Selasa, 30 November 2010

Menyucikan Hati




Menyucikan Hati
Oleh: Yang Mulia Ajahn Chah


Akhir-akhir ini banyak orang pergi ke berbagai tempat untuk melakukan kebajikan (memberikan persembahan) ke vihara. Dan mereka tampaknya selalu singgah di Wat Ba Pong (sebuah vihara di Thailand), entah dalam perjalanan perginya, atau pada pulangnya. Beberapa orang begitu terburu-buru sehingga saya tidak sempat bertemu atau pun bercakap dengan mereka. Kebanyakan orang mencari kebajikan, tetapi saya lihat tidak banyak yang mencari jalan keluar dari perbuatan salah. Mereka begitu bernafsu mendapatkan jasa, tetapi tidak tahu akan menempatkannya di mana. Ini seperti mencoba mewarnai kain yang kotor, dengan tidak mencucinya.
Walau para bhikkhu berbicara terus terang seperti ini, tetapi banyak orang mengalami kesulitan untuk melaksanakannya dalam praktek. Hal ini sulit karena mereka tidak mengerti, padahal jika mereka mengerti akan menjadi lebih mudah. Misalkan ada sebuah lubang dan ada sesuatu pada dasarnya. Siapapun yang memasukkan tangannya ke dalam lubang tersebut dan tidak dapat menyentuh dasarnya akan mengatakan bahwa lubang itu terlalu dalam. Dari 100 bahkan 1000 orang yang melakukannya, mereka semua berkata bahwa lubangnya yang terlalu dalam. Tidak ada yang mengatakan bahwa lengan merekalah yang terlalu pendek!
Ada begitu banyak orang yang mencari jasa/kebajikan. Cepat atau lambat mereka harus mulai mencari jalan keluar dari perbuatan salah. Akan tetapi tidak banyak orang tertarik akan hal ini. Ajaran Sang Buddha begitu singkat, tetapi sebagian besar orang melewatkannya begitu saja, seperti halnya mereka hanya melewati Wat Ba Pong. Bagi banyak orang itulah Dhamma, hanya sekedar titik perhentian.
Hanya 3 baris, tidak lebih. Sabba papassa akaranam: menahan diri dari semua perbuatan salah; Kusalassupasampada: senantiasa mengembangkan kebajikan; Sacittapariyodapanam: menyucikan batin; Itulah ajaran dari semua Buddha. Inilah inti dari ajaran Buddha. Tetapi orang terus melewatinya, mereka tidak menginginkan itu. Pelepasan dari segala perbuatan salah, besar atau kecil, baik dalam ucapan, fisik dan mental.... inilah inti ajaran pertama dari semua Buddha.
Jika kita ingin mewarnai sehelai kain kita harus mencucinya terlebih dahulu. Tetapi banyak orang tidak mau melakukan hal ini. Tanpa melihat kondisi kain, mereka langsung saja mewarnai kain tersebut. Jika kain itu kotor, mewarnainya hanya akan membuat kain itu lebih kotor. Pikirkanlah hal ini. Mewarnai kain kotor, dapatkah kelihatan baik?
Kita lihat? Beginilah agama Buddha mengajarkan, tapi banyak orang melewatkannya begitu saja. Mereka hanya ingin melakukan perbuatan baik, tetapi mereka tidak mau melepaskan perbuatan salah mereka. Ini sama halnya dengan mengatakan "lubang itu terlalu dalam". Semua mengatakan bahwa lubang itu terlalu dalam, tidak ada yang mengatakan bahwa lengan merekalah yang terlalu pendek. Kita harus kembali kepada diri kita sendiri. Dengan ajaran ini kita harus mundur dan mengamati diri kita sendiri.
Kadang-kadang mereka pergi mencari jasa kebajikan bagaikan berada di dalam bis. Mereka mungkin bertengkar dalam bis, atau bahkan mabuk. Tanyakan pada mereka arah tujuannya dan mereka akan mengatakan mereka mencari jasa. Mereka mau jasa, tetapi mereka tidak mau menghentikan perbuatan salah mereka. Maka mereka tidak akan memperoleh jasa dengan cara seperti itu.
Begitulah manusia. Kita harus mengamati diri sendiri dengan dekat dan jelas. Sang Buddha mengajarkan tentang adanya kesadaran (awareness) dan perenungan (recollection) dalam segala situasi. Perbuatan salah dapat timbul baik lewat tindakan secara fisik, lewat kata-kata, dan pikiran. Apakah kita membawa pikiran, perbuatan dan perkataan kita hari ini? Atau hanya kita tinggalkan di rumah? Di situlah harus kita lihat, tepat di situ. Kita tidak perlu melihat terlalu jauh. Lihatlah pada pikiran, perkataan, dan perbuatan. Lihat apakah tingkah laku kita sudah betul, atau masih salah.
Orang tidak benar-benar melihat hal-hal semacam ini. Seperti seorang ibu yang mencuci piring dengan cemberut. Dia begitu terpaku pada usahanya membersihkan piring-piring tersebut sehingga tidak menyadari bahwa pikirannya sendiri kotor. Pernahkah anda melihat hal semacam ini? Dia hanya melihat piring-piring tersebut. Dia melihat terlalu jauh, bukan? Saya kira beberapa di antara kita mungkin telah mengalami hal semacam ini. Di sinilah kita harus melihat. Orang berkonsentrasi untuk membersihkan piring tetapi mereka membiarkan pikiran mereka kotor. Ini tidak baik. Mereka melupakan diri sendiri.
Karena orang tidak melihat diri sendiri, maka mereka dapat melakukan segala macam perbuatan tercela. Mereka tidak melihat pikiran mereka sendiri. Ketika akan melakukan sesuatu yang jelek, orang sering melihat ke sekeliling terlebih dahulu untuk melihat apakah ada orang yang mengamati... "Apakah dilihat Ibu?" "Apakah dilihat suami saya?" "Apakah dilihat anak-anak?" "Apakah dilihat istri saya?" Jika tidak ada yang mengamati maka mereka akan langsung melakukannya. Ini sebenarnya merendahkan diri sendiri. Mereka berkata: "Tidak kelihatan orang, kok", jadi langsung saja mereka lakukan. Tetapi bagaimana dengan mereka sendiri? Bukankah mereka juga "orang"?
Kita lihat bahwa lewat pengamatan terhadap diri sendiri seperti itu, orang tidak akan pernah menemukan nilai yang sesungguhnya. Mereka tidak menemukan Dhamma. Jika kita dapat melihat diri kita sendiri sewaktu akan melakukan sesuatu yang buruk, dan kita dapat melihat diri sendiri tepat pada waktunya, kita dapat berhenti. Jika lkita ingin melakukan sesuatu yang berarti, lihatlah pikiran kita. Dengan bisa melihat diri sendiri, kita akan tahu tentang kebaikan/keburukan, keuntungan/kerugian, nilai-nilai buruk/nilai-nilai luhur. Inilah hal-hal yang harus kita ketahui.
Jika hal-hal seperti ini tidak dibicarakan, kita tidak akan tahu. Kita mempunyai ketamakan dan kegelapan batin dalam pikiran, tetapi kita tidak tahu. Kita tidak akan tahu apapun jika kita selalu melihat keluar. Inilah masalah orang yang tidak melihat diri sendiri. Melihat ke dalam, kita akan melihat baik dan buruk. Melihat kebaikan, kita dapat menyimpannya dalam hati dan mempraktekkannya.
Meninggalkan yang jelek, melakukan yang baik..... ini adalah jiwa agama Buddha. Sabba papassa akaranam —tidak melakukan perbuatan salah, baik melalui fisik, kata-kata ataupun pikiran. Inilah latihan yang benar, ajaran dari semua Buddha. Nah, sekarang "kain" kita sudah bersih.
Kemudian kita punya kusalassupasampada —membuat pikiran luhur dan trampil. Jika pikiran kita luhur dan trampil, kita tidak perlu naik "bis" ke mana-mana untuk mencari jasa/kebajikan. Dengan duduk di rumah pun kita bisa berbuat jasa yang baik. Tetapi kebanyakan orang hanya mau pergi ke mana-mana untuk mencari jasa tanpa mau meninggalkan perbuatan jelek mereka. Saat mereka pulang, sia-sialah usaha mereka! Mereka kembali berwajah masam/kecut. Itulah mencuci piring dengan penuh perhatian dengan wajah yang masam. Di sinilah orang jarang mengamati. Mereka jauh dari jasa/kebajikan.
Kita mungkin tahu tentang hal-hal seperti ini, tetapi kita belum benar-benar mengerti jika hal itu tidak kita pahami dalam pikiran kita. Jika pikiran kita luhur dan trampil, itulah bahagia. Ada senyum di hati kita. Tetapi kebanyakan dari kita bahkan tidak punya waktu untuk tersenyum. Kita hanya tersenyum jika keadaan berjalan seperti harapan kita. Banyak orang yang kebahagiaannya tergantung dari keadaan/kondisi sekelilingnya. Mereka butuh orang lain untuk mengatakan hal-hal yang indah dan hanya yang indah. Begitukah kalian mencari kebahagiaan? Dapatkah kita mengharapkan semua orang untuk mengatakan hanya hal-hal yang menyenangkan saja? Jika begitu kemauan kita, kapan kita akan menemukan kebahagiaan?
Kita harus menggunakan Dhamma untuk mencapai kebahagiaan. Apapun itu, benar atau salah, jangan mengukuhinya dengan membuta. Cukup diketahui saja, dan kemudian dilepaskan. Jika pikiran kita tenang, kita bisa tersenyum. Pada saat kita menolak sesuatu, pikiran menjadi jelek. Dan kemudian tidak ada apapun yang baik.
