maafkan dan lupakan, serta berusahalah untuk menolong orang lain. Jika engkau lakukan itu, setan-setan akan takut kepadamu dan, hati dan pikiranmu akan menjadi benar dan baik. Setan-setan tidak menyukai kebajikan, dengan demikian mereka harus pergi. Jika kebajikan berlalu dari diri kita, setan-setan akan kembali. Jadi kita harus tetap mempunyai kebajikan di dalam hati kita, dan berpikir tentang kebajikan Sang Buddha. Sang Buddha penuh dengan kesabaran, toleransi, kebijaksanaan, dan kebajikan kepada semua makhluk hidup, terutama makhluk manusia; dan dengan tanpa lelah memberikan cinta-kasih-Nya yang murni, Kasih-sayang dan Pengetahuan tertinggi dari Dhamma. Setelah mencapai Pencerahan, Beliau menyalakan lampu/cahaya yang terang untuk membimbing orang-orang di seluruh dunia, dan untuk membangkitkan cahaya di dalam hati manusia. Pada khususnya, mereka yang memiliki debu di matanya, tidak dapat melihat cahaya hidup dengan baik, tetapi jika mereka mengikuti jejak Sang Buddha, mereka akan melihat jalan untuk menjalani hidup mereka, jalan untuk mencapai kesempurnaan, kedamaian, dan kebahagiaan. Itu tergantung dari apakah mereka/kita melaksanakan ajaran-ajaran-Nya atau tidak.

Hidup kita secara berangsur-angsur memburuk sepanjang waktu. Tahun demi tahun berlalu dan tahun yang baru datang dengan cepat, usia kita bertambah tua, dan sisa usia hidup kita tinggal semakin sedikit. Anak-anak tumbuh dan menjadi remaja, dan kemudian menjadi pria atau wanita tua.

Saya pun semakin menua. Tiada seorang pun dari kita yang akan menjadi makin muda. Kita semua menjadi makin tua dan loyo. Suatu saat kita mesti meninggalkan semuanya. Sebagian orang dapat menerima hal itu dan berusaha melakukan yang terbaik yang dapat mereka lakukan sebelum hidup berakhir. Seperti kita makin berkurang, tetapi apa yang bisa kita dapatkan/hasilkan dari itu (berkurangnya hidup kita itu)? Hidup yang masih tersisa untuk kita terus berkurang, lebur bersama berlalunya sang waktu dan kejadian-kejadian setiap hari. Apakah kita (telah) menghasilkan hal-hal yang bermanfaat atau berguna? Apakah akan ada suatu kebajikan, kedamaian, atau keteduhan di dunia untuk generasi yang akan datang?

Dhamma yang diyakini dan dianut oleh orang-orang adalah yang paling terpuji dari semua ajaran. Setelah anda membersihkan diri anda dari semua noda dan menemukan pencerahan yang besar, kebajikan, ketenangan, kedamaian, dan mencapai kesejukan, yang memberimu pikiran yang murni dan perasaan yang ringan dan damai.

Ini adalah pencapaian tertinggi dari makhluk manusia. Kita semua seharusnya mewariskan paling sedikit satu hal manis/berarti di dunia ini. Cobalah tanyakan dirimu sendiri, apa yang dapat engkau wariskan? Meskipun kita tidak memiliki sesuatu yang lebih berarti dibandingkan dengan Sang Buddha atau orang-orang suci lainnya, cobalah temukan sesuatu yang berarti atau bermanfaat untuk menghasilkan kebahagiaan bagi dirimu sendiri di dalam hidup ini. Jangan menyiksa diri dengan hidup dalam kegelisahan atau kebingungan di sepanjang hidupmu.

Saya yakin bahwa seseorang tidak berusaha untuk mengerti dan melaksanakan Dhamma, maka meskipun ia memiliki kekayaan, kedudukan, kehormatan, ketenaran, dan sebagainya —singkatnya: kebahagiaan duniawi— ia tetap akan merasa tidak bahagia, susah, dan gelisah di dalam hati.

Tidak ada kebahagiaan yang nyata, kecuali jika kita memiliki Dhamma dan kedamaian di dalam diri; bila tidak, itu adalah kebahagiaan yang palsu/semu. Saya akan menyebutnya sebagai kebahagiaan yang dibungkus penderitaan, atau kebahagiaan bohong-bohongan. Ada kebahagiaan karena makan (kin), melakukan hubungan sex (kam), dan memiliki ketenaran (kiat), karena kesenangan sementara dari suara/bunyi, bebauan, rasa kecapan, rasa sentuhan, dan emosi. Itu adalah kebahagiaan dari kesenangan duniawi, yang disebut ekses/variasi ("suk"), yang berbeda dari kebahagiaan sejati ("sukh"). "Suk" berarti memasak/matang, tetapi "sukh" adalah kebahagiaan yang datang dari Dhamma, kebahagiaan yang datang dari cinta kasih, dari kasih sayang, dari rasa simpati, dan dari keseimbangan. Itu adalah kebahagiaan yang datang dari pandangan terang dan kebijaksanaan kita sendiri.

