Minggu, 31 Oktober 2010

Tuhan dalam Agama Buddha


Tuhan dalam Agama Buddha

Oleh Bhikkhu Kemanando
                
Perlu ditekankan bahwa Buddha bukan Tuhan. Konsep ketuhanan dalam agama Buddha berbeda dengan konsep dalam agama Samawi dimana alam semesta diciptakan oleh Tuhan dan tujuan akhir dari hidup manusia adalah kembali ke sorga ciptaan Tuhan yang kekal.
"Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila Tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu."

Ungkapan di atas adalah pernyataan dari Sang Buddha yang terdapat dalam Sutta Pitaka, Udana VIII : 3, yang merupakan konsep Ketuhanan Yang Mahaesa dalam agama Buddha. Ketuhanan Yang Mahaesa dalam bahasa Pali adalah Atthi Ajatam Abhutam Akatam Asamkhatam yang artinya “Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan dan Yang Mutlak”. Dalam hal ini, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah suatu yang tanpa aku (anatta), yang tidak dapat dipersonifikasikan dan yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apa pun. Tetapi dengan adanya Yang Mutlak, yang tidak berkondisi (asankhata) maka manusia yang berkondisi (sankhata) dapat mencapai kebebasan dari lingkaran kehidupan (samsara) dengan cara bermeditasi.
Dengan membaca konsep Ketuhanan Yang Mahaesa ini, kita dapat melihat bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah berlainan dengan konsep Ketuhanan yang diyakini oleh agama-agama lain. Perbedaan konsep tentang Ketuhanan ini perlu ditekankan di sini, sebab masih banyak umat Buddha yang mencampur-adukkan konsep Ketuhanan menurut agama Buddha dengan konsep Ketuhanan menurut agama-agama lain sehingga banyak umat Buddha yang menganggap bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah sama dengan konsep Ketuhanan dalam agama-agama lain.
Bila kita mempelajari ajaran agama Buddha seperti yang terdapat dalam kitab suci Tipitaka, maka bukan hanya konsep Ketuhanan yang berbeda dengan konsep Ketuhanan dalam agama lain, tetapi banyak konsep lain yang tidak sama pula. Konsep-konsep agama Buddha yang berlainan dengan konsep-konsep dari agama lain antara lain adalah konsep-konsep tentang alam semesta, terbentuknya Bumi dan manusia, kehidupan manusia di alam semesta, kiamat dan Keselamatan atau Kebebasan.
Di dalam agama Buddha tujuan akhir hidup manusia adalah mencapai kebuddhaan (anuttara samyak sambodhi) atau pencerahan sejati dimana batin manusia tidak perlu lagi mengalami proses tumimbal lahir. Untuk mencapai itu pertolongan dan bantuan pihak lain tidak ada pengaruhnya. Tidak ada dewa – dewi yang dapat membantu, hanya dengan usaha sendirilah kebuddhaan dapat dicapai. Buddha hanya merupakan contoh, juru pandu, dan guru bagi makhluk yang perlu melalui jalan mereka sendiri, mencapai pencerahan rohani, dan melihat kebenaran & realitas sebenar-benarnya.

Jumat, 29 Oktober 2010

Cerpen Buddhis: Keiko


 Keiko
Oleh Deliana Yin


Mama, aku pulang,” dengan sedikit teriak kegirangan, kugeser grendel pintu pagar besi rumahku .
“Mama… “ panggilku lagi saat memasuki ruang tamu.

“Iya. Ada apa, sayang?” Aahh, akhirnya terdengar juga suara yang paling merdu dan lembut sedunia. Sesosok wanita, yang sudah terlihat sedikit tua termakan usia separuh bayanya namun tetap anggun tersebut, keluar dari balik kain tirai pemisah ruang tamu dengan ruang dapur, ruang favoritnya.

“Mama, aku diterima jadi reporter di TV STAR.” Sambil memeluknya, aku mengabarkan kabar gembira tersebut dengan tak sabar.

“Selamat ya, anakku. Akhirnya cita-citamu sejak kecil bisa tercapai juga.” Ucap Mama sambil membelai lembut rambutku.

“Ma, ntar malam kita makan di restoran ya buat merayakannya. Nanti aku telepon Papa buat ngabarin.”
“Tidak perlu, sayang. Kita makan di rumah saja, ya?”

“Kenapa, Ma? Nanti aku yang traktir, lho?” tanyaku keheranan.

Mama tersenyum mendengar jawabanku. “Bukan soal duitnya. Tapi buat apa kita bermewah-mewahan makan di restoran, sementara uang itu bisa dipakai untuk tujuan yang lebih baik.”
“Misalnya?” desakku.

“Ya..seperti berdana kepada panti asuhan atau kepada para korban bencana banjir kemarin itu, ingat kan, yang beritanya ada di televisi?”

“Oke, Ma. Mama emang yang paling hebat. Nanti aku bantuin deh. Sekarang aku mandi dulu ya, Ma” kupeluk lagi idola kesayanganku itu sambil mengecup pipinya yang sudah mulai sedikit keriput itu. Ucapan Mama selalu penuh dengan kata-kata nasihat yang menuntunku ke jalan kebenaran.