Ketika orang mengatakan sesuatu yang sesuai dengan keinginan kita, kita tersenyum. Ketika mereka mengatakan hal yang tidak mengenakkan, kita cemberut. Bagaimana kita dapat mengharapkan orang untuk selalu mengatakan hal yang kita sukai setiap waktu? Apakah mungkin? Bahkan anak-anak kita... pernahkah mereka mengatakan pada kita hal-hal yang tidak menyenangkan? Pernahkah kita mengecewakan orang tua kita? Tidak hanya orang lain, pikiran kita sendiri pun dapat mengecewakan kita. Kadangkala hal yang kita pikirkan pun tidak menyenangkan. Apa yang dapat kita lakukan? Kadang kita sedang berjalan dan tiba-tiba tersandung akar pohon... Dug... Aduh...! Dimana permasalahannya? Siapa yang membuat kita tersandung? Siapa yang akan kita salahkan? Itu adalah salah kita sendiri. Bahkan pikiran kita sendiri pun dapat menjengkelkan. Jika kita pikirkan hal ini, kita akan tahu bahwa ini benar. Kadangkala kita melakukan hal-hal yang bahkan kita sendiri pun tidak suka. Yang dapat kita katakan hanyalah "sialan". Namun tidak ada yang dapat disalahkan.
Jasa atau kebaikan dalam ajaran Buddha adalah melepaskan perbuatan salah. Jika kita meninggalkan kesalahan, kita tidak lagi salah. Jika tidak ada lagi kesalahan, tidak ada lagi tekanan (stress). Jika tidak ada tekanan lagi, timbullah ketenangan. Pikiran yang tenang adalah pikiran yang bersih, yang tidak menyimpan kemarahan, dan jernih.
Bagaimana kita membuat pikiran jernih? Hanya dengan mengendalikannya. Sebagai contoh, kita mungkin berpikir, "Hari ini suasana hati saya jelek sekali, apapun yang saya temui adalah menjengkelkan, bahkan piring-piring di meja pun menjengkelkan saya". Kita mungkin merasa ingin membanting semuanya. Apapun yang kita temui menjadi kelihatan salah atau jelek, ayam, anjing, kucing.... kita membenci semuanya. Segala yang dikatakan sang suami terasa menyinggung. Bahkan melihat pikiran kita sendiri pun kita tidak suka. Apa yang dapat kita lakukan dalam situasi seperti ini? Dari mana datangnya penderitaan ini? Inilah yang disebut tidak mempunyai jasa kebajikan (merit). Akhir-akhir ini di Thailand ada ungkapan bahwa orang yang sudah meninggal jasanya juga sudah berakhir. Ini tidak benar, karena banyak orang yang meskipun masih hidup tetapi jasanya telah berakhir.... itulah orang-orang yang tidak mempunyai jasa. Pikiran yang jelek terus-menerus menumpuk kejelekan.
Perjalanan pergi mencari jasa/kebajikan seperti ini sama seperti membangun rumah tanpa menyiapkan lahannya terlebih dahulu. Dalam waktu yang tidak lama rumah tersebut akan runtuh, bukan? Rancangannya tidak begitu baik. Nah, sekarang kita harus mencoba cara lain. Kita harus melihat ke dalam diri sendiri. Lihatlah kesalahan-kesalahan pada perbuatan, perkataan, dan pikiran kita. Di mana lagi kita akan berlatih bila tidak dalam semua bentuk pikiran, perkataan, dan perbuatan kita sendiri? Banyak orang tersesat. Mereka ingin pergi dan berlatih Dhamma di tempat yang tenang, di hutan atau di Wat Ba Pong. Apakah Wat Ba Pong tenang? Tidak, tidak benar-benar tenang. Tempat yang benar-benar tenang adalah di rumah sendiri.
Jika kita mempunyai kebijaksanaan, ke mana pun pergi kita akan merasa senang. Dunia sudah indah sebagaimana adanya saat ini. Semua pohon di hutan sudah indah seperti apa adanya: ada yang tinggi, ada yang pendek, berbagai jenis. Semuanya seperti apa adanya. Karena kebodohan, kita tidak mengerti sifat alami mereka dan kita memaksakan penilaian kita... "Wah, pohon yang ini terlalu pendek, yang itu terlalu besar". Pepohonan itu ya cuma pohon, yang lebih baik daripada kita.
Biarkan pepohonan mengajarkan kita. Sudahkah kita belajar sesuatu dari mereka? Paling tidak, kita harus belajar satu hal dari mereka. Ada banyak pohon, semua dengan sesuatu yang bisa mengajar kita. Dhamma ada di mana saja, dalam segala hal di alam ini. Kita harus memahami hal ini. Jangan menyalahkan lubang yang terlalu dalam... lihat di sisi yang lain, lengan kita sendiri! Jika kita dapat melihat hal ini, kita akan bahagia.
Jika kita berbuat baik, simpanlah dalam pikiran. Itu adalah tempat terbaik untuk menyimpan. Berbuat kebajikan adalah hal yang baik, tetapi bukan yang terbaik. Mengkonstruksikan bangunan adalah hal yang baik tapi bukan yang terbaik. Membangun pikiran baik itulah yang terbaik. Dengan begitu kita akan menemukan kebaikan baik di sini maupun di rumah sendiri. Temukanlah keunggulan ini dalam pikiranmu. Rangka luar seperti bangunan ini hanyalah seperti kulit pada pohon dan bukan kayu inti.
Jika kita mempunyai kebijaksanaan, ke mana pun kita melihat di situ ada Dhamma. Jika kita kekurangan kebijaksanaan, bahkan hal yang baik akan menjadi buruk adanya. Darimana datangnya yang buruk itu? Tak lain dari pikiranmu sendiri. Lihat bagaimana pikiran ini mengubah segala sesuatu. Suami istri yang biasanya rukun, suatu saat ketika perasaan hati mereka sedang tidak baik, apapun yang dikatakan oleh pasangannya membuat tersinggung. Pikiran telah menjadi jelek, dan segalanya berubah. Begitulah.
Jadi, untuk melepaskan kejahatan dan menggali kebaikan kita tidak harus pergi mencari ke mana-mana. Jika pikiran sedang jelek jangan melihat ke orang yang ini atau yang itu. Lihatlah pikiran kita sendiri dan carilah darimana pikiran-pikiran itu muncul. Mengapa pikiran ini berpikir sedemilian rupa? Pahamilah ini: segala sesuatu adalah sementara. Cinta adalah sementara, benci demikian pula. Pernahkah kita mencintai anak-anak kita? Tentu saja. Pernahkah kita membenci mereka? Saya akan menjawab... kadangkala. Benar 'khan? Bisakah kita membuang mereka? Tidak. Mengapa? Anak-anak bukanlah seperti peluru yang ditembakkan ke luar, anak-anak ditembakkan balik pada orang tua. Jika mereka baik, mereka anak-anak kita. Jika jelek pun, mereka juga tetap anak-anak kita. Kita dapat berkata bahwa anak adalah kamma kita. Ada yang baik ada yang buruk. Tetapi, baik ataupun buruk, mereka tetap anak kita. Bahkan yang buruk pun berharga. Ada yang mungkin terlahir sakit polio, cacat tubuh, tetapi bisa menjadi lebih berarti dibanding anak lainnya. Setiap kali akan pergi kita meninggalkan pesan: "Tolong jagai si kecil ini, dia tidak begitu mampu". Kita mencintainya lebih dari yang lain.
Jika begitu kita harus menyeimbangkan pikiran: setengah cinta, setengah benci. Jangan hanya mengambil satu sisi, selalu lihatlah dari kedua sisi. Anak-anak adalah kamma kita, semua sesuai dengan hukumnya sendiri. Mereka adalah kamma kita, kita harus bertanggung jawab terhadapnya. Jika mereka betul-betul memberi kita penderitaan, kita ingatkan diri kita: "Ini kammaku". Jika mereka menyenangkan, kita ingatkan diri kita: "Ini kammaku". Kadangkala begitu frustasinya kita di rumah sehingga kita ingin melarikan diri. Beberapa malahan begitu frustasi sehingga mereka bunuh diri. Ini adalah kamma. Kita harus menerima kenyataan. Hindarilah perbuatan jelek. Dengan demikian kita akan dapat melihat diri kita sendiri dengan lebih jelas.
Inilah sebabnya sangat penting bagi kita untuk merenungkan segala sesuatu. Biasanya saat meditasi kita menggunakan suatu obyek, misalkan Buddho, Dhammo, atau Sangho. Tetapi kita dapat membuatnya lebih singkat. Pada saat pikiran kita jelek atau jengkel, katakanlah "A-ha!". Ketika perasaan kita enak, katakanlah "A-ha!... ini bukanlah hal yang pasti". Jika kamu mencintai seseorang, katakan "A-ha". Demikian juga saat kamu akan marah. Kamu tidak perlu mencari di Tipitaka. Katakan saja "A-ha". Ini berarti "tidak kekal". Cinta, benci, baik, buruk, semua tidak kekal. Bagaimana bisa kekal? Di mana unsur kekekalannya?
Dapat kita katakan bahwa semuanya itu hanya permanen dalam ketidak-permanennannya. Menit ini ada cinta, menit berikutnya timbul benci. Begitulah adanya. Sifat berubahnya inilah yang permanen. Maka dari itu saya katakan bahwa ketika timbul cinta, katakanlah "A-ha". Ini menghemat banyak waktu. Kita tidak harus mengatakan "Anicca, dukkha, anatta". Jika kita tidak menginginkan tema meditasi yang panjang, gunakan saja kata yang singkat ini... katakan saja: "A-ha".
Nah, jika semua orang lebih sering mengatakan "A-ha", dan melatihnya dalam kehidupan sehari-hari, maka kemelekatan akan semakin berkurang. Orang tidak akan tersuruk dalam cinta dan benci. Mereka tidak akan melekat kepada hal-hal demikian. Mereka akan menaruh kepercayaan terhadap kebenaran dan bukan yang lain. Sudah cukup bagi kita untuk mengetahui sebegini saja. Apalagi yang ingin kita ketahui?
Setelah mengetahui ajaran ini, kita harus selalu mencoba untuk mengingatnya. Apa yang harus diingat? Meditasi.... Mengerti, bukan? Kalau kita mengerti, dan Dhamma menyatu dengan kita, pikiran akan berhenti. Jika ada kemarahan dalam pikiran, hanya "A-ha".. dan itu cukup, berhenti di situ. Jika belum benar-benar mengerti, lihatlah lebih dalam ke pokok masalahnya. Jika ada pengertian, ketika kemarahan timbul di dalam pikiran, kita dapat membungkamnya dengan berkata "A-ha, inipun tidak kekal".
Yang paling penting adalah perekam yang ada di pikiran kita. Bacaan ini dapat musnah begitu saja tapi jika Dhamma telah dapat terekam dengan baik di dalam pikiran, itu tidak akan dapat dimusnahkan, akan berada di situ selamanya.