Saya tidak menyangkal bahwa terdapat kesenangan dalam bekerja untuk mendapatkan uang, memiliki uang, dan membelanjakannya. Itu adalah perbuatan yang benar untuk dilakukan, dan saya tidak anti/menentangnya. Tetapi kekayaan semacam itu adalah tidak kekal. Dhamma mengajarkan bahwa hal-hal duniawi terjadi secara berpasangan: bila sesuatu terlahir, maka ia akan mengalami kematian; apapun yang kita miliki, akan hilang; apapun yang berjumpa akan berpisah. Tak suatu pun yang tetap. Suatu hari kita akan meninggalkan semuanya. Kematian adalah hal yang pasti terjadi. Tapi dalam pada itu, kita tetap membutuhkan benda-benda duniawi, karena kita adalah manusia biasa/awam. Kita tetap harus bekerja untuk mendapatkan uang, untuk meraih kemakmuran, keberuntungan, kekuasaan, dan ketenaran. Tak ada salahnya jika kita bekerja untuk memperoleh hal-hal tersebut, tetapi jangan sampai dikelabui oleh mereka. Cobalah mengertikan ketidak-kekalan mereka, dan kemudian lepaskan (jangan melekat). Ketahuilah bahwa pada akhirnya, suami tercinta kita, istri, anak-anak, dan kekayaan kita akan berubah.

Sang Buddha bersabda "Sabbe sankhara anicca": semua benda yang terbuat dari benda-benda lain yang mendahuluinya, adalah berakhir dengan ketidakkekalan. Beliau bersabda: "Sabbe sankhara dukkha": semua kondisi adalah bentuk dari penderitaan dan ketidakpuasan. Tak ada suatu apapun sebagai kebahagiaan yang abadi, tetapi terdapat penderitaan di dalam hidup ini. Bila kita merasa sakit pada kaki kiri, kita mengubah posisi kita, sehingga kaki kanan yang menggantikannya. Bila kita duduk, mula-mula kita duduk dengan tegak, tetapi tidak berapa lama kita mulai terkulai/melengkung. Ketika kita menyadarinya, kita menegakkan lagi badan kita, tetapi tak lama kemudian kita terkulai lagi. Suatu hari kita akan terkulai/merosot turun dan tak mampu lagi menegakkan diri kita. Kematian pun semakin mendekat. Apakah batin kita sudah siap menerima hal itu? Apakah kita pernah memikirkan bahwa suatu hari kita akan mati? Suatu hari kita harus meninggalkan anak-anak tercinta kita, istri atau suami kita, dan sahabat-sahabat kita. Jika kita memiliki Dhamma sebagai tempat berpegang dan menjadi pelindung kita; yakni perbuatan-perbuatan baik, kedamaian, ketenangan, dan kebebasan dari noda-noda, maka kita tidak akan cemas ketika kita pergi/mati. Kita akan pergi dengan damai dan puas, karena kita selalu melakukan perbuatan baik dengan cinta kasih, dan itu akan memberikan kita kebijaksanaan untuk melewati penderitaan. Kita akan bahagia sewaktu masih hidup, dan akan bahagia serta siap ketika kita akan mati. Jadi, perbuatan-perbuatan baik (kusala-kamma) memberikan kita kebahagiaan yang kekal/abadi.

Kita mesti tak boleh menyerah, tetapi berusahalah untuk berhasil.
Batin yang tajam, mengetahui terdapat sebab dari setiap perbuatan;
Kembangkan kebajikan dan berpikirlah dengan penuh perhatian.
Dan kemudian lepaskan ketika lagi tenang dan sadar.
Kita dapat membebaskan diri kita dari karma buruk kita.
Dan membawa diri kita kepada kebahagiaan dalam Dhamma.
Kita dapat hidup berdampingan dengan penderitaan, tetapi tidak merasa menderita.
Mengalami usia tua, merupakan sahabat kita.
Kesakitan dan kematian tak lagi membuat kita cemas.
Pada akhirnya kita akan hidup menyatu dengan Dhamma.