Oya, perkenalkan namaku Keiko. Aku baru saja lulus dari bangku kuliah. Kata Mama, terkadang aku masih suka bersikap sedikit manja di usiaku yang ke 23 ini. Maklum, namanya juga anak emas, anak semata wayang alias tunggal, hehe. Mama, seorang ibu rumah tangga biasa yang selalu sabar penuh dengan cinta merawat dan mengurus kami. Setiap hari Minggu, Mama beserta beberapa ibu-ibu lainnya selalu setia di belakang dapur wihara menyiapkan masakan untuk para umat yang datang ikut kebaktian dan juga untuk beberapa teman-teman yang kurang mampu. Sedangkan Papa, seorang karyawan swasta dengan penghasilan yang tidak tergolong besar. Namun berkat kesadaran untuk tetap hidup sederhana, kami bisa dikategorikan keluarga yang cukup makmur karena kami selalu mensyukuri setiap rezeki yang kami terima. Dan kami bahagia karenanya.

>>>

“Keiko…”

“Iya, Bu. Ada apa?”

“Bulan depan ada kegiatan sosial besar yang diadakan oleh Yayasan Bunda Metta. Donor darah massal. Ibu mau kamu yang meliputnya. Ibu juga jadi salah satu pendonor lho.” Kata Ibu May, atasanku. Beliau orang yang tegas. Bu May sering mengutusku untuk meliput berita yang bersifat sosial dan aku selalu senang menerima tugas itu. Ada suatu kebahagiaan tersendiri bagiku dapat menyebarkan berita kebajikan.

“Sepertinya kali ini kamu juga harus ikut jadi pendonor, Kei.”

“Tapi, Bu..” belum selesai aku bicara, Ibu May sudah memotong. “Kamu sendiri sudah tahu manfaat dari berdonor darah, kan?”

“Iya, emang sih Bu.”

“ Selain dapat membantu orang lain yang membutuhkan, juga baik untuk tubuh kita karena nantinya tubuh secara otomatis akan memproduksi sel-sel darah baru untuk menggantikan darah yang sudah kita donorkan.” Lanjut Bu May tanpa memberiku kesempatan membela diri.

“ Tenang saja. Nanti pada saatnya giliranmu, Ibu akan menemani di sampingmu deh.”

Banyak orang bilang Bu May itu cerewet tapi menurutku beliau orang yang baik hatinya. Senang menolong sesama yang sedang kesusahan.

Sebenarnya aku paling takut dengan jarum suntik, gak tau kenapa. Sejak kecil, kalau sakit aku selalu tidak pernah mau disuntik. Bagaimanapun cara Mama dan Papa membujuk, aku selalu punya cara sendiri untuk menolaknya sehingga tidak disuntik.

“Iya, Bu. Mungkin ini saatnya kesempatan bagiku berbuat bajik lewat donor darah ya.” Sahutku.

>>>

Hari Minggu yang cerah, tidak terlalu terik, pikirku. Cuaca yang sangat mendukung untuk berkegiatan di luar ruangan. Hari H telah tiba. Dengan mantap kulangkahkan kakiku turun dari mobil.

“Rame ya, Pak Wil. Biarpun acaranya baru akan mulai setengah jam lagi tapi sudah banyak orang yang datang.” Kataku kepada Pak William, yang sudah setia menjadi kameraman ku selama 5 tahun sejak aku bergabung dengan stasiun tv ini.

“Iya, Cil” sahut Pak Wil. Beliau punya panggilan tersendiri buatku, si Kecil. Itu karena ukuran tubuhku yang memang sedikit lebih kecil daripada teman-teman rekan kerja wanita yg lainnya. Itu sebabnya kenapa dulu aku kegirangan banget sewaktu diterima jadi reporter karena sebenarnya ukuranku masih di bawah standard. Beruntung banget ya aku haha…

“Masuk yuk, Pak!” diiringi Pak Wil dan beberapa kru lainnya kami memasuki lapangan tempat kegiatan donor darah massal berlangsung. Rupanya Ibu May juga sudah datang beserta dengan keluarganya.
Sebelum acara dimulai, aku sudah terlebih dahulu mewawancarai beberapa orang panitia dan para pendonor juga tentunya. Saat tengah meliput kegiatan yang sedang berlangsung, terdengar suara Bu May memanggilku dari belakang. “Keiko, sudah giliranmu tuh.” Aku berpaling, tiba-tiba kurasakan pandangan mataku menjadi kabur. Kepalaku terasa sangat sakit dan dalam sekejap semuanya menjadi gelap.

>>>

Kubuka mataku, terasa berat. Aku sedang terbaring di sebuah ruangan yang serba putih. Sepi.
“Halo, cie-cie. ” Ternyata di sebelahku berbaring seorang anak gadis, wajahnya pucat pasi, kepalanya botak, matanya sendu namun senyumannya cukup manis. Kelihatannya dia baru berumur sekitar 14 tahun. Dengan kepala yang terasa masih sangat berat, aku mencoba membalas senyumannya, “Halo juga”. Aku sadar, aku sedang berada di rumah sakit.

Tak berapa lama, Mama muncul. “Sayang, kamu sudah sadar ya.”
“Aku kenapa, Ma?” tanyaku dengan suara yang lemah.
“Kamu pingsan di acara donor darah kemarin.”

Iya, aku ingat. “Ternyata aku parah banget ya, Ma. Saking takutnya mau mendonorkan darah, aku malah pingsan jadinya.” Aku mencoba untuk tertawa namun sangat berat rasanya. Kepalaku terasa seperti dipukul dengan palu, sakit.
“Dokter sudah mengambil sampel darahmu dan sekarang sedang diperiksa. Sepertinya ada sesuatu di kepalamu. Hasilnya baru akan diketahui besok.” Mata Mama kelihatan sedikit sembab, pasti habis menangis karena mengkhawatirkan aku.

>>>

Sore ini, Papa dan Mama menemaniku. Seorang suster masuk ke kamar, “Maaf, orang tuanya Keiko. Bisa ikut saya sebentar ke ruangan dokter, ada yang ingin dokter bicarakan dengan Bapak dan Ibu.”
Sekitar satu jam kemudian, Papa dan Mama kembali. Wajah mereka sangat kusut, air mata terlihat masih menggenang di pelupuk mata mereka. Apa yang terjadi padaku, pikirku.