[ Dikutip dari Mutiara Dhamma VII, Living Dhamma ]

Sabtu, 27 November 2010

Menuju Pandangan Terang



Menuju Pandangan Terang
Oleh: Alm. Yang Arya Bhikkhu Girirakkhito Mahatera



Dalam setiap kebaktian pembacaan paritta yang diterjemahkan dengan baik, mudah-mudahan akan meresap dan semoga lambat laun akan menimbulkan pengetahuan dan kebijaksanaan. Berarti setiap minggu saudara-saudara dengan rajin memupuk pengetahuan, kebijaksanaan, moral dan budi pekerti sehingga benar-benar menjadi umat Buddha yang kualitatif.

Saudara, kita sangat perlu menjaga batin kita dengan kebijaksanaan. Pengetahuan Dhamma yang kita kumpulkan jadikanlah backing yang ampuh bagi gerak-gerik mental kita, jangan sampai kita dipengaruhi oleh kebodohan, pandangan keliru atau sesat yang akan mengakibatkan malapetaka, rintangan dan ancaman-ancaman. Jangan sampai berhenti menjaga batin dengan kebijaksanaan, sebab dewasa ini kita hidup dalam keadaan yang semakin terdesak, terancam pengaruh-pengaruh negatif, dan semakin gencarnya godaan kehidupan duniawi yang serba gemerlapan. Oleh karena itu mutlak batin kita dijaga oleh kebijaksanaan, kalau tidak demikian kita akan mudah didikte oleh pengaruh rangsangan duniawi dan pandangan keliru yang menyebabkan kita sering salah jalan. Mengapa saya mengatakan demikian? Sebagai contoh ketika masyarakat dilanda demam porkas, terdengar salah satu vihara digunakan untuk kegiatan demam porkas. Ini terjadi disebabkan karena mental yang lemah tanpa diobati oleh kebijaksanaan/pañña atau pengetahuan Dhamma.

Daya tahan mental persis seperti daya tahan jasmani yang stamina atau daya tahan tubuhnya lemah. Saudara-saudara kalau mencari rezeki tidak perlu dengan judi, karena judi adalah spekulasi, kalau saudara berpandangan mencari rejeki dengan berjudi berarti saudara memiliki pandangan keliru. Kalau ingin mendapat rejeki, berbuat jasa sebanyak-banyaknya, jangan membiarkan kesempatan untuk menanam jasa kebaikan itu lewat; dengan demikian pasti akan mendapat perbaikan. Jadi, kalau ingin kaya harus berbuat jasa; melakukan kebaikan dengan menolong, berdana, bersimpati, ulet, bekerja keras, hemat, dan hati-hati dalam menggunakan uang, serta memancarkan cinta kasih dengan mendoakan semua makhluk bahagia. Dengan demikian saudara berpandangan benar, memiliki kebijaksanaan.

Apakah kebijaksanaan itu saudara? kebijaksanaan adalah memiliki perhatian penuh, kesadaran penuh dan kewaspadaan penuh, dari gerak-gerik jasmani, perasaan dan pikiran sendiri. Kesabaran juga dapat ditangkap dengan jelas, dimengerti, dan dipahami dengan sempurna sekali. Hal itu disebabkan karena latihan perkembangan dari perhatian, kewaspadaan, pengetahuan itu sendiri; maka orang yang seperti itu adalah orang yang mungkin sekali mencapai kebijaksanaan dan akan berakhir mencapai kebebasan. Tidak perlu saudara melihat dari pandangan-pandangan yang sulit untuk mencapai kebijaksanaan. Kebijaksanaan bukan timbul dari membaca buku sebanyak-banyaknya. Saya sarankan kepada saudara untuk mulai belajar dari hal yang mendasar, misalnya dari huruf A sampai dengan Z. Bagaimana cara belajarnya saudara? Sesungguhnya pangeran Siddharta sendiri dengan pengorbanan yang luar biasa baru dapat mencapai kebijaksanaan sempurna, pengetahuan sempurna, dan Beliau melihat Dhamma yang sesungguhnya adalah hukum-hukum yang berlaku di alam semesta. Pangeran Siddharta mencapai Samma Sambuddha.

Hukum ini bekerja melalui 2 (dua) cara, yaitu:
  1. Apabila batin tidak dilengkapi dengan kebijaksanaan, pengetahuan benar, keyakinan kuat, semangat, perhatian murni, konsentrasi, maka kebodohan bisa masuk, pandangan sesat ikut serta, kemelekatanpun ikut hadir pula. Akibatnya adalah sengsara, derita, malapetaka, tumimbal lahir berkali-kali. Girang, sedih, rindu, cemas bercampur dan selanjutnya akan menimbulkan kita terlahir terus.
  2. Batin itu yang mengetahui jasmani, sedangkan jasmani tidak mengetahui batin. Jadi sebagai makhluk hidup kita harus memberikan perhatian pada soal batin, karena sebenarnya yang bahagia atau menderita itu batin.
Semua proses atau kejadian adalah Anicca atau selalu berubah-ubah, tidak memuaskan atau Dukkha, Anatta atau tidak ada pribadi dari kesadaran, pikiran, perasaan, pencerapan, dan jasmani ini. Pikiran timbul karena ada yang menunjang, terjadi kontak, ada kesadaran yang tergantung pada faktor apa yang ada dalam batin. Apabila orang serakah melihat sesuatu dan tertarik, maka pertama orang tersebut akan kagum, menghargai, ingin memiliki. Tapi bila orang tersebut bijaksana, sehingga tidak mempunyai sifat keserakahan, maka ia tidak berniat untuk memiliki. Oleh karena itu dianjurkan kepada saudara-saudara apabila melihat sesuatu, berpikirlah yang sewajarnya. Apabila saudara melakukan latihan Vipassana, maka akan timbul kesadaran dan kebijaksanaan pada diri sendiri. Kebijaksanaan adalah pengetahuan Dhamma, apabila kita mengerti sesungguhnya tentang Anicca, Dukkha, dan Anatta, maka kita bisa terhindar dari sifat kemelekatan. Agar kita mencapai kebijaksanaan, pelajarilah Dhamma dan mempraktekannya langsung dalam kehidupan sehari-hari, sehingga kita dapat pula mencapai Nibbana.

Obat dari kemelekatan adalah kebijaksanaan, jadi jangan melekat pada kehidupan sehingga takut mati, sebab mati itu berarti lahir. Oleh karena itu, apabila kita ditinggal mati oleh seseorang yang kita sayangi kita tidak boleh menangis, melainkan kita harus tersenyum.

Akhir kata semoga Dhamma yang saya sampaikan ini dapat bermanfaat bagi saudara-saudara, semoga semua makhluk berbahagia.

Dikutip dari Malam Pagelaran Karya Cipta Girirakkhito 24 Januari 1998 ]

Marilah Kita Mengadu Kekuatan



Marilah Kita Mengadu Kekuatan

Oleh Pandita. Dharma Mitra (Peter Lim)






"Memahami dharma (kebenaran) dengan sepenuhnya dan bebas dari kerinduan karena memiliki pandangan terang, orang bijak tersebut bebas dari semua nafsu keinginan, dan tenang bagaikan kolam yang tidak terkacaukan oleh angin."Itivuttaka 91.


Membaca judul yang diatas, spontanitas anda pasti akan kaget ! Betul'khan....? Mengapa....? Karena tidak sesuai dengan prinsip dan landasan dari Buddha Dharma (ajaran Sang Buddha), yang meng 'haram' kan segala bentuk dari kekerasan kekerasan, disamping senantiasa berpedoman pada cinta kasih serta kasih sayang. Yang akan dibicarakan disini, bukanlah bentuk dari kekuatan fisik atau materi, yang bisa mengalahkan atau menghancurkan pihak pihak lain. Tetapi adalah salah satu dari bentuk kekuatan kebajikan (pasti berdampak positif), yang mana bisa menimbulkan kedamaian, ketentraman, kesejahteraan & kebahagiaan bagi makhluk makhluk hidup lainnya. Sang Buddha menyabdakan bahwa terdapat lima kekuatan, yang bisa (pasti) memberikan hasil yang optimal (kebahagiaan) dan telah terbebas dari keduniawian serta selalu berdampak positif, baik bagi sipemilik maupun pihak-pihak lain, yang ada disekitarnya. Kelima kekuatan (panca balam) tersebut adalah :

a. Saddha balam : kekuatan keyakinan.
Mengenai kekuatan keyakinan ini, Sang Buddha menyabdakan :
"Duhai para bhikkhu, para siswa (bhikkhu & umat) dalam Buddha Sasana (ajaran Nya, Sang Buddha) yakin akan sifat sifat luhur Sang Buddha, Yang Maha Suci, Yang Telah Mencapai Penerangan Sempurna, sempurna Pengetahuan serta tindak tanduk Nya, sempurna menempuh Sang Jalan (ke Nibbana), Pengenal semua alam; Pembimbing Manusia, Yang Tiada Taranya, Guru Para Dewa & Manusia, Yang Sadar (bangun), Yang Layak Dimuliakan. Inilah kekuatan keyakinan.".

Dalam hal ini, umat Buddha hendaknya telah yakin & seyakin yakinnya meyakini bahwa Sang Buddha adalah manusia yang telah tercerahi (suci & mulia) & oleh karena itu, maka sudah seyogyanya disetiap derap langkah yang akan, sedang dan telah dilalui, selalu sesuai (berpedoman) dengan jalur dharma (kebenaran), yang tidak merugikan pihak lain disamping dampaknya yang positif.

b. Viriya balam : kekuatan semangat.

Berkenaan dengan kekuatan semangat ini, Sang Buddha menyabdakan :
"Duhai para bhikkhu, siswa siswa yang baik dalam Buddha Sasana ini, hendaknya senantiasa bersemangat untuk menghindari akusala karma (perbuatan perbuatan jahat), bersemangat untuk banyak berbuat kusala karma (perbuatan perbuatan baik). Mereka tekun, teguh, tidak mudah patah semangat, memperhatikan kusala dhamma) (hal-hal yang baik). Inilah kekuatan semangat."