Dengan mengingat ketidakkekalan dan bagaimana benda-benda selalu berubah; kekayaan/kemakmuran dapat menjadi kemiskinan, ketenaran menjadi tidak dikenal, kekuasaan menjadi ketidakberdayaan. Dhamma mengajarkan kita bahwa perubahan-perubahan ini adalah alamiah/wajar.

Sang Buddha mengajarkan kita untuk selalu sadar dan waspada (sati), dalam memeriksa benda-benda atau hal-hal dengan hati-hati hingga kita dapat melihat mereka sebagaimana mereka adanya, dan tidak terganggu ketika hal-hal yang tidak menguntungkan itu terjadi. Kita dapat melihat di atas kepicikan, mendengar di atas bujukan, dan bila kita dipuji kita tidak terlambung seperti balon yang menggelembung. Balon melambung tinggi hingga suatu saat ia mengempis dan meluncur turun —seperti bila kita disalahkan. Satu waktu kita bangkit, saat lain jatuh; naik-turun; besar-kecil; terang-gelap; merasa enak-tidak enak; manusiawi-tidak manusiawi. Pikiran kita selalu seperti itu.

Sang Buddha berusaha mengajarkan kita untuk menjadi sadar (sati) dan memperlihatkan cinta-kasih (metta). Hari ini saya memberi penekanan pada Metta, karena itu sangat penting. Bila kita mempunyai cinta-kasih di hati, kita merasa tenang dan tentram. Selalulah bersedia untuk mendoakan setiap orang dan setiap makhluk agar hidup tentram, sejahtera, dan bahagia, serta mengembangkan kebajikan anda melalui jasmani dan ucapan. Orang yang baik hati selalu sopan, ramah dan halus budi bahasanya, dan ini membuatnya mudah bagi arus cinta-kasih mengalir keluar dari diri mereka. Cobalah berusaha untuk selalu menjadi seperti itu.

Orang yang baik adalah ramah dan lembut, tidak kasar, kaku, atau keras, dan berusaha menjadi baik serta membantu semua makhluk. Bahkan kepada orang yang tidak menyukai kita dan ingin menyakiti kita, kita juga harus selalu memberikan cinta-kasih. Adalah mudah untuk bersikap baik/manis kepada orang yang baik dan disayang. Bagaimanapun, jika seseorang sedang gelisah atau marah, kita cenderung akan seperti itu pula, dan kemudian kita menderita pula. Berusahalah untuk memaklumi dan melihat benda-benda sealamiah yang dapat engkau lakukan. Suatu cara untuk memelihara dan mempertahankan cinta-kasih di dalam hati adalah dengan selalu sadar (sati) dan mengingat: Tiga Karakteristik (Tilakkhana) atau Tiga tanda dari makhluk, yang juga disebut Karakteristik yang Lazim, yakni: Ketidakkekalan (aniccata); keadaan penderitaan (dukkhata); dan tanpa-aku/diri (anattata). "Sabbe dhamma anatta": Tiada suatu apapun yang tetap permanen atau kokoh. Kita tidak dapat memaksa jasmani kita sendiri untuk melakukan apa yang tak dapat mereka lakukan. Lalu mengapa anda ingin mengendalikan orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan ini atau itu, tidak berucap seperti ini atau itu? Jika kita tak dapat mengendalikan diri kita sendiri, jangan coba-coba untuk menyuruh orang-orang melakukan apa yang harus mereka lakukan dan bagaimana seharusnya mereka bersikaplaku. Kita seharusnya memperhatikan atau mengurus urusan kita sendiri dan mengembangkan kebajikan kita sendiri. Fenomena/kejadian yang di luar bergantung pada kondisi dan faktor alam, tetapi yang di dalam diri kita, kita dapat mengarahkan pikiran kita untuk menjadi tidak menderita atau cemas. Berusahalah untuk menolong orang lain sebanyak yang mungkin anda lakukan dengan menggunakan cinta-kasihmu. Jika kita benar-benar tenang, orang yang tak menyenangkan mungkin bisa menjadi baik, dan mereka yang sedang dalam kesulitan akan menjadi lebih tenang. Kabanyakan atau sebagian besar dari waktu, kita tidak cukup dapat melepas dan bila orang-orang lain marah kita menjadi ikut marah pula; ketika mereka menyumpah-nyumpah atau memaki-maki, kita ikut menyumpah-nyumpah atau memaki-maki balik, dan menjadi semakin sengit terhadap satu sama lain. Panasnya kemarahan melukai kita pertama sebelum melukai orang lain. Ketika orang lain marah, kita tak seharusnya ikut menjadi marah. Siapa yang paling menderita? Mereka yang marahlah yang paling menderita.