“Ada apa, Pa, Ma? Apa yang dikatakan dokter?” Tanyaku tak sabar.

Mama tidak sanggup menahan air matanya lagi. Beliau menangis sambil memelukku. Aku merasa keheranan. Melihat mama menangis, aku juga tidak sanggup menahan air mataku. Papa juga kelihatannya sangat cemas. Setelah beberapa saat, setelah Mama sudah dapat menguasai dirinya kembali, Papa mulai berbicara.
“Keiko sayang, maafkan Papa dan Mama ya. Sebenarnya kami sangat tidak tega mengatakan hal ini kepadamu. Tapi juga sangat tidak adil bagimu kalau kami tidak mengatakannya. Karena ini adalah tubuhmu jadi kamu berhak untuk mengetahui tentang keadaan tubuhmu.” Papa menarik napas untuk mengatur suaranya yang terdengar sedikit gemetar.

“Dokter mengatakan kalau kamu mengidap kanker otak, sudah stadium 3.” Papa berhenti lagi. Tangannya yang masih kokoh menggenggam tanganku.

Aku terhenyak, tidak kupercaya apa yang baru saja kudengar tadi. Kanker otak stadium 3. Duniaku kembali gelap, semuanya kabur. Hatiku sakit dan air mataku kembali mengalir, cukup deras. Mama kembali memelukku dan menangis sesenggukan.

“Jadi, berapa lama lagi aku akan bertahan hidup?”, aku teringat akan cerita-cerita yang pernah kubaca atau film-film yang pernah kutonton. Setiap penderita kanker pasti akan divonis tidak mempunyai sisa hidup yang lama lagi. Apalagi ini, kanker otak.

“Kata dokter beberapa bulan lagi. Dokter bilang kasusmu ini tidak bisa ditangani dengan operasi. Tapi kalau kamu menjalani kemo, kemungkinan besar kamu bisa bertahan di atas 1 tahun atau bahkan lebih lama lagi.” Papa berusaha menjaga suaranya agar tetap tenang. Aku tahu di dalam hatinya, dia merasakan kehancuran yang amat sangat. Sama seperti yang aku dan juga yang pasti Mama rasakan.

“Apakah selama ini kamu sakit, anakku? Kenapa kamu tidak pernah cerita kepada Mama?” Tanya Mama dengan sesenggukan. Memang sudah hampir 1 tahun belakangan ini aku sering merasakan sakit kepala, terkadang hanya ringan, namun terkadang sangat sakit juga. Aku juga sering merasa mual-mual. Kupikir itu hanya karena aku terlalu lelah bekerja dan aku mengatasinya hanya dengan meminum obat sakit kepala yang dijual di pasaran. Aku memang paling tidak suka kalau harus berobat ke dokter.

Ruangan yang putih itu tiba-tiba saja menjadi hitam dalam pandanganku. Semuanya sepi, yang terdengar hanya isakan tangis Mama. Kenapa, kenapa ini terjadi padaku? Selama ini aku banyak membaca buku Dhamma. Lahir, tua, sakit dan mati. Aku mengetahui bahwa setiap makhluk yang terlahir pasti akan mengalami semua hal itu. Kupikir aku telah dengan baik memahaminya. Tapi pada saat aku mendengar tentang penyakitku dan vonis yang dijatuhkan padaku, aku baru sadar ternyata aku belum cukup memahaminya untuk dapat menerimanya dengan hati yang terbuka.

“Maafkan aku, Ma, Pa.” hanya itu yang sanggup terucap dari bibirku.

>>>
Sinar matahari menyeruak masuk melalui jendela ruangan. Mama sedang menyusun buah-buahan yang dibawa oleh beberapa kerabat yang datang menjengukku semalam. Aku melihat ke tempat tidur di sebelahku. Kosong. “Ma, Luna kemana? Sudah boleh pulang ke rumah ya?”

Mama menghentikan kegiatannya dan duduk di kursi di samping tempat tidurku. Beliau membelai rambutku, lembut. “Luna meninggal dunia kemarin malam, anakku. Agar kamu bisa beristirahat dengan lebih tenang, infusmu diberi obat tidur. Kamu tidak tahu kejadian semalam karena kamu tertidur sangat pulas.”

“Kasihan dia” ucapku tanpa sadar. Seorang gadis remaja, yang seharusnya masih menikmati masa-masa indah sekolah, harus pergi meninggalkan kehidupannya yang sekarang karena penyakit leukemia yang dideritanya 3 tahun yang lalu. Orang tuanya memintanya untuk menjalani kemoterapi. Dia tahu bahwa dia tidak akan sanggup untuk bertahan hidup lebih lama lagi, tetapi karena cintanya kepada orang tuanya dan tidak ingin mengecewakan mereka maka dia rela menuruti permintaan mereka. Sekarang dia sudah pergi, penderitaannya pada kehidupan saat ini sudah berlalu. Selamat jalan, Luna. Semoga kamu bisa terlahir kembali di alam yang lebih bahagia, doaku di dalam batin.

“Mama, maafkan aku ya.” Kataku memecah kesunyian. “Untuk apa, sayang?”

“Ma, aku memutuskan tidak mau menjalani kemoterapi” Wajah Mama sedikit menegang dan cemas mendengar ucapanku.