Pada kekuatan semangat ini, kita diarahkan (dibimbing) oleh Sang Buddha, untuk senantiasa menghindari segala bentuk dari perbuatan-perbuatan jahat, dalam kondisi, keadaan & suasana yang bagaimanapun juga. Disamping itu, juga selalu berkreasi pada hal hal yang baik, yang mana bermanfaat bagi diri sendiri dan juga makhluk-makhluk hidup lainnya, yang ada disekitar kita. Dan perbuatan perbuatan baik yang dilakukan, hendaknya telah terbebas dari niat-niat terselubung (jahat) atau adanya pamrih akan ini & itu. Di dalam konsep Buddhis ditegaskan bahwa tidaklah logis, pantas atau dibenarkan, melakukan perbuatan perbuatan baik, yang hanya didasarkan pada keseragaman bangsa, suku, bahasa atau agama. Perbuatan perbuatan baik yang hendak atau akan dicurahkan, haruslah telah terbebas dari ikatan ikatan atau unsur unsur diskriminasi. Penggambarannya, tidaklah berbeda dengan pancaran sinar matahari yang menerangi bumi (segenap pelosok), yang tanpa adanya perbedaan perbedaan.

c.Sati balam : kekuatan kesadaran.

Berhubungan dengan kekuatan kesadaran ini, Sang Buddha menyabdakan :
"Duhai para bhikkhu, siswa siswa yang baik dalam Buddha Sasana ini, hendaknya telah memiliki kesadaran yang baik, mengingat tindakan yang pernah diperbuat dan telah dibuat masih di ingat, mengingat perkataan yang pernah diucapkan & yang telah dibicarakan masih diingat. Inilah kekuatan kesadaran."

Maknanya adalah kita telah memiliki kesadaran bahwa apa yang akan, sedang & yang telah dilakukan. Kalau kondisi ini bisa dipenuhi maka kita akan memiliki suatu kemampuan, untuk bisa memilah-milah, mana yang pantas dilaksanakan dan mana yang harus dihindari. Mengapa bisa demikian...? Karena kita telah berada dalam kesadaran penuh. Umumnya, terjadinya kesalahan-kesalahan atau perbuatan perbuatan tercela, tidaklah terlepas karena lemahnya kesadaran yang dimiliki. Jadi, dengan dimiliki-nya kekuatan kesadaran maka disetiap derap langkah yang akan dilalui, telah terfilter (tersaring) dengan baik. Dan sebagai hasil (akibat) nya maka segala wujud dari penderitaan penderitaan (sebagai akibat dari perbuatan perbuatan jahat) akan bisa disirnakan.

d. Samadhi balam : kekuatan (konsentrasi).

Mengenai kekuatan ini, Sang Buddha menyabdakan :
"Duhai para bhikkhu, siswa siswa yang baik dalam Buddha Sasana ini, hendaknya telah memiliki kekuatan samadhi yang baik. Mereka memiliki samadhi yang sempurna."

Dalam hal ini adalah bisa (mampu) mengontrol, mengarahkan dan memfokuskan pikiran, pada suatu objek (sasaran), yang tidak tergoyahkan lagi oleh godaan-godaan ataupun rintangan rintangan. Jika kondisi ini telah terpenuhi maka dikala mata, telinga, hidung, lidah, kulit & pikiran tersentuh atau kontak pada objek-objek luar (menyenangkan atau tidak), tidak akan bisa (mampu) mempengaruhi bathinnya lagi.

e. Panna balam : kekuatan kebijaksanaan.

Berhubungan dengan perihal ini, Sang Buddha menyabdakan :
"Duhai para bhikkhu, siswa siswa di dalam Buddha Sasana ini, hendaknya telah memiliki kebijaksanaan. Mereka memiliki kebijaksanaan yang sempurna, yang bisa mengingat akan muncul dan lenyapnya segala sesuatu. Inilah kekuatan kebijaksanaan."

Makna dari kebijaksanaan sempurna adalah bisa menerima kebenaran kebenaran yang pasti terjadi (misalnya. : ketidak kekalan, hukum karma, berpisah dengan yg dicintai, dihina dan lain sebagainya) dan bathin senantiasa stabil (tidak tergoncangkan oleh kondisi kondisi yang bagaimanapun juga) serta selalu mengembangkan dan memancarkan cinta kasih segala penjuru.

"Ia yang meneguk rasa dharma (kebenaran) & jernih bathinnya; niscaya hidup berbahagia. Orang bijak senantiasa bergembira dalam dharma (kebenaran) yang dibabarkan oleh para Ariyawan (suciwan)."
Pandita Vagga VI : 79.


Di dalam kitab suci Sangiti Sutta Patikavagga Digha Nikaya, Sang Buddha menyabdakan bahwa faktor-faktor yang bisa menyebabkan timbulnya kebijaksanaan adalah :

  1. Cintamaya panna : kebijaksanaan yang timbul karena adanya pemikiran dan perenungan mendalam terhadap sebab dan akibat.

    Maknanya adalah menyadari & mengerti dengan sebaik baiknya bahwa tiada akibat tanpa adanya sebab yang nyata. Jadi, jika disaat kita (merasa) diperlakukan tidak sewajarnya, maka tindakan yang pertama tama sekali (seyogyanya) yang diperbuat adalah:
    a) Bertanya kepada diri sendiri (introspeksi), mengapakah perihal ini bisa terjadi....?
    b) Selalu yakin bahwa segala kondisi dan keadaan yang dialami, tidaklah terlepas sebagai hasil (akibat) dari karma, yang sudah sepantasnya diterima (dilunasi). Dalam hal ini, tidaklah logis kita menyalahkan pihak-pihak lain atas kemalangan-kemalangan yang dialami.
    c) Selalu mengembangkan dan memancarkan cinta kasih serta kasih sayang kesegala penjuru. Disamping itu, juga meyakini bahwa tidaklah mungkin kebencian akan bisa tertaklukkan dengan kebencian. Kebencian hanya bisa disirnakan dengan kekuatan cinta kasih. Itulah hukum kebenaran yang berlaku di alam semesta ini.
  2. Sutamaya panna : kebijaksanaan yang timbul karena adanya mendengar dan mengajar dharma (kebenaran).

    Maknanya, semakin banyak diketahui hal-hal yang baik dan bermanfaat maka akan semakin kuat dan mantap pula, kebijaksanaan yang dimiliki.
  3. Bhavanamaya panna : kebijaksanaan yang timbul karena adanya pelaksanaan meditasi.

    Secara garis besarnya, makna meditasi adalah mengarahkan pikiran pada suatu objek (sasaran) tertentu. Tujuan dari pelaksanaan ini adalah agar pikiran bisa dibina, difokuskan dan ditujukan pada hal-hal yang baik dan terbebas dari niat niat jahat. Pikiran yang telah terbina dan selalu terfokuskan pada hal-hal yang baik, merupakan sebab utama timbulnya kebijaksanaan. ¡°Rago doso mado moho-yattha panna nagadhati : dimana terdapat nafsu, kebencian, kemabukan dan kebodohan (tidak mampu membedakan mana yang baik dan mana yang jahat); disitu tidak terdapat kebijaksanaan.¡± Sanyutta Nikaya 1249.


Kesimpulan :

Di media massa, hampir setiap hari diberitakan, terjadinya perkelahian, pemukulan, pemerkosaan & bahkan pembunuhan. Mengapakah semuanya ini bisa terjadi¡¦.? Sebabnya tiada lain adalah kurangnya (tidak ada) kemampuan, untuk mengembangkan bibit-bibit ke Buddha an (kebajikan), yang telah ada dihati sanubari. Di dalam sabda Nya, Sang Buddha menyabdakan bahwa pada dasarnya (sesungguhnya), kita telah memiliki potensi dan kemampuan, untuk bisa mengembangkan kekuatan kekuatan yang ada di dalam diri kita. Kekuatan kekuatan tersebut adalah : a) Saddha balam : kekuatan keyakinan. Kalau kita senantiasa yakin bahwa perbuatan-perbuatan apapun yang akan, sedang dan telah diperbuat, pasti akan menimbulkan hasil (akibat ) maka kita akan menjauhi diri dari perbuatan perbuatan jahat. b) Viriya balam : kekuatan semangat. Kalau kita senantisa bersemangat di setiap derap langkah yang akan dilalui maka yang namanya iri (kecemburuan) atau kekurang- beruntungan yang di alami, akan bisa disirnakan setahap demi setahap. Sirna-nya kecemburuan atau kekurang-beruntungan ini, akan memotivasi seseorang, untuk senantiasa mau bertindak dan berlaku di jalur yang benar. c) Sati balam : kekuatan kesadaran. Kalau kita senantiasa sadar (mawas diri dan waspada) disetiap apa yang akan, sedang dan telah dilalui maka kita tidak akan terjerumus lagi ke tindakan-tindakan tercela dan malahan selalu sebaliknya, yaitu berbuat kebajikan. d)Samadhi balam : kekuatan samadhi. "Ada lima untai kesenangan inderawi serta pikiran sebagai yang ke-enam. Dengan mengatasi keinginan untuk memuaskan hal hal ini, orang akan bebas dari penderitaan." Sutta Nipata 171. e)Panna balam : kekuatan kebijaksanaan. Kalau di setiap gerak langkah yang akan dilalui dan selalu diliputi oleh kebijaksanaan maka akibat (hasil) nya akan senantiasa berdampak positif, baik bagi diri sendiri maupun pihak-pihak lain. "Andho yatha jotima dhitthaheyya : tanpa mata kebijaksanaan, seseorang tidak ubahnya seperti orang buta yang menginjak lentera penunjuk jalan." Khuddhaka Nikaya 1734. Berdasarkan pada ke lima jenis kekuatan (panca balam) ini, marilah kita bersama sama mengembangkan & mengadukannya. Dalam hal ini, siapakah yang terbaik atau pemenang di dalam pengembangan kekuatan kekuatan kebajikan ini....? Semoga dengan dimilikinya kekuatan kekuatan ini, dapatlah hendaknya kita kontribusikan, demi terwujudnya masyarakat yang damai, tentram, sejahtera dan bahagia. Sudah siapkah kita dalam hal ini....? Sabbe satta sabba dukkkha pamucanntu-sabbe satta bhavantu sukhitata : semoga semua makhuk terbebaskan dari derita dan semoga semuanya senantiasa berbahagia. sadhu..... sadhu..... sadhu.....