Bila anda memberikan saya makanan dan saya tidak memakannya, ia akan tetap tak tersentuh, dan jika anda tidak "merelakannya", itu akan membebanimu untuk membawanya pulang, bukankah demikian? Demikian juga jika anda memberikan saya sesuatu dan saya tidak menerimanya, jika anda memaki saya saya mengabaikan kata-katamu. Jika kita mengabaikan kata-kata buruk dan orang-orang yang tidak memuaskan, berapa lama mereka dapat bertahan/tetap marah? Jika seseorang terus-menerus memaki kita, rahangnya pada akhirnya akan sakit, dan ia pun akan berhenti.

Jangan meladeni kemarahan. Janganlah memberi perhatian dan engkau tak akan menderita. Berkonsentrasilah pada kebajikan cinta-kasih dan kasih-sayang Sang Buddha terhadap semua makhluk. Jika kita mulai merasa akan marah, cobalah untuk merenungkan kata "Bud-dho", yang berarti "sadar", "mengerti", "seseorang yang tanpa noda (kilesa)", atau "Yang Maha Sempurna" (Sang Buddha). Berusahalah untuk menenangkan pikiranmu, hormatilah Sang Buddha, kemudian duduk dan bermeditasilah. Praktekkan meditasi cinta-kasih setiap hari sebelum anda pergi tidur atau pada saat bangun pagi. Anda akan berangsur-angsur menjadi orang yang baik, dan kemarahan serta keinginan untuk balas dendam yang biasanya mengisi batinmu akan berkurang dan akhirnya lenyap. Maafkan mereka yang biasa anda murkai/marahi, dan berusahalah untuk melihat sisi buruk dari akibat marah.

Sang Buddha berkata, "Ketika seseorang (menjadi) marah, dia telah (menjadi) bodoh, dan jika kita menjadi marah juga, kita adalah menjadi double bodoh". Dengarkan baik-baik. Ketika seseorang menjadi marah, mereka telah menjadi tidak bahagia, dan bila balik marah kepada mereka, hanya menambah banyak ketidakbahagiaan. Setiap saat kita marah, kita membakar diri kita. Kita tidak usah atau tidak perlu marah. Sekali waktu seseorang menyarankan bahwa bila kita marah, kita harus melakukan meditasi cinta-kasih. Tetapi kadang-kadang adalah tidak mungkin melakukan hal ini ketika kita sangat marah. Pikiran-pikiran cinta-kasih menghilang (lenyap) pada saat ini. Jadi apa yang dapat kita lakukan adalah mengumpulkan kesadaran (sati) kita dan mengendalikan tindakan jasmani dan ucapan kita dengan pikiran yang bermoral (sila), sehingga meskipun di dalam kita masih mendidih, minimal kita dapat menyetop keakuan yang di luar.

Jika orang-orang menunjukkan sikap-laku buruk, misalnya, anak-anak anda bandel, atau tidak memuaskan, atau iri-hati, atau menyakitkan hati, atau tidak menghormatimu, itu tidak akan menjadi masalah bagimu jika engkau memiliki kesadaran dan berusaha mengendalikan dirimu, serta mengetahui dengan perhatian-murni (kesadaran) keadaan saat ini. Ini amatlah penting. Kebanyakan dari kesukaran atau masalah kita disebabkan oleh ketidakmampuan kita dalam mengendalikan diri kita. Seluruh dunia mempunyai masalah karena kita tak dapat mengendalikan diri kita sendiri. Bahkan meskipun kita mengaku kita seorang Buddhis dan mencoba mengikuti jejak Sang Buddha dan berusaha untuk tidak marah, kita tetap menjadi marah. Saya menyuruh diri saya sendiri untuk tidak lekas marah dan tidak lekas naik darah, tetapi saya tetap begitu. Jika kita tidak berusaha keras untuk mengendalikan diri kita, kita akhirnya akan menjadi orang yang menimbulkan masalah. Akhirnya itu menjadi suatu kebiasaan, dan kita menimbun semakin banyak kekotoran batin (kilesa).