“Kenapa, sayang. Kata dokter kamu masih punya harapan kalo dikemo.” Mata Mama berkaca-kaca.
“Bukannya aku tidak percaya dengan dokter dan bukannya aku tidak ingin hidup lebih lama lagi saat ini.”
Air mata Mama mulai mengalir “Jadi kenapa kamu tidak mau dikemo, sayang?”

“Ma, kemo membutuhkan biaya besar. Aku tidak ingin menjadi beban Mama dan Papa.”

“Mama dan Papa akan melakukan apapun untukmu, sayang. Kamu tidak usah memikirkan soal biaya.” Isak Mama. Aku terdiam sejenak. Aku tahu, setiap orang tua pasti akan melakukan hal yang sama untuk anak-anaknya seperti halnya juga orang tua Luna.
“Bukan hanya itu, Ma. Aku juga tidak ingin menghabiskan sisa waktuku di rumah sakit dan tempat tidur.”
“Tapi, sayang..”

“Ma, ijinkan aku menjalani sisa hidupku dengan melakukan hal-hal yang lebih bermanfaat semampuku, bagi diriku maupun bagi orang lain. Aku mohon, Ma. Kabulkanlah permintaan terakhirku.” Aku mengenggam tangannya. Mama masih terisak. Sepertinya keriput di wajahnya bertambah beberapa hari ini.
Ruangan kembali sepi. Setelah berhasil menguasai dirinya kembali, sambil meremas kembali tanganku, Mama berkata “Baiklah, anakku. Mama akan membicarakannya dengan Papa nanti. Ingatlah sayang, apapun yang kamu lakukan, pintu hati kami selalu terbuka untukmu.”

“Terima kasih, Ma” aku memeluknya dan rasanya tidak ingin kulepas pelukanku dari wanita yang paling kucintai ini.

>>>

Beberapa bulan berlalu. Aku menghabiskan lebih banyak waktuku di rumah. Terkadang aku bersyukur, sekarang aku jadi punya lebih banyak waktu untuk bermeditasi, memperhatikan tubuh dan pikiranku yang dulu sering kuabaikan karena kesibukanku bekerja. Kalau kondisi fisikku agak fit, aku akan menyempatkan diri untuk ikut dalam ajang bakti sosial yang sering diadakan oleh wihara. Kami sering mengunjungi panti-panti asuhan dan juga panti-panti jompo. Membagi kebahagiaan dengan mereka juga membawa kebahagiaan bagi diriku sendiri. Terkadang saat melihat mereka tersenyum bahagia, aku jadi lupa dengan penyakitku.

Hari ini kami pergi berkunjung ke panti asuhan tuna rungu. Saat melihat anak-anak di panti itu, hatiku teriris. Kasihan mereka, terlahir dengan kemampuan yang sedikit berbeda dan sedihnya lagi orang tua mereka tidak menginginkan mereka sehingga harus tinggal di panti ini.

Aku memergoki seorang gadis kecil, yang sedari tadi memperhatikan kami dari sudut ruangan. Kelihatannya dia lebih pemalu dibanding teman-temannya yang lain., karena dia tidak mau bergabung dengan mereka yang sedang menerima bingkisan dari kami. Dengan membawa sebuah bingkisan, aku menghampirinya. “Hai, adik kecil.” Aku tahu dia tidak bisa mendengar ucapanku, tapi kuharap dia bisa mengerti bahasa isyarat tubuhku. Aku melambaikan tangan sesaat. Dia masih diam tak bergerak. “Hai! Ini untukmu.” Aku menyerahkan bingkisan dari tanganku. Dia terlihat masih ragu-ragu.
“Ambil aja, tidak apa-apa kok.” Akhirnya dia mengambil bungkusan itu. Dia mulai menangis tanpa suara. Itu pasti tangisan haru, pikirku. Aku juga tidak sanggup menahan airmataku. Dengan sedikit jongkok aku memeluknya. Gadis cilik manis yang kurang beruntung, batinku. Saat hendak berdiri, kepalaku terasa sangat berat dan semuanya menjadi gelap dalam sekejap.

>>>

Saat kubuka mata perlahan, aku kembali mendapati kalau aku sedang terbaring di ruangan serba putih. Tapi kali ini tidak sepi. Ada Mama Papa, beberapa kerabat dan juga teman-teman karibku.

“Mama, Papa.” Suaraku lemah, sangat lemah. Aku juga merasakan ternyata sekujur tubuhku juga sangat lemah. Mungkin ini sudah hampir tiba waktuku.Meski aku menyadari bahwa kematian bukanlah akhir dari segalanya, namun aku masih merasakan sedikit ketidakrelaan meninggalkan semua orang-orang yang kucintai saat ini. Sepertinya saat ini aku harus benar-benar bisa melepas.
“Semuanya….maafkan aku ya. Aku selama ini sudah banyak merepotkan kalian.” Aku ingin mengatakan semua isi hatiku sebelum aku pergi, walau hanya tersisa sedikit tenagaku untuk melakukannya.
“Maafkan juga semua kesalahanku ya. Terima kasih karena kalian sudah menjadi bagian terhebat dalam hidupku.” Aku berkata dengan terbata-bata. Tak ada yang bersuara, hanya tatapan sendu dan airmata yang  kudapati.

“Ma, Pa. Maafkan aku tidak bisa berbakti kepada kalian lebih lama lagi.”

“Jangan berkata begitu, Nak” sahut Papa. Mama hanya bisa menangis.
“ Terima kasih telah memberiku kesempatan untuk menjalani hidupku dengan lebih bermakna. Terima kasih untuk segalanya. Aku berharap semoga di kehidupan yang akan datang, kita bisa berkumpul kembali menjadi sebuah keluarga.” Lanjutku.