Rabu, 24 November 2010

Wujud Indah Kwan Im

Wujud Indah Kwan Im
Oleh Willy Yandi Wijaya



Mungkin kita tidak asing lagi dengan Avalokitesvara Boddhisattwa atau lebih terkenal dengan sebutan “dewi Kwan Im”.

Beliau dikenal sebagai dewi yang ‘mendengar’ setiap orang yang menderita…
Lalu…
Apakah kita tahu esensi dari wujud beliau….??

Terlepas dari apakah Kwan Im betul-betul nyata atau tidak secara historis, konsep Kwan Im adalah sangat indah sekali….(renungkanlah)

Beliau melambangkan suatu keadaan batin yang paling indah dan damai, yaitu welas-asih. Yang berarti cinta kasih kepada mereka yang menderita. Karena itulah beliau diwujudkan dalam bentuk seorang wanita yang memiliki seribu tangan dan seribu mata. Seribu tangan dan seribu mata yang ada di setiap telapak tangan beliau melambangkan bahwa beliau dapat melihat dengan mata-Nya dan menolong dengan tangan-Nya ke segala penjuru dunia....

Yang perlu dipahami oleh kita adalah bahwa wujud beliau yang sangat ber-welas-asih yang perlu kita tiru ketika kita memuja beliau, bukan hanya sekedar memohon-mohon. Justru ketika kita mengembangkan welas-asihlah, segala permohonan kita akan tercapai dikarenakan akibat dari perbuatan kita yang disertai dengan welas-asih.

Jika kita meyakini beliau dengan pengertian yang jelas yaitu setiap saat mengembangkan welas-asih kepada semua makhluk yang menderita dan lebih lanjut kita dapat mengembangkan cinta kasih kepada semua makhluk tanpa batas, maka kita telah selangkah lebih maju menjadi seorang Buddha.

Setiap saat—kapan dan di mana pun—kita harus senantiasa mengembangkan welas-asih dengan mengingat wujud Kwan Im dan berusaha bertindak seperti beliau yang selalu menolong mereka yang menderita

Ketika tindakan kita semua dilandasi dengan welas-asih maka…
            tidak akan ada kebencian lagi, semua akan saling mencintai
                        tidak akan ada kekerasan lagi, semua akan saling memaafkan
                                    tidak akan ada perang lagi, semua akan saling mengalah
                                                tidak akan ada kehancuran lagi, dan semua akan saling menjaga
                        Dan kehidupan kita semua akan menjadi damai…

Itulah esensi perwujudan Kwan Im yang paling indah yang perlu kita pahami dan perlu kita wujudkan dalam kehidupan nyata.

                                                                                                                       


Manfaat Sila


Manfaat Sila
Oleh Yang Mulia Bhikkhu Uttamo Thera


Kalau kita mengamati ajaran Sang Buddha maka kita akan sampai pada satu kesimpulan pokok bahwa sesungguhnya ajaran Sang Buddha bukan hanya sekedar upacara sembahyang saja, atau bahan diskusi, bahkan bukan pula merupakan suatu pengetahuan umum. Tetapi lebih dari itu, ajaran Sang Buddha membutuhkan pelaksanaan di dalam kehidupan kita sehari-hari.

Dalam salah satu kotbahnya, Sang Buddha menyatakan: "Dhamma Care Sukham Seti", yang berarti: mereka yang melaksanakan Dhamma, merekalah yang akan memperoleh kebahagiaan. Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa sesungguhnya Dhamma adalah untuk dilaksanakan.

Sekarang yang menjadi persoalan adalah bagaimanakah pelaksanaan Dhamma itu? Sesungguhnya pelaksanaan ajaran Sang Buddha itu banyak dapat kita temukan di dalam kehidupan sehari-hari, salah satunya adalah melatih kesabaran. Walaupun kesabaran ini sering dikumandangkan di mana-mana, tetapi dalam pelaksanaannya hal tersebut seringkali menimbulkan pertentangan. Tentu bukanlah suatu hal yang mudah untuk melatih kesabaran di dalam kehidupan sehari-hari, terutama bagi mereka yang masih muda dan penuh semangat. Sebaliknya apabila kita mampu mengolah dan menyalurkan energi dan semangat menjadi hal-hal yang positif maka hal tersebut akan bermanfaat sekali. Lalu bagaimanakah cara melatih kesabaran itu, terutama bagi kita yang masih muda? Salah satu cara sederhana yang telah menjadi petunjuk untuk melatih kesabaran adalah dengan melaksanakan "sila", 5 (lima) sila setiap hari dan 8 (delapan) sila pada hari-hari tertentu. Tentu hal ini akan menimbulkan pertanyaan: Bagaimanakah hubungan sila dengan melatih kesabaran?

Untuk itu mari kita tinjau sila yang pertama. Sila yang pertama adalah tidak melakukan penganiayaan maupun pembunuhan terhadap makhluk- makhluk yang bernapas (mempunyai napas). Penganiayaan dan pembunuhan merupakan dua hal yang saling berdekatan. Pembunuhan yang tidak sukses disebut penganiayaan. Sebaliknya penganiayaan yang sukses disebut pembunuhan. Mengapa pembunuhan dan penganiayaan bisa mempunyai hubungan dengan kesabaran? Misalnya di rumah kita ada seekor kecoa; apa yang akan kita lakukan? Apakah kita akan menginjak kecoa itu ataukah kita biarkan saja? Ini adalah pilihan untuk mengukur sampai sejauh mana sila bisa kita laksanakan di dalam kehidupan sehari-hari. Sila yang dilaksanakan dengan baik akan menjadi "rem" otomatis untuk perbuatan-perbuatan kita, sehingga pelaksanaan sila pertama di dalam kehidupan sehari-hari dengan sendirinya merupakan suatu cara untuk melatih kesabaran.

Sila yang kedua adalah menghindari mengambil barang yang tidak diberikan dengan sah atau bukan miliknya. Ini pun ada hubungannya dengan melatih kesabaran. Misalnya kita tinggal di satu rumah kost, dan kebetulan teman sekamar kita sedang pulang kampung, padahal kita ingin meminjam pakaiannya. Akhirnya kita memakai pakaian tersebut tanpa sepengetahuannya. Setelah selesai, pakaian tersebut kita kembalikan seperti keadaan semula. Perbuatan meminjam pakaian teman kita itu dapat dikatakan termasuk pelanggaran sila kedua, karena perbuatan tersebut adalah mengambil barang yang tidak diberikan dengan sah dan tanpa izin. Jadi sila kedua tidak selalu berarti mencuri milik orang lain.

Sila yang ketiga adalah tidak melakukan pelanggaran kesusilaan. Di zaman yang serba canggih dan modern ini, orang seringkali ingin melangsungkan segala sesuatunya dengan serba cepat dan singkat. Bahkan hal tersebut sudah terkenal di kalangan generasi muda. Hubungan seks pranikah dan kehamilan usia remaja bukanlah suatu hal yang asing dan tabu lagi di zaman yang serba cepat ini. Kalau para generasi muda yang mempelajari sila di dalam agama Buddha masih bertingkah-laku demikian maka sesungguhnya sila ketiga ini baru sampai taraf ilmu pengetahuan saja, belum sampai pada pelaksanaan. Tetapi kalau kita mau melaksanakan sila, tentu kita akan berusaha untuk bersabar. Dan sila ini akan menjadi rem otomatis sehingga tidak terjadi pelanggaran terhadap kesusilaan. Ini adalah melatih kesabaran.


Demikian juga dengan sila yang keempat, yaitu menghindari ucapan yang tidak benar; misalnya dengan tidak berbohong. Contoh yang sederhana misalnya: setelah selesai kebaktian, kita ikut membereskan altar. Kita membantu membawakan barang-barang ke bawah. Tetapi ketika itu barang yang kita bawa jatuh menggelinding dan rusak. Kita kemudian ditanya: "Kamu membawanya tidak hati-hati, ya?" Apa jawaban kita? "O... tadi saya disenggol orang." Jawaban ini memberi kesan seolah-olah pada waktu memegang barang tadi, kita disenggol orang. Padahal kita disenggol orang ketika belum memegang apa-apa. Ini sebetulnya adalah suatu kebohongan. Mengapa kita berbohong? Mengapa kebohongan ini menjadi tidak sabar? Kita bohong karena kita takut dimarahi dan malu pada teman-teman yang lain. Hal inilah yang mendorong kita menjadi tidak sabar dan berbohong. Oleh karena itu melatih tidak berbohong, dengan mengatakan yang sejujurnya, hal tersebut sesungguhnya juga merupakan suatu cara untuk melatih kesabaran.

Sila yang kelima adalah menghindari segala minuman keras yang dapat menyebabkan lemahnya kesabaran. Bagaimanakah hubungan sila kelima ini dengan melatih kesabaran? Ada sebagian orang yang cenderung lari dari kenyataan apabila sedang menghadapi permasalahan yang berat, yang tidak bisa diselesaikan dengan segera, yaitu dengan jalan mabuk-mabukan. Karena mabuk-mabukan itu adalah salah satu cara untuk melarikan diri dari permasalahan. Tetapi kalau kita mau bersabar, berusaha menghadapi kenyataan sebagaimana adanya; sesungguhnya hal tersebut merupakan suatu latihan kesabaran.

Selanjutnya, sila yang keenam adalah menghindari makan-makanan setelah tengah hari. Batas waktu makan yang diberikan adalah antara pukul 06:00 pagi sampai dengan pukul 12:00 siang. Meskipun demikian, hal ini tidak berarti bahwa selama jangka waktu tersebut lalu kita makan sesering mungkin. Bukan demikian, tetapi kita berusaha untuk menggunakannya sesedikit mungkin. Bahkan kadang-kadang digunakan hanya 2 kali saja, yaitu pukul 07:00 pagi dan pukul 11:00 siang.