Sebagian orang menuruti kehendaknya sendiri, misalnya orang tua yang memberikan kebebasan total kepada anak-anaknya bergaul bersama teman-temannya, memberikan anak-anak mereka apa saja yang diinginkan. Mereka tumbuh menjadi anak yang manja, dan bila seseorang mencampuri keinginannya, atau ia tidak mendapatkan apa yang dia inginkan, ia akan merasa kecewa dan menderita. Jadi kita harus mengendalikan, menyelidiki, dan memeriksa diri kita sendiri, dan kemudian berusaha untuk melenyapkan kekotoran batin. Cobalah dan kurangi tidur, cobalah dan kurangi makan (hanya sebanyak yang engkau perlukan untuk hidup), cobalah dan kurangi bicara, serta perbanyak latihan. Berkorban lebih banyak, dan kembangkan lebih banyak cinta kasih dan belas kasihan. Jika ada sesuatu yang dapat kita berikan, berikanlah. Jika ada sesuatu yang dapat kita lepaskan, lepaskanlah ia. Berkorban adalah hal yang mulia untuk dilakukan. Ia membantu meringankan batin kita dan membawa kepada persahabatan yang lebih awet/kekal. Dunia akan selamat jika kita mendukungnya dan bermurah-hati satu sama lain serta menghentikan kebencian dan keakuan/keegoisan.

Dalam pengertian yang sesungguhnya, tidak ada yang disebut orang Indian, Thai, China, Barat, atau Lao, tetapi hanya teman atau sesama yang sama-sama berbagi penderitaan dalam kelahiran, usia tua, kesakitan, dan kematian. Setiap orang ingin sekali bebas dari penderitaan. Orang-orang Barat bertanya kepada saya, "Agamamu apa?" Saya jawab, "Agama saya adalah cinta-kasih, belas-kasihan, dan memahami orang lain". Saya juga berusaha untuk mengerti fenomena alam, karena bila kita benar-benar mengerti dengan jelas kita tidak akan menggenggam kepada segala sesuatu dengan kuat, tetapi hanya membiarkan hal-hal terjadi sesuai dengan keadaan mereka.

Kita harus mengembangkan cinta kasih kita sebelum kita berangkat tidur dan ketika bangun pagi, untuk memberikan kita fondasi yang mantap untuk hidup kita. Cobalah kalian semua, sebelum berangkat tidur dan hal pertama ketika terjaga/bangun pagi, menghormatlah kepada Sang Buddha dan renungkanlah akan kesempurnaan kebajikan Beliau; kepada Ajaran-Nya yang menuntun kita kepada kesucian; kemudian kepada Sangha, para bhikkhu yang meneruskan ajaran Sang Buddha. Kemudian renungkanlah cinta-kasih orang tua kita dan guru-guru kita terhadap kita —cobalah berkonsentrasi dan berpikir dengan dalam di dalam hati. Bercita-citalah untuk menjadi baik dan penuh cinta dan kasihan kepada semua makhluk hidup. Kemudian renungkan "Bud-dho" di dalam hatimu, dengan setiap nafas yang masuk dan keluar. Berusahalah menarik nafas dalam yang panjang dan perlahan, dan menghembuskan nafas yang panjang dan perlahan. Marilah kita mencoba dan melakukannya.

Pada orang-orang yang mempunyai semangat tinggi, batinnya diperkaya dengan kegairahan (piti) dan dengan kesetiaan dan keyakinan (saddha), dengan demikian cinta-kasih meningkatkan kemampuan untuk bekerja lebih baik dibandingkan dengan orang-orang kebanyakan. Itulah yang Sang Buddha lakukan untuk meneruskan mengajar tanpa lelah hingga Beliau meninggal dalam Parinibbana. Beliau tidak pernah dibayar dari mengajar, Beliau lakukan itu dengan cuma-cuma (gratis). Beliau tidak mengajar untuk mencari kekayaan, kedudukan, kekuasaan, penghargaan, atau nama/ketenaran, karena Beliau tidak memiliki kekotoran batin (kilesa) lagi. Pemberian-Nya adalah pemberian yang murni, seperti aliran sungai yang mengalir terus-menerus dari sumber air, yang lebih kuat daripada arus manapun di dunia ini; seperti lautan yang tak pernah kering, seperti cahaya yang bersinar sepanjang waktu dan lebih kuat dari sinar Sang Fajar. Beberapa aliran sungai mengering pada suatu waktu, tetapi cinta-kasih dan kasih-sayang Sang Buddha tidak pernah kering, meskipun ia menyebar jauh dan luas. Aliran-aliran sungai di dunia hanya dapat mengalir pada tempat-tempat tertentu, tetapi cinta kasih Sang Buddha mengalir di mana-mana. Beliau senantiasa memaafkan mereka yang jahat, dan kepada mereka yang miskin Beliau memberikan cinta kasih yang tak terbatas.