Mama yang dulu terlihat selalu ceria sekarang terlihat sangat lemah. Papaku yang kelihatan kuat juga tidak sanggup menahan air matanya. “Mama dan Papa juga bangga punya anak seperti kamu, sayang. Kami sangat mencintaimu.”

“ Aku juga sangat mencintai Mama dan Papa.”


Menuju Kehidupan Baru



Menuju Kehidupan Baru
Oleh Yang Mulia Bhikkhu Dhammakaro

Walau seseorang hidup seratus tahun, tetapi tidak dapat melihat Kebenaran Luhur (Dhamma),
sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari dari orang yang dapat melihat Kebenaran Luhur.

Semua insan di dunia ini, mendambakan kehidupan yang damai, tenang, sejahtera dan bahagia. Kesemua ini teraktualisasi dalam usaha dan perjuangan mereka dalam aktivitas perjuangan sehari-harinya. Manusia, yang pada dasarnya merupakan makhluk berakal budi atau memiliki kesadaran (sati) yang baik, tidak senang dengan kekacauan dan keributan. Tetapi mereka dicengkeram oleh nafsu keinginan yang tidak ada habis-habisnya (tanha), sehingga menyuburkan adanya kebencian (dosa), keirihatian (issa), keserakahan (lobha), pandangan salah (micchaditthi) dan kegelapan batin (moha). Maka muncullah tindakan-tindakan negatif sebagai manifestasi batin seseorang yang diselubungi oleh tanha.

Di dalam kotbah pertamanya yang disebut "Khotbah Pemutaran Roda Dhamma" (Dhammacakkappavattana Sutta) Sang Buddha menjelaskan bahwa tanha adalah sumber dari penderitaan. Dan Beliau-pun menerangkan supaya kita terbebas dari dukkha, maka kita harus dapat mengikis dan melenyapkan tanha dengan mempraktekkan Jalan Tengah (Majjimā patipadā). Jalan Tengah yang merupakan Jalan Ariya berunsur delapan (Attha Ariya Magga) yang diringkas menjadi Sīla (moralitas), Samādhi (pengembangan batin) dan Pañña (kebijaksanaan) adalah merupakan satu-satunya jalan yang dapat membebaskan kita dari penderitaan hidup.

Dewasa ini demonstrasi mahasiswa maupun masyarakat khususnya di Indonesia maupun di belahan dunia lainnya, merupakan cerminan dari gejolak nurani atau batin manusia yang ingin bebas dari tekanan penguasa yang lalim atau intinya adalah ingin bebas dari penderitaan dan kesulitan hidup. Gejolak batin inilah yang dewasa ini diaktualisasikan dalam slogan yang cukup menarik untuk kita cermati bersama dengan tulisan, "Menuju Indonesia Baru." Slogan tersebut adalah wujud dari keinginan umat manusia agar kehidupannya berubah menjadi lebih baik dari yang telah dilaluinya, apakah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara maupun kehidupan secara individu. Tetapi sangat disayangkan, sebab kebanyakan orang tidak mengerti dari mana mereka harus memulai untuk melakukan perubahan tersebut supaya menuju kehidupan baru ? Mungkin mereka justru berpikir, oh, untuk melakukan perubahan hidup itu gampang, kita bangun rumah-rumah baru, beli mobil, pakaian, televisi, handphone dan sarana lain yang baru. Maka dengan demikian kehidupan kita langsung berubah menjadi hidup yang baru. Pola pikir demikianlah yang dewasa ini, menyelimuti pandangan hidup seseorang. Memang tidak sukar untuk mendapatkan sarana materi yang serba baru, tetapi perubahan yang demikian adalah sangat sementara dan tidak hakiki. Justru bila kita tidak hati-hati dengan perubahan tersebut kita bisa dibelenggu dan dihancurleburkan oleh materi.

Maka dari itu, uraian Dhamma pada kesempatan ini mengetengahkan judul "Menuju Kehidupan Baru". Dengan uraian ini kita akan membahas metode yang harus ditempuh guna mewujudkan perubahan hidup yang sesungguhnya atau hakiki. Perubahan hidup yang hakiki adalah perubahan yang ada dalam diri seseorang yakni perubahan karena kematangan, kedewasaan dan kebijaksanaan batin seseorang.

Dalam Dhammapada ayat 1 dan 2, Sang Buddha bersabda, "Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran jahat, maka penderitaan akan mengikutinya bagaikan roda pedati mengikuti langkah kaki lembu yang menariknya. Dan sebaliknya bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran murni, maka kebahagiaan akan mengikutinya bagikan bayang-bayang yang tidak pernah meninggalkan bendanya." Hal ini sangat jelas bahwa perubahan di dalam merupakan kunci utama untuk menuju kehidupan baru.

Sekarang yang menjadi pemikiran kita adalah bagaimana cara membentuk batin kita supaya menjadi dewasa, sehingga batin kita menjadi pemimpin, pelopor dan pembentuk, bukan uang yang menjadi pemimpin? Untuk membentuk supaya batin kita menjadi dewa dan bijaksana, maka kita harus memiliki yatha bhuta ñanadassana (kemampuan pikiran untuk dapat mengerti dan menyadari kebenaran sebagaimana adanya). Mengapa sering terjadi pertengkaran, perkelahian dan percekcokan dalam kehidupan kita ? Jawabannya adalah karena tidak adanya kemampuan pikiran kita untuk dapat mengerti dan menyadari kebenaran sebagaimana adanya, sehingga kita terbawa nafsu belaka. Kemampuan untuk mengerti pada kebenaran hidup adalah yang utama, sebab kehidupan ini akan menjadi penuh problem bila kita tidak menyadari tentang arti hidup yang sebenarnya. Di dalam Sabassava Sutta, Sang Buddha menjelaskan bahwa problem atau derita hidup dapat dihilangkan dengan cara melihat (Passati/passana). Apakah hal-hal yang harus diperhatikan ? Hal-hal yang harus diperhatikan adalah segala sesuatu yang tidak menyebabkan munculnya dukkha baru atau bertambahnya dukkha yang sudah ada yang berasal dari nafsu indera kekurangan dan ketidaktahuan. Oleh karena itu, dengan mengerti dan menyadari segala sesuatu sebagaimana adanya maka batin kita akan menjadi dewasa dan dukkha tidak ada lagi.