Apa hubungannya melatih kesabaran dengan tidak makan?

Sebagai umat Buddha yang meyakini Hukum kelahiran kembali, sebetulnya kita sudah mengalami kelahiran berjuta-juta kali. Begitu pula halnya dengan kelaparan. Tentu sudah berjuta-juta kali pula kita merasakan lapar. Dengan mengendalikan keinginan makan yang telah muncul berjuta-juta tahun yang lampau; secara tidak langsung sebetulnya hal tersebut juga merupakan latihan untuk mengendalikan emosi. Mengapa demikian? Kalau kita mampu mengendalikan keinginan makan yang telah muncul berjuta-juta tahun yang lampau, mengapa kita tidak bisa menahan diri untuk tidak marah, misalnya. Dengan cara itu kita bisa menghadapi segala sesuatunya dengan tenang dan tidak emosi. Walaupun cara menahan makan ini merupakan suatu cara yang sederhana, tetapi cara ini ada kaitannya dengan kesabaran.

Kemudian sila yang ketujuh adalah melatih diri untuk tidak menggunakan wangi-wangian, tidak menggunakan perhiasan, tidak bersenang-senang, tidak bermewah-mewah. Demikian pula halnya dengan sila yang ke delapan yaitu mengurangi duduk dan berbaring di tempat yang mewah. Bagaimanakah hubungan sila ke tujuh dan sila ke delapan ini dengan melatih kesabaran? Kadang-kadang kita ingin menunjukkan 1 hal yang lebih kepada orang lain. Misalnya dengan memakai wangi-wangian. Tetapi kalau kita berusaha mengurangi ke-aku-an, yaitu dengan memakainya pada waktu-waktu tertentu saja, maka hal tersebut sesungguhnya merupakan suatu cara untuk melatih kesabaran. Meskipun demikian, hal tersebut tidak berarti bahwa kita sebagai umat Buddha tidak boleh menggunakan wangi-wangian/perhiasan, tidak boleh bersenang-senang/bermewah-mewahan. Di sini kita perlu menyadari bahwa tidak setiap keinginan yang muncul harus dilaksanakan. Kadang-kadang ada keinginan yang harus kita tunda pelaksanaannya. Inilah yang disebut dengan melatih kesabaran.


Inilah cara-cara untuk melatih kesabaran, cara untuk melaksanakan ajaran Sang Buddha. Dengan menjalankan "sila"atau latihan kemoralan, yaitu 5 sila setiap hari dan 8 sila pada hari-hari tertentu misalnya pada hari uposatha setiap tanggal 1 dan 15 menurut penanggalan bulan/imlek, berarti Saudara berusaha untuk melatih kesabaran, mengurangi ke-aku-an, ketamakan, kebencian dan kegelapan batin.

Oleh karena itu, jadilah umat Buddha yang melaksanakan ajaran Sang Buddha. Bukan hanya menjadikan ajaran Sang Buddha sebagai pengetahuan umum, tetapi menjadikan ajaran Sang Buddha sebagai jalan hidup.


Sehingga akhirnya seperti sabda Sang Buddha: "Dhamma Care Sukham Seti", mereka yang melaksanakan Dhamma, merekalah yang akan memperoleh kebahagiaan. Dengan melaksanakan 5 sila setiap hari dan 8 sila pada hari-hari tertentu maka Saudara akan memperoleh kebahagiaan.

[Dikutip dari Website Samaggi-phala. WWW.Samaggi-Phala.or.id .]

Manfaat Pelimpahan Jasa



Manfaat Pelimpahan Jasa
Oleh: Yang Mulia Bhikkhu Uttamo Thera


Di dalam tradisi kita sebagai umat Buddha, memperingati upacara kematian atau memperingati saat-saat kematian orang yang kita sayangi, saat-saat wafat orang yang kita cintai sesungguhnya telah dimulai sejak jaman Sang Buddha. Tentu saja bukan hanya dengan mengirim makanan, mengirim pakaian kepada orang tua atau almarhum. Ada beberapa hal yang memang diajarkan oleh Sang Buddha dalam upacara peringatan kematian seperti hari ini. Ada dua cerita yang berkembang dalam masyarakat Buddhis. Cerita yang pertama telah sering kita dengar yaitu cerita seorang murid Sang Buddha yang paling sakti, yang paling hebat, bernama Bhante Moggalana. Dalam bahasa Mandarin, cerita ini dikenal sebagai Mu Lien Ciu Mu (Y.M. Moggalana menolong ibunya). Cerita inilah yang paling dikenal masyarakat luas. Padahal cerita itu tidak terdapat dalam Tripitaka. Menurut cerita ini, pada waktu sedang bermeditasi, Bhante Moggalana mempergunakan kemampuan batinnya untuk melihat alam-alam lain selain alam manusia. Memang bagi kita yang sudah biasa melatih meditasi, sebetulnya melihat alam lain bukanlah sesuatu hal yang luar biasa. Melihat alam surga, melihat alam neraka bukanlah sesuatu yang sulit. Surga 26 tingkat pun bisa dilihat satu demi satu. Tidak ada masalah. Pada waktu itu Bhante Moggalana melihat surga, tempat para dewa dan dewi yang lebih dikenal orang dengan istilah 'malaikat'. Selain itu, beliau juga melihat ke alam-alam menderita, alam setan, setan raksasa yang kita sebut Asura, setan kelaparan atau alam peta dan juga alam neraka. Bhante Moggalana dengan prihatin melihat alam-alam menderita yang sangat menyedihkan ini. Di salah satu alam setan kelaparan, Bhante Moggalana melihat ibunya terlahir di situ. Di sana, terlihat ibunya dalam keadaan kurus kering dan telanjang bulat. Bhante Moggalana merasa sangat kasihan sekali kepada ibunya. Beliau berusaha menolong ibunya. Beliau mencoba memberikan makanan dan minuman kepada ibunya. Namun, segala pemberian beliau bukannya menolong ibunya; pemberiannya justru menambah penderitaan ibunya. Karena kebingungan atas kegagalannya menolong sang ibu, Bhante Moggalana menghadap Sang Buddha. Bhante Moggalana bertanya kepada Sang Buddha tentang sebab musabab kegagalan usaha pertolongannya kepada ibunya. Sang Buddha menjelaskan bahwa bila akan menolong makhluk di alam menderita hendaknya orang melakukannya dengan cara pelimpahan jasa. Pelimpahan jasa adalah melakukan suatu perbuatan baik atas nama orang yang telah meninggal yang akan ditolong. 


Oleh karena itu, Bhante Moggalana kemudian disarankan oleh Sang Buddha untuk memberikan persembahan jubah dan makanan kepada pada bhikkhu Sangha atas nama ibunya. Nasehat Sang Buddha ini diikuti oleh Bhante Moggalana. Beberapa waktu kemudian Bhante Moggalana mengundang para bhikkhu, mempersembahkan dana makan, mempersembahkan jubah, kemudian melakukan pelimpahan jasa atas nama ibunya. Setelah melaksanakan upacara pelimpahan jasa, Bhante Moggalana bermeditasi lagi. Dengan mata batinnya beliau mencari ibunya di alam peta. Ketika bertemu, keadaan ibunya jauh berbeda. Ibunya kini kelihatan segar, sehat, awet muda, pakaiannya bagus, rapi dan bersih. Melihat hal itu, Bhante Moggalana berbahagia. Berdasarkan cerita itulah orang mengenal upacara pelimpahan jasa. Upacara pelimpahan jasa iini juga sering dihubungkan dengan tradisi mendoakan para makhluk menderita yang dilaksanakan setiap tanggal 15 di bulan 7 menurut penanggalan Imlek. Itulah cerita tradisi.


Bila cerita di atas adalah merupakan cerita yang berkembang dalam tradisi masyarakat tertentu, maka ada cerita lain yang memang terdapat dalam kitab suci Tri Pitaka. Kitab Suci Tri Pitaka memberikan cerita dengan versi lain tentang upacara pelimpahan jasa. Cerita ini berhubungan dengan raja Bimbisara. Raja Bimbisara suatu ketika mengundang Sang Buddha dan seluruh bhikkhu ke istana. Raja dalam kesempatan itu mempersembahkan dana makan serta jubah. Setelah berdana, raja merasakan kebahagiaan. Para bhikkhu pun lalu pulang ke vihara bersama dengan Sang Buddha. Raja Bimbisara sangat berbahagia pada hati itu, karena dia punya kesempatan mengundang Sang Buddha ke istana. Akan tetapi pada malam harinya raja memperoleh banyak gangguan dari para makhluk tak tampak. Ia banyak mendengar jeritan dan tangisan dari makhluk tak tampak. Raja akhirnya tidak dapat tidur semalaman. Pada pagi keesokan harinya raja Bimbisara segera pergi ke vihara, bertemu dengan Sang Buddha. Sang raja bertanya kepada Sang Buddha tentang gangguan yang dialaminya, padahal ia baru saja melakukan perbuatan baik. 

Sang Buddha menerangkan bahwa para makhluk yang mengganggu itu sebenarnya adalah sanak keluarga raja sendiri dari banyak kehidupan yang lalu. Namun, karena mereka telah melakukan kesalahan, mereka kemudian terlahir di alam menderita, alam setan kelaparan. Oleh karena itu, Sang Buddha kemudian menyarankan kepada raja agar ia sekali lagi mengundang para bhikkhu ke istana. Bila para bhikkhu telah sampai di istana, raja hendaknya mempersembahkan dana makanan dan jubah atas nama para makhluk menderita yang pernah menjadi saudaranya itu. Keesokan harinya, raja Bimbisara mengundang para bhikkhu dan Sang Buddha untuk menerima persembahan dana makan dan jubah. Kemudian jasa kebaikannya dilimpahkan kepada mereka. Para makhluk menderita itu merasakan pula kebahagiaan yang luar biasa. Kebahagiaan inilah yang menyebabkan mereka mati dari alam menderita dan terlahir kembali di alam bahagia.