Adalah suatu kisah tentang Devadatta, saudara sepupu Sang Buddha. Devadatta ingin membunuh Sang Buddha dan mengambil alih tempat-Nya, tetapi tidak berhasil ia lakukan. Biarpun demikian, Sang Buddha memaafkannya dengan cinta kasih-Nya, seolah-olah Devadatta adalah anak-Nya sendiri (Rahula). Berapa banyakkah orang yang dapat melakukan hal tersebut? Adalah suatu hal yang sangat sulit. Adalah mudah memberi kepada orang yang manis yang kita cintai, tetapi sangat sulit untuk memberi kepada orang yang tidak kita senangi —batin dan jiwa/semangat kita tidak cukup besar untuk itu. Sang Buddha selalu penuh dengan cinta kasih dan kasih sayang serta memaafkan dengan hati-Nya yang penuh cinta yang murni.

Marilah kita memikirkan semua makhluk yang lahir di dunia ini yang sama-sama berbagi dalam kelahiran, usia tua, kesakitan, dan kematian. Jika seseorang telah melakukan suatu kesalahan atau kekeliruan, itu adalah disebabkan karena karma sedang berbuah. Itulah mengapa dia tidak dapat melihat atau bertindak dengan semestinya. Cobalah maafkan dia, dengan mengerti bahwa pada dasarnya setiap orang adalah baik dan berusaha untuk menjadi baik, tetapi kekotoran batinnya (kilesa) mencegahnya untuk menunjukkan sifat baik alamiahnya. Maka, seharusnyalah dia dimaafkan.

Hari ini kalian datang untuk memberikan persembahan (dana). Bila anda pulang ke rumah, cobalah berniat untuk memaafkan setiap orang dan setiap makhluk, serta mengembangkan cinta-kasih dan kasih-sayangmu lebih banyak lagi. Berniatlah untuk memberikan sesuatu yang belum pernah engkau berikan sebelumnya. Coba perhatikan seekor ular —ketika ia berganti kulit dan melepaskan kulitnya, ia tumbuh makin besar. Demikian pula sama dengan kita, jika engkau perhatikan dengan seksama, engkau akan melihat bahwa kita melepaskan lapisan paling luar dari kulit kita setiap pagi. Juga sebuah pohon, setelah ia menggugurkan daun-daunnya, tumbuhlah daun-daun yang baru. Pernahkah engkau melihat tanaman anggur? Apabila petani ingin ia tumbuh dengan baik, petani harus memangkasnya, maka kemudian ia memproduksi tandan-tandan anggur yang baru dengan amat lebat dan cepatnya. Semakin pelit anda, semakin kecil dan pendeklah anda tumbuh; sebaliknya, semakin memenangkan persahabatan dan kebahagiaan. Pernahkah anda merasa lebih bahagia dibandingkan setelah anda memberikan sesuatu?


BUNGA DI DALAM HATI

Apakah tidak benar bahwa bila kita melakukan perbuatan berjasa, kita merasa bersemangat (piti)? Kita merasa sangat bahagia, seperti bila kita memegang sekuntum bunga yang harum semerbak atau bila kita membawa bunga melati dan mempersembahkannya kepada Sang Buddha. Jika kita menaruh bunga-bunga ini di dalam kamar, kamar menjadi harum, tetapi hanya saya sendiri yang menikmatinya. Akan tetapi, jika saya menaruhnya di depan altar Sang Buddha, setiap orang dapat mencium bau harumnya dan berbagi rasa di dalam kegembiraan/kebahagiaan, dan jika terdapat cukup bunga untuk ditaruh di sekelilingnya, saya juga akan melakukannya. Tidak menjadi masalah memang, apabila saya menyimpan semua bunga untuk diri saya sendiri, tetapi itu tidak memberikan kegembiraan/kebahagiaan sebanyak apabila ia dibagi-bagikan. Namun jika saya memberikan satu untuk setiap orang dari kalian, maka tiap-tiap bunga akan mekar di dalam hatimu, dan bila saya berjumpa lagi denganmu —setelah bunga yang sesungguhnya telah lama layu— bunga di dalam hatimu akan tetap segar dan harum semerbak. Setiap saat kita bertemu, kita akan ingat bahwa sekali waktu saya pernah memberimu bunga, dan akan mengingat bunga yang harum. Ini bukan berarti bahwa bila anda memberi saya bunga, maka anda akan menerima bunga pula sebagai balasannya. Semua itu berarti bahwa menyimpan sekuntum bunga untuk diri sendiri adalah sangat terbatas dan sempit. Jika kita membagi bunga-bunga tersebut untuk yang lainnya, ini akan memperbesar pahalanya. Bunga yang sesungguhnya tidak dapat bertahan lama dan akan layu hanya dalam beberapa hari, tetapi bunga di dalam hati dan kebajikan yang kita bagi kepada yang lainnya, memiliki arti atau nilai yang lebih dalam dan bertahan lebih lama.