Batin akan menjadi dewasa dan bijaksana bilamana seseorang memiliki pengendalian diri terhadap indrianya (saṁvara). Banyak orang terjerumus dalam jurang penderitaan karena tidak dapat menahan nafsu indrianya. Dunia materi memang indah dan menyenangkan bagi indria mata, telinga, hidung, lidah, kulit dan pikiran yang tidak terkendali. Tetapi dunia materi akan menjadi sesuatu yang tidak indah dan menyenangkan lagi dan hanya merupakan tumpukan tanah, lelehan air, gerakan udara dan kepulan asap api bagi orang yang dapat mengendalikan indrianya. Maka dengan mengerti kebenaran materi sebagaimana adanya batin seseorang akan menjadi dewasa, tidak merengek-rengek karena materi dan dukkha kehidupan menjadi hilang.

Kebijaksanaan batin seseorang dapat pula berkembang dengan cara penghapusan terhadap segala hal-hal yang muncul karena nafsu indria (vinodana). Mengapa ada orang yang bertindak tanduk buruk bahkan mereka sampai tega melakukan tindakan yang lebih jahat lagi ? Sebab mereka tidak memiliki kemampuan untuk menghapus nafsu indria, sehingga kemunculan nafsu indria yang dari saat ke saat menjadi itikad jahat yang maha dahsyat yang siap menghancurkan kehidupannya sendiri maupun orang lain. Maka dengan cara menghapus setiap kemunculan nafsu indria, tumpukan benci, emosi, marah, jengkel, dan lain yang merupakan bom waktu dapat dihilangkan.

Dengan membentuk batin yang dewasa dan bijak inilah kita dapat melakukan perubahan hidup, yang akan membawa pada kehidupan yang damai, sejahtera dan bahagia.


(Dikutip dari Berita Dhammacakka Edisi 13 Pebruari 2000)

Selasa, 26 Oktober 2010

Buku Buddhis: Agama Dalam Masyarakat yang Multi Religius

 
 
Agama Dalam Masyarakat yang Multi Religius
Oleh Ven K Sri Dhammananda

Ajaran dan pesan-pesan yang disampaikan oleh para pendiri agama, yang merupakan pendiri agama-agama di dunia, terutama bertujuan meringankan penderitaan dan membawa kedamaian serta kebahagiaan bagi seluruh umat manusia melalui pelaksanaan etika moral sesuai dengan cara hidup yang benar. Namun dewasa ini agama-agama di dunia telah berkembang menjadi lembaga-lembaga yang terorganisasi secara besar-besaran tanpa mencerminkan keterlibatan perasaan manusia di dalamnya, dengan akibat bahwa ajaran-ajaran asli dari para pendiri agama masing-masing telah terkikis atau terabaikan sehingga hampir tidak meninggalkan pengaruh pada para pengikutnya terutama dalam hal kesederhanaan, pengendalian diri, kebenaran dan sifat tidak mementingkan diri sendiri. Isi moral dari suatu agama dan nilai-nilai rohaniahnya yang mendorong kehidupan damai diselimuti oleh nilai-nilai lahiriah yang tampak lebih menarik. Banyak pemeluk agama yang telah mengabaikan atau meremehkan pesan-pesan pemimpin agama mereka hanya untuk mencari kekuasaan, ketenaran, dan keuntungan lahiriah lainnya guna kepentingan pribadi. Penyalahgunaan semacam ini cenderung menodai pikiran para penganut agama modern dan menyebabkan persaingan-pesaingan tak sehat dan menimbulkan hambatan-hambatan diantara berbagai kelompok agama maupun di dalam kelompok agama yang sama.

SIKAP TANPA TOLERANSI DALAM KEHIDUPAN BERAGAMA

Bila kita mempelajari sejarah berbagai agama di dunia dan pengaruhnya yang besar atas manusia selama jangka waktu yang panjang, maka kita akan menemukan bahwa kesalahan-kesalahan yang parah telah dilakukan sebagai akibat adanya sikap tanpa toleransi dalam kehidupan beragama. Kata-kata seperti `penyiksaan`, `pengingkar agama`, `atheis`, `penyembah berhala` dan benyak istilah lain yang senada, telah masuk ke dalam perbendaharaan kata dalam buku-buku keagamaan untuk menggambarkan adanya keganasan, kekejaman, prasangka buruk, dan diskriminasi yang dilakukan atas nama agama sebagai hasil dari sikap tanpa toleransi.

Kejadian-kejadian yang patut disayangkan ini telah meninggalkan noda pada agama, yang sedemikian rupa sehingga banyak pemikir condong menolak agama yang terorganisasi atau kata `agama` itu sendiri. Nilai-nilai agama yang sebenarnya sedang merosot dengan cepat dan menghilang dari pikiran orang, bahkan dari mereka yang disebut kaum beragama. Guna mengatasi kecenderungan yang tak menguntungkan ini, maka perlu dan penting bagi semua pihak yang bersangkutan untuk mengadakan suatu pengkajian dan penelitian tentang pelaksanaan prinsip-prinsip agama agar tercapai pemahaman dan kesadaran yang lebih baik mengenai nilai-nilai rohaniah dari suatu agama agar terhindar dari kesalahan-kesalahan masa lampau yang amat disayangkan.