Dalam kesempatan itulah Sang Buddha membabarkan Tirokuddha Sutta. Sang Buddha bersabda bahwa di dinding-dinding, di gerbang-gerbang, di persimpangan-persimpangan jalan banyak keluarga kita yang terlahir di alam menderita menunggu kebaikan hati kita. Mereka menanti pelimpahan jasa kita dengan penuh kesedihan. Ketika sanak keluarganya berpesta pora dan menikmati kebahagiaan, tidak ada satu pun di antara mereka yang diingat. Padahal di sana tidak ada perdagangan, tidak ada warung dan restoran. Lalu bagaimana caranya kita menolong mereka? Kita bisa menolong mereka dengan melakukan kebaikan, dan melimpahkan jasanya kepada mereka.


Dalam masyarakat, pelimpahan jasa kadang-kadang dihubungkan dengan tradisi melakukan upacara tertentu pada bulan tujuh menurut penanggalan Imlek. Padahal menurut agama Buddha sebetulnya pelimpahan jasa tidak harus menunggu bulan tujuh. Sebab, belum tentu pada bulan tujuh nanti kita masih tetap hidup! Kalau kita juga ikut meninggal, justru malahan kitalah yang menerima pelimpahan jasa! Sebetulnya pelimpahan jasa bisa dilaksanakan setiap saat, bahkan setiap malam pun kita bisa merenung. 'Semoga dengan semua kebaikan yang telah saya lakukan sampai malam hari ini, almarhum papa dan mama memperoleh kebahagiaan sesuai dengan kondisi karmanya saat ini.' Kenapa dipilih 'bulan tujuh', ini tentu ada sebabnya. Dasar pemilihan ini dari kebiasaan Tiongkok. Bulan tujuh adalah bulan pergantian musim. Kita pun dapat melihat di Indonesia kalau pada Bulan Tujuh udara sangatlah dingin, bulan menggigil! Oleh karena itu, dalam bulan ini cukup banyak orang yang sakit. Karena banyaknya orang sakit maka para orang tua jaman dahulu menganggapnya sebagai banyaknya gangguan setan. Setan yang mengganggu berasal dari neraka yang, katanya, sedang 'dibuka'. Oleh sebab itu, para leluhur kita dahulu kemudian melakukan upacara tertentu agar tidak memperoleh bencana karena gangguan para setan tadi. Itulah, secara singkat, awal munculnya tradisi upacara di bulan tujuh tanggal lima belas. Secara Agama Buddha, sekali lagi, pelimpahan jasa dapat dilakukan setiap saat, tanpa harus menunggu bulan-bulan tertentu.


Apakah pelimpahan jasa itu masih bermanfaat bila dilakukan di jaman sekarang ini? Masih! Ada kisah nyata. Ada seorang samanera yang ibunya meninggal dunia. Karena dia Buddhis, dia mengerti bagaimana caranya berbuat baik. Dia mengundang seorang bhikkhu dengan satu samanera yang lain lagi untuk membacakan Paritta. Setelah selesai dia mempersembahkan dana. Di sini ada baiknya disebutkan jumlahnya karena jumlahnya ini berhubungan dengan cerita ini. Mereka masing-masing mendapatkan selembar amplop yang berisi Rp. 5000,00. Beberapa hari kemudian samanera yang mengadakan pelimpahan jasa itu menceritakan bahwa ibunya telah mendatanginya lewat mimpi. Dalam mimpi, ibunya mengatakan kini ia telah mempunyai uang. Ibunya, dalam mimpi, menunjukkan uang dua lembar @ Rp. 5000,00!


Ada cerita yang lain lagi. Ada seorang ibu yang sudah lama menjadi janda. Suatu malam suaminya datang dalam mimpi dan meminta selembar baju. Setelah bangun, sang istri kemudian pergi ke pasar untuk membeli kain yang seukuran suaminya, juga yang warna dan motifnya yang disenangi suaminya. Si istri kemudian meletakkan semuanya itu di meja penghormatan yang ada foto almarhum di atasnya. Dia kemudian membaca Paritta. Selesai ber-Paritta dia mengatakan: 'Niat saya hari ini mau berdana, atas nama suami saya, semoga dengan kekuatan kebaikan ini suami saya memperoleh kebahagiaan sesuai dengan kondisi karmanya saat ini.' Sesudah selesai, kainnya ini tidak dibakar, tetapi didanakan kepada salah seorang pengurus Vihara atas nama almarhum suaminya. Seminggu kemudian ibu ini mimpi lagi suaminya datang. Suaminya puas dengan pemberian bajunya, hanya saja ia mengeluh kalau ukuran bajunya tidak sesuai, kekecilan. Ibu ini terbangun, kemudian merenungkan arti mimpinya. Dia teringat bahwa ketika membeli kain ukurannya sama dengan ukuran suaminya, padahal orang yang menerima dana badannya lebih besar daripada suaminya. Pantas kekecilan! Keesokan harinya, istri yang setia ini pergi ke pasar lagi untuk membeli kain kekurangannya, dan dia berikan kepada penjaga vihara itu. Penjaga vihara itu justru heran atas pengertian si ibu. Ia baru saja akan menghubungi si ibu karena kainnya memang kurang ukurannya.


Dari cerita ini jelas kelihatan bahwa sebetulnya pelimpahan jasa secara Buddhis itu dapat diterima oleh para makhluk yang kita kirimi. Hanya saja, syaratnya makhluk itu harus terlahir di alam Paradatupajivika Peta. Kalau dia tidak terlahir di alam itu, kalau dia terlahir di salah satu dari 26 alam surga, atau terlahir di alam neraka, maka makhluk ini tidak bisa menerima pelimpahan jasa kita. Kalau demikian, apakah manfaat bagi kita membacakan Paritta untuk makhluk yang tidak terlahir di alam peta tersebut? Apabila orang yang meninggal itu tidak terlahir di alam Peta tersebut, minimal selama kita membacakan Paritta seperti hari ini, selama itu pula pikiran, ucapan serta perbuatan kita dipupuk untuk sesuatu yang baik, mendoakan agar almarhum berbahagia. Kenal atau pun tidak kenal kepadanya kita tetap mendoakan semoga almarhum berbahagia. Maka selama setengah jam itu, pikiran, ucapan dan perbuatan kita telah melaksanakan kebaikan. Bayangkan kalau pagi setengah jam, malam setengah jam lagi, berarti hari ini kita punya satu jam yang berisi pikiran, ucapan, dan perbuatan kita baik. Kalau tiap pagi dan malam kita bisa membaca Paritta setengah jam, maka dalam satu bulan kita dapat mengumpulkan sekitar 30 jam untuk berpikir dan berbuat yang baik. Luar biasa, begitu besar kesempatan melakukan perbuatan baik. Hanya dengan membaca Paritta saja! Cobalah bila kita duduk selama satu jam. Pikiran dengan mudah mengembara kemana-mana. Kadang timbul pikiran baik, tetapi tidak jarang muncul pikiran jahat. Tetapi dengan diisi kegiatan membaca Paritta, maka pikiran, ucapan serta perbuatan kita otomatis terisi pula dengan kebaikan. Satu jam setiap hari, 30 jam satu bulannya kita berkesempatan mengembangkan kebaikan hanya dengan membaca Paritta. Oleh karena itu, seringlah membaca Paritta, apalagi pada upacara-upacara semacam ini. Bagus. Dalam upacara ini, selain kita telah melaksanakan kebaikan dengan membaca Paritta, kita juga dapat melimpahkan jasa kebaikan itu kepada almarhum. Bukankah kita dengan mambaca Paritta berarti tealh berbuat baik? Datang dari tempat yang jauh khusus untuk membacakan Paritta. Kita pun juga bisa melimpahkan jasa itu kepada sanak-keluarga kita sendiri yang sudah meninggal. Sanak keluarga kita yang terdiri dari kakek-nenek, orang tua maupun para leluhur dan kerabat kita lainnya. Mereka juga perlu kita berikan pelimpahan jasa agar mereka berbahagia. Jadi, pelimpahan jasa dapat dilaksanakan oleh siapa pun dan kapan pun juga. Karena pelimpahan jasa ini akan membawa manfaat baik bagi yang meninggal maupun kita yang hidup.

[Dikutip dari Website Samaggi-Phala, WWW.Samaggi-phala.or.id  ]

Minggu, 21 November 2010

Manfaat Menjadi Bhikkhu



Manfaat Menjadi Bhikkhu
Oleh Edi Kurniawan


Tiap orang memiliki pandangan-pandangan berbeda tentang seorang bhikku. Jika ditinjau dari umur, pendapat remaja lain dengan pendapat orang dewasa. Remaja berpendapat bahwa menjadi bhikku berarti mencukur rambut mengenakan jubah, melaksanakan sila-sila, dan mengendalikan hawa nafsu. Ini tak sesuai dengan jiwa meraka. Jiwa yang penuh dengan gejolak nafsu. Sangat sulit bagi mereka yang mengendalikan nafsu keinginan. Bagi mereka, masa remaja harus diisi dengan kesenangan-kesenangan dan pergaulan. Menjadi bhikku adalah urusan di hari tua nanti.

Orang dewasa memiliki pandangan lain lagi. Mereka mungkin menyatakan, menjadi bhikku berarti berusaha menghindari kenyataan-kenyataan hidup. Menurut mereka, hidup adalah suatu tantangan yang harus mereka hadapi.

Cara seseorang memandang keadaan bhikku juga di pengaruhi oleh tingkat kesadaran yang dimilikinya. Pada umumnya, makin bertambah umur seseorang makin bertambah pula kesadarannya. Sehingga lama kelamaan ia dapat mengetahui hakekat untuk apa sebenar nya menjadi bhikku. Dalam kitab suci Dhammapada, Vagga II (Appamada Vagga = Kewaspadaan), ayat 21, sang Buddha menyatakan :

“Kesadaran adalah jalan menuju kehidupan, ketidaksadaran adalah jalan menuju kematian. Orang yang sadar tidak akan mati, yang tidak sadar seolah-olah telah masuk kubur.” Dalam menjalani proses kehidupan, seseorang memperoleh pengalaman-pengalaman hidup. Apabila ia tak dapat mengambil kesimpulan-kesimpulan atas pengalaman-pengalaman yang dialami nya, ornag tersebut berada dalam keadaan”tak sadar”. Ia seakan-akan buta terhadap keadaan di sekelilingnya. Perasaannya tidak peka. Hal sebalik nya dialami oleh orang yang proses kesadarannya bertambah. Ia selalu mengamati perasaan-perasaan yang timbul. Berpikir tentang segala kejadian yang pernah di alaminya. Lalu ia merasa tidak puas atas apa yang pernah di peroleh nya. Ia bertanya,”inikah yang dikatakan hidup?”. Bila seseorang memiliki jalan pikiran seperti ini, ia dikatakan “ menuju kesadaran “.