Pada zaman dahulu kala, seorang bijaksana bertanya, "Jika kita hanya memiliki seekor ikan, bagaimanakah cara kita untuk membuatnya bertahan lama?" Seandainya anda pergi ke sebuah pasar desa dan membeli seekor ikan. Desa itu memiliki 7 buah rumah yang berdekatan. Bagaimanakah caranya agar kita semua dapat menikmati ikan tersebut dan juga membuatnya bertahan lama? Beberapa orang menjawab agar diasinkan, ada yang mengatakan agar dikeringkan, ada yang mengatakan diasapi, dan lain-lain. Saya tidak yakin bahwa cara-cara tersebut dapat membuatnya bertahan lama. Kita harus memasaknya dan kemudian membaginya kepada semua tetangga. Apabila kita memiliki lebih daripada yang mereka miliki, kita harus memberikannya kepada mereka. Bahkan jika mereka tidak pernah membalas pemberian kita, kita seharusnya tetap memberi kepada mereka, karena siapakah yang betah/tahan untuk terus-menerus menjadi di penerima saja?

Jika kita memberikan makanan kepada tetangga, belakangan kita mungkin akan menerima balasan berupa makanan yang lebih enak atau yang berbeda dalam rasa, atau variasi yang lebih besar, akibat dari pemberian kita. Sang Buddha berkata, jika engkau memberikan orang lain kebahagiaan, maka kebahagiaan akan berbalik kepada anda. Bila kita mencintai atau baik kepada orang lain, kita akan bahagia nantinya (sebagai balasannya). Pikiran yang selalu berkeinginan untuk memberi adalah lebih bahagia daripada pikiran yang berkeinginan untuk menerima. Kita mendapatkan yang sama bila kita hanya berpikir untuk memberi.

Bila anda memutuskan untuk membuat persembahan atau pemberian pada hari ini, anda memulainya dengan keyakinan (saddha), kemudian merasa senang/gembira (piti) ketika anda melakukannya. Kebajikan (punnya) telah dimulai sebelum anda tiba di sini. Ia dimulai sejak anda menyiapkan nasi dan menaruhnya di dalam nasi, dengan saus, sayur-sayuran, dan lain-lain. Rasa gembira (piti) sudah dimulai ketika anda mulai berpikir untuk mempersembahkan dana, dan berlanjut ketika anda mempersiapkannya, dan makin berkembang setelah anda mempersembahkannya. Kebajikan (kusala) menghidupi/merawat kita sepanjang waktu, khususnya bila kita melakukannya dengan tindakan yang murni, ucapan murni, dan pikiran murni (seperti misalnya tidak mencuri atau membunuh dalam membuat persembahan (dana). Persembahan dana adalah pemberian yang murni. Ia menimbulkan kegairahan (piti) pada diri si pemberi, dan setelah itu diberikan, tidak menimbulkan kecemasan.

Sebagian dari kalian, sesudah memberikan hadiah, terus merasa kuatir, "Saya kuatir apakah ia akan memberiku hadiah sebagai balasannya pula?" Beberapa orang mengharap lebih banyak dapat memperoleh balasan daripada yang telah ia berikan; misalnya memberi persembahan dana kemudian berharap dapat memenangkan lotre/undian jutaan dolar. Mari kita perhatikan hal ini; bila seseorang ingin memperoleh lebih banyak daripada yang ia berikan, itu menunjukkan bahwa di dalam batinnya hanya ada keserakahan. Kita tidak dapat menyetop orang-orang untuk berharap, seseorang dapat berharap apa saja yang diingininya, tetapi hasilnya akan tergantung pada kondisi-kondisi, pada berapa banyak kebajikan (kusala) yang telah ia lakukan, dan pada kesempurnaan Dhamma (parami). Jadi, kebersihan suatu harapan atau keinginan tergantung pada banyak faktor.

Kita dapat berharap, misalnya "semoga saya bahagia, sejahtera, damai, tenang di dalam Dhamma; semoga semua makhluk hidup bahagia dengan perbuatan-perbuatan baik saya, dan semoga kita semua terhindar dari bahaya, dengan kekuatan jasa (punnya) dan kebajikan (kusala)". Adalah cukup pantas untuk meminta Sang Triratna (Ratanattaya: Sang Buddha atau Yang Telah Mencapai Penerangan Sempurna; Doktrin-doktrin Dhamma; dan Sangha atau para bhikkhu) untuk menjadi pelindung kita, dan kemudian kita akan tentram dan bahagia, dan bebas dari kecemasan, tidak seperti orang yang masih kuatir apakah jasa/pahala tersebut akan benar-benar datang.