PENDIDIKAN AGAMA

Agar dapat hidup berdampingan secara damai dan serasi dalam suatu masyarakat yang menganut berbagai agama, seseorang harus memperoleh pendidikan agama yang mantap dengan menitikberatkan pada nilai-nilai etika moral sebagai langkah positif yang pertama ke arah saling pengertian dan kerjasama yang lebih baik di antara semua pemeluk agama. Seluruh umat beragama harus bersatu dan saling membantu guna meningkatkan dan menetapkan pendidikan agama yang sesuai dan sistematis, bukan hanya mengenai agama tertentu, tetapi berkenaan dengan pokok-pokok dari semua ajaran agama yang akan memberikan penerangan maupun pandangan yang mendalam tentang sifat nilai-nilai rohaniah yang lebih tinggi dalam kehidupan, terutama nilai-nilai etika moral.

Langkah seperti ini pasti akan membantu mengurangi atau setidak-tidaknya menghilangkan fanatisme agama yang keras dan prasangka buruk secara turun-temurun, yang telah menjadi biang keladi perselisihan antar agama. Tindakan-tindakan lain yang dapat membantu terciptanya saling pengertian dan saling menghormati antar agama yang lebih baik adalah pendirian organisasi antar agama yang mengatur penyelenggaraan ceramah, tukar pendapat, pembahasan, seminar, dan forum tentang agama serta masalah yang bertalian dengannya secara teratur. Dalam pelaksanaannya, yang selalu menjadi motivasi adalah usaha untuk mencari persamaan ke arah perdamaian dan keharmonisan, bukannya sikap supremasi atau dominasi oleh satu agama atas agama lainnya.

KEGIATAN-KEGIATAN UNTUK KESEJAHTERAAN

Penyelenggaraan berbagai pertemuan persahabatan, berbagai program pengabdian masyarakat, dan kegiatan sosial serta kesejahteraan yang melibatkan semua umat beragama bekerjasama guna meningkatkan kehidupan mereka yang kurang beruntung dalam masyarakat, dapat dijadikan alat pengikat persahabatan yang melampaui segala perbedaan agama serta menciptakan semangat saling menghargai dan menghormati, menuju tercapainya kehidupan yang damai dan harmonis antar agama.

ORGANISASI-ORGANISASI PEMUDA

Suatu bidang penting lainnya yang perlu diperhatikan dengan sungguh-sungguh oleh para pemeluk agama yaitu organisasi pemuda dan berbagai kegiatan yang berkaitan dengannya.

Kaum remaja masa kini akan menjadi angkatan dewasa masa depan. Mereka tidak boleh tersesat ke dalam perangkap zaman ini. Seluruh energi dan sumber-sumber potensi remaja harus dimanfaatkan sebagaimana mestinya dan diarahkan pada tujuan yang bersifat membangun. Mereka harus diberitahu tentang semua ajaran dasar agama dalam usaha mengembangkan masyarakat yang damai dan harmonis, dan tidak dicekoki dengan racun yang mencela satu agama terhadap agama yang lainnya. Bila mereka mendapat tujuan semestinya melalui prinsip-prinsip agama seperti kesabaran, sikap tenggang rasa dan pengertian, maka pemuda masa kini akan menjadi modal yang paling berharga dalam peningkatan keserasian hidup beragama dan kerjasama di antara para penganut agama pada masa-masa mendatang.

TOLERANSI DAN RASA HORMAT

Toleransi dan rasa hormat merupakan dua kata yang amat penting, yang harus diingat dalam suatu masyarakat yang multi religius. Seseorang tidak boleh hanya mengkhotbahkan sikap tenggang rasa, tetapi harus berusaha, pada setiap kesempatan yang memungkinkan, untuk selalu melaksanakan semangat keramahan, toleransi, sebab semangat itu akan amat membantu menciptakan suasana yang mengarah pada kehidupan damai dan serasi. Kita mungkin tidak dapat memahami atau menghargai nilai-nilai intrinsik dari upacara atau kebiasaan tertentu yang dilakukan oleh kelompok agama tertentu. Demikian pula orang lain, mungkin tidak bisa memahami atau menghargai upacara atau kebiasaan kita sendiri. Jika kita tak menghendaki orang lain menertawakan perbuatan kita, janganlah kita menertawakan orang lain. Kita harus berusaha mencari arti atau memahami kebiasaan-kebiasaan yang asing bagi kita karena hal ini akan membantu menimbulkan pengertian yang lebih baik, sehingga kita dapat meningkatkan semangat toleransi di antara para penganut agama yang bermacam-macam.

Telah disebutkan bahwa rasa hormat menimbulkan rasa hormat pula. Jika kita mengharap pemeluk agama lain menghormati ibadah agama kita, maka pada gilirannya kita juga tidak boleh ragu-ragu untuk menunjukan rasa hormat kepada mereka pada saat mereka melakukan ibadah mereka. Sikap ini pasti akan mendukung hubungan yang lancar dan ramah dalam suatu masyarakat yang menganut berbagai agama masyarakat multi religius.

Tanpa melaksanakan semangat toleransi dan saling menghormati, maka racun diskriminasi, ejekan, dan kebencian yang berbahaya itu akan menyembur menghancurkan kedamaian dan ketentraman masyarakat dan negara kita. Suatu kenyataan bahwa di negara-negara tertentu yang tidak terdapat semangat toleransi dan saling hormat antar agama, maka pembunuhan, pembakaran dan penghancuran milik yang berharga telah terjadi. Tindakan tak berguna seperti itu, yang menyebabkan hilangnya nyawa yang sangat berharga dan harta benda yang tak dapat ditebus, seharusnya membuka mata semua orang yang mendambakan kehidupan damai dan serasi. Semua umat yang beragama harus bersatu dalam persahabatan dan hubungan baik serta dengan kehendak baik antara satu sama lain guna mencapai harapan semua orang yang cinta damai dalam membangun masyarakat yang serasi, aman dan tentram.

SEGI ROHANIAH DARI KEHIDUPAN

Kehidupan di dunia ini hanyalah suatu masa yang singkat dalam ruang lingkup waktu. Kita selalu mengejar keuntungan lahiriah, namun kita tidak boleh mengabaikan segi-segi rohaniah dari kehidupan sebagaimana telah diajarkan oleh nenek moyang kita yang religius kepada kita. Kita harus memperkaya kehidupan kita dengan melaksanakan ajaran murni dan luhur dari pemimpin agama kita untuk hidup secara terhormat, sopan dan berguna, berbuat kebajikan bila mungkin dan selalu menjauhkan diri dari perbuatan jahat. Ajaran yang sama-sama diutarakan oleh para pemimpin agama seluruh umat manusia hidup dalam kasih sayang dan mendukung segi-segi rohaniah ajaran agama mereka masing-masing, sehingga dapat memberikan sumbangan demi terciptanya suasana yang damai dan serasi.

PENYEBARAN AGAMA

Untuk menyebarkan suatu agama tertentu, maka segi-segi terbaik atau terpenting dari agama tersebut perlu dikemukakan. Penampilan demikian memang diharapkan, sebab wajah yang menarik yang menimbulkan minat harus dimantapkan agar memperoleh perhatian.

Menampilkan yang terbaik merupakan suatu pengutaraan yang cukup jujur, sebab semua pemeluk agama dalam menjual barang dagangan religius mereka, akan selalu bertindak demikian. Namun dalam masyarakat multi religius, persaingan keras untuk mendapatkan penganut baru atau mereka yang pindah agama, haruslah ada saling pengertian di antara para pemuka agama agar terhindar dari perbuatan saling meremehkan, mengkritik, atau menjelek-jelekkan keyakinan dan kebiasaan penganut agama lainnya. Adalah pantas bahwa sesuatu yang bagus, menarik, dan berguna dalam suatu agama tertentu dikemukakan oleh pendukungnya, tetapi seseorang tidak boleh melangkahi penganut agama lainnya untuk memberitahu kepada dunia luar bahwa agamanya sendirilah yang terbaik, paling benar, sedangkan agama serta tata upacara keagamaan lainnya adalah palsu. Sikap demikian cenderung untuk menimbulkan rasa dengki dan bahkan rasa permusuhan di antara sesama pemeluk agama, dengan akibat saling balas dendam dan saling memaki, yang pasti tidak dikehendaki oleh agama terhormat manapun yang layak disebut agama.

Satu kenyataan pula bahwa semua agama hadir demi kebaikan umat manusia. Semua pendiri agama di dunia mengkhotbahkan perdamaian dan keserasian untuk seluruh umat manusia. Para pemimpin agama yang dihormati di dunia itu melalui kebijaksanaannya mengutarakan semua hal yang baik, kelembutan hati dan etika untuk pembebasan dan keikutsertaan umat manusia. Para pemuka agama yang berjiwa luhur itu tidak saling mencela atau menghina sehingga menimbulkan kekacauan, salah pengertian dan perselisihan dalam masyarakat. Hati mereka menghendaki keselamatan dan kesejahteraan umat manusia. Tujuan satu-satunya adalah menciptakan dunia ini lebih baik agar setiap orang dapat hidup dalam persahabatan dan keharmonisan.

Kenyataannya bahwa banyak pemimpin agama bermunculan di dunia ini pada masa dan di tempat yang berbeda-beda, cenderung menimbulkan perbedaan dan keanekaragaman keyakinan dan tata cara agama di berbagai lingkungan dan bagian dunia. Setiap pemimpin agama memiliki konsep, jalan, dan caranya sendiri untuk menyampaikan ajaran agamanya kepada sejumlah besar pengikutnya, maka terdapatlah keserbaragaman keyakinan dan tata cara agama tersebut.

KORBAN KEADAAN

Jika seorang anak kebetulan dilahirkan dalam keluarga Kristen, tidak ada pilihan lain kecuali bahwa anak tersebut akan dibesarkan menurut keyakinan dan cara-cara keagamaan orang tuanya dalam keluarga Kristen. Demikian pula anak yang dilahirkan dalam keluarga Muslim akan dididik menurut keyakinan dan tata cara Islam, dan anak dari keluarga Buddhis akan selalu mengikuti cara hidup Buddhis. Anak yang dilahirkan dalam keluarga Hindu akan dibesarkan sebagai orang Hindu. Kita semua terikat oleh keadaan di sekitar kita, lingkungan, agama, ras, dan kebudayaan, yang tidak dapat kita elakkan. Sebagai anak dalam keluarga religius tertentu, kita akan dididik menurut petunjuk dan latar belakang keagamaan orang tua. Keyakinan agama orang tua kita selalu menjadi keyakinan kita sendiri dan latar belakang budaya menjadi cara hidup kita.

Setiap penganut agama harus berusaha memahami lingkungan dan kebudayaan yang diwarisi masing-masing serta menghormati orang yang menurut apa adanya dan apa yang diyakininya sebagai jalan hidupnya, bukannya memaksakan pada orang lain suatu