Bila seseorang ingin menjadi bhikku, tentu ia dilandasi oleh dorongan-dorongan. Dari sekian banyak motivasi-motivasi, secara umum dapat dikelompokkan atas 3 bagian, yaitu :
  1. Dorongan (motivasi) yang berasal dari keinginan- keinginan rendah misalnya : karena ingin mendapat makanan secara gratis, karena ingin disanjung-sanjung, ataupun ingin dilihat sebagai seseorang yang taat beragama.
  2. Dorongan yang berasal dari sifat-sifat luhur terdiri dari :
    • Metta, cinta kasih yang menyeluruh, bebas dari sifat mementingkan diri sendiri. Bila seseornag memiliki sifat Metta, ia akan melihat bahwa menjadi bhikku memberikan peluang besar bagi dirinya untuk menyebarkan sifat metta kepada semua makhluk.
    • Karuna, belas kasihan melihat penderitaan makhluk hidup, sehingga ia ingin membebaskan mereka dari penderitaan. Perasaan ingin menolong makhluk hidup menyebabkan seseorang mencari cara untuk itu. Dan cara yang terbaik adalah menjadi bhikku.
    • Mudita, perasaan bahagia melihat orang lain berbahagia, sehingga timbul rasa simpati yang bebas dan iri hati.
    • Upekkha, suatu kejadian bathin yang seimbang dan tidak tergoncangkan. Dengan sikap ini, seseorang tidak akan ragu-ragu lagi untuk menjadi bhikku. Ia tidak mudah tergoda nafsu-nafsu duniawi.
  3. Dorongan-dorongan selain hal-hal diatas, misalnya: rasa ingin tahu, terdesak oleh keadaan, dan lain-lain.
Selanjutnya, akan kita tinjau apasebenarnya manfaat-manfaat yagn dapat diperoleh kalau seseorang bersungguh-sungguh menjalankan tugas sebagau seorang Bhikkhu. Sang Buddha telah menguraikan hal ini da;am “Samana Phala Sutta”.

Menurut Sang Buddha, faedah-faedah menjadi Bhikkhu antara lain:
  1. Setelah menjadi Bhikkhu, ia hidup mengejedalikan diri sesuai dengan Patimokkha (peraturan-peraturan Bhikkhu), sempurna kelakuan dan latihannya, dapat melihat bahayadalam kesalahan-kesalahan yagn paling kecil sekalipun. Ia menyesuailkan dan melatih dirinya dalamperaturan-peraturan. Menyempurnakan perbuatan-perbuatan dan ucapannya. Suci dalam cara hidupnya, sempruna silanya, terjaga pintu-pintu inderanya. Ia memiliki perhatian murni dan pengertian jelas dan hidup puas.
  2. Tugas utama seorang Bhikkhu adalah menyingkirkan lima rintangan (Panca Nivarana) dari dirinya. Lima rintangan tersebut adalah:
    • Kerinduan terhadap dunia (Kamachanda-Nivarana)
    • Itikad- itikad jahat (Vyapada-Nivarana)
    • Kemalasan dan kelambanan (Thinamiddha-Nivarana)
    • Kegelisahan dan kekhawatiran (Uddhacca-Kukkucca- Nivarana)
    • Keragu-raguan (Vicikiccha-Nivarana)
    Bila ia menyadari bahwa lima rintangan ini telah disingkirkan dari dalam dirinya, maka timbulla kegembiraan, karena gembira maka timbullah kegiuran (piti), karena bathin tergiur, maka seluruh tubuhnya terasa nyaman. Kemudian ia akan merasa bahagia, karena bahagia maka pikirannya terpusat. Lalu setelah terpisah dari nafsu-nafsu, jauh dari kecenderungan-kecenderungan tidak baik, maka ia masuk dan berdiam dalam jhana pertama, suatu keadaan bathin yang tergiur dan bahagia (piti-sukha), yang timbul dari kebebasan, yang masih disertai Vitakka (pengarah pikiran pada obyek) dan Vicara (mempertahankan pikiran pada obyek). Seluruh tubuhnya dipenuhi, digenangi, dan diresapi serta diliputi dengan perasaan tergiur dan bahagia, yang timbul dari ‘kebebasan’. Semua bagian tubuhnya diliputi oleh perasaan tergiur dan bahagia.
  3. Seorang Bhikkhu yang telah membebaskan diri dari Vitakka dan Vicara, memasuki dan berdiam dalam jhana kedua, yaitu keadaan bathin yang tergiur dan bahagia, yang timbul dari ketenangan konsentrasi, tanpa disertai dengan Vitakka dan Vicara, keadaan batin yang memusat. Semua bagian dari tibuhnya diluputi oleh perasaan tergiur dan bahagia yang timbul dari ‘konsetrasi’.
  4. Seorang Bhikkhu yang telah membebaskan dirinya dari perasaan tergiur, berdiam dalam keadaan yang seimbang dan disertai dengan perhatian murni dan pengertian murni dan pengertian jelas. Tubuhnya diliputi dengan perasaan bahagia, yang dikatakan oleh para ariya sebagai ‘kebahagiaan yang dimiliki oleh mereka yang bathinmua seimbang dan penuh perhatian murni’, ia memasuki dan berdiam dalam jhana ketiga. Seluruh tubuhnya dipenuhi, digenangi, diresapi serta diliputi dengan perasaaan bahagia yang tanpa disertai perasaan tergiur.
  5. Dengan menyingkirkan perasaan bahagia dan tidak bahagia, dengan menghilangkan perasaan-perasaan senang dan tidak senang yang telah dirasakan sebelumnya, bhikkhu itu memasuki dan berdiam dalam jhana keempat, yaitu suatu keadaan yang benar-benar seimbang, yang memiliki perhatian murni (sati parisuddhi). Bebas dari perasaan bahagia dan tidak bahagia. Demikian ia duduk disana, meluuyti seluruh tubuhnya dengan perasaan bathin yang bersih dan jernih.
  6. Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya ke pandangan terang yang timbul dari pengetahuan (nana-dassana). Maka ia mengerti: ‘Tubuhku ini mempunyai bentuk terdiri aas 4 unsur pokok (unsur padat, cair, api dan angin), berasal dari ayah dan ibu, timbul dan berkembang karena perawatan yang terus-menerus, bersifat tidak kekal, dapat mengalami kerusakan, kelapukan, kehancuran dan kematian. Begitu pula dengan kesadaran (vinnana) yang terikat dengannya.
  7. Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada penciptaan ‘tubuh-ciptaan-bathin (mano-maya-kaya), yang memiliki bentuk, memiliki anggota-anggota dan bagian-bagian tubuh lengkap, tanpa kekurangan sesuatu organ apapun.
  8. Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada bentuk-bentuk iddhi (perbuatan-perbuatan gaib)
  9. Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan,, ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada kemampuan-kemampuan dibbasoa (telinga dewa). Dengan kemampuan-kemampuan dibbasota yang jernih, yang melebihi telinga manusia, ia mendengarkan suara manusia dan dewa, yang jauh atau yang dekat.
  10. Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan,, ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada ceto-pariyanana (pengetahuan untuk membaca pikiran orang lain). Dengan menembus pikirannya sendiri, ia mengetahui pikiran-pikiran makhluk lain.
  11. Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang ubenivasanusati (ingatan terhadap kelahiran-kelahiran lampau). Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia memperginakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang timbul dan lenyapnya makhluk-makhluk (cutupapata-nana), dan dengan kemampuan dibbacakkhu (mata dewa) yang jernih, melebihi mata manusia, ia melihat bagaimana setelah makhluk-makhluk berbalu dari satu perwujudan, muncul dalam perwujudan lain; rendah, mulia, indah, jelek, bahagia dan menderita. Ia melihat bagaimana makhluk-makhluk itu muncul sesuai dengan perbuatan-perbuatannya.
  12. Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan,, ia menpergunakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang penghancuran noda-noda bathin (asava)…… ia mengetahui sebagaimana adanya “Inilah jalan yang menuju pada lenyapnya asava”.Dengan mengetahui, melihat demikian, maka pikirannya terbebaskan dari noda-noda nafsu (kamasava), noda-noda pewujudan (bhavasava), noda-noda ketidaktahuan 9avijjasava). Dengan terbebas demikian, maka timbullah pengetahuan tentang kebebasannya. Dan ia mengetahui; ‘Berakhirlah kelahiran kembali, terjalani kehidupan suci, selesailah apa yang harus dikerjakan, tiada lagi kehidupan sesudah ini.’
Faedah-faedah yang telah diterangkan diatas adalah faedah-faedah yang dapat diperoleh bhikkhu itu sendiri. Menjadi bhikkhu juga memberi manfaat kepada orang lain, misalnya:

Menjadi ladang bagi orang-orang yang hendak menanamkan karma baik. Bhikkhu adalah tempat berdana, yang akan menghasilak buah kekayaan/kemakmuran dalam satu kehidupan kepada orang itu. Bhikkhu juga sering berkhotbah tentang Dharma (Dharmadesana) dengan sungguh-sungguh akan mendapat pahala dengan bertambhanya kebijaksanaan. Ada pula orang-orang yang memiliki persoalan-persoalan hidup. Lalu ia menanyakan cara penyelesaiannya kepada seorang Bhikkhu. Berdasarkan sifat karuna, bhikkhu tersebut tentu akan berusaha untuk mencari jalan keluarnya.

Demikian dapatlah diambil kesimpulan bahwa manfaat menjadi Bhikkhu ini banyak sekali. Baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.

( Dikutip dari Majalah Buddhis Indonesia Edisi 62 )