Kita tidak seharusnya kuatir ketika memberi, tetapi cobalah untuk bermurah hati kepada orang-orang, sahabat-sahabat, dan tetangga-tetangga kita sebanyak mungkin. Jika anda belum pernah memberikan sesuatu atau membagi apapun kepada saudara-saudara anda, maka cobalah usahakan dan lakukan hal itu. Anda akan menemukan bahwa betapa hal itu akan memberikan kebahagiaan, baik kepada mereka maupun kepada anda. Berilah dengan hati yang tulus, dengan tindakan yang baik dan ucapan yang baik, dan hanya mengeluarkan kata-kata yang baik dan menyenangkan sesuai Dhamma. Jika anda ingin memberikan nasehat kepada seseorang, dasarkanlah itu pada Dhamma, pikirkanlah dengan seksama, dan berkatalah dengan penuh cinta-kasih. Cobalah untuk memberi sesering mungkin yang dapat anda lakukan, maka hati yang baik akan semakin berkembang, dan pada saat yang bersamaan akan penuh kesadaran, tenang, dan selalu damai.

Sekarang saya ingin berbicara tentang cinta-kasih (metta). Apabila kita memiliki cinta kasih di dalam hati, dan ia ditunjang oleh kebajikan (kusala), kita dapat memelihara sikap moral (sila) kita dengan baik, khususnya sila ke-4 dan ke-5. Sila ke-4 adalah menghindari diri dari ucapan salah. Kita tidak akan pernah berkata bohong atau menipu orang lain apabila kita memiliki kebajikan di hati; kita bahkan tidak ingin berkata kasar, bergosip, atau berkata kosong/nonsens.

Orang yang penuh cinta-kasih dan baik (metta-dhamma), ia selalu tenang dan penuh kesadaran (sati). Orang yang baik dan bermanfaat (kusala-metta) tidak ingin minum alkohol atau obat bius, dia mengetahui dirinya sendiri dengan batinnya sendiri. Minum alkohol di depan anak-anak adalah sangat buruk. Itu tidak baik, karena itu memberikan contoh yang buruk kepada anak-anak, membuang-buang uang, dan menghancurkan keluarga. Bila suami adalah seorang peminum/pemabuk, apakah anda pikir istrinya akan bahagia? Jika istri adalah seorang peminum alkohol, dapatkah suaminya gembira? Tak seorang pun yang akan bahagia. Tetapi bila kita memiliki kebajikan di hati, kita tak akan menyukai minum alkohol atau obat bius, kita tidak ingin melukai atau menyakiti orang lain. Dunia akan dapat hidup dengan damai dan bahagia dan tanpa peperangan.

Apabila seseorang agresif terhadap kita, kita tidak seharusnya berbuat yang sama. Berusaha dan hindarilah orang semacam itu. Tetapi jika hal itu tidak dapat dilakukan, cobalah untuk diam saja. Jika kita benar-benar tenang dan damai serta penuh cinta-kasih, semangat dan kekuatan kita akhirnya dapat membuat dia tenang pula. Jika tidak, itu adalah urusan dia. Cukuplah membuat diri kita sendiri dingin dan tenang. Bahkan jika agresinya hebat dan mengancam akan melukai kita, kita seharusnya tetap mengembangkan cinta-kasih kita. Tak peduli bagaimana terlukanya kita, kita tidak seharusnya balas melakukan kekerasan terhadapnya, tetapi harus tetap menjaga prilaku moral (sila) yang murni. Jika kita menjadi agresif, kita tidak dapat memancarkan cinta-kasih kita. Kemudian, bila hanya satu orang berkata kasar kepada kita, atau mengolok-olok kita, atau bahkan hanya melihat kepada kita dengan tatapan yang tidak bersahabat, kita sudah merasa tidak enak atau marah. Cinta-kasih kita tidak cukup kuat, dan kita selalu sensitif, egois, dan lemah dalam keseimbangan (upekkha). Diperlukan waktu yang lama untuk dapat memotong akar-akar kejahatan dan melepaskannya seluruhnya, sehingga tiada hal apapun yang dapat mengganggu batin kita. Apabila kita mampu, kita akan tenang dan damai, seperti udara atau kekosongan, seperti seorang Arahat (seseorang yang telah mencapai Nibbana).

Saya akan mengakhiri sampai di sini khotbah pada hari ini. Semoga anda semua maju di dalam Dhamma.

[ Dikutip dari Buku Harta Yang Mulia ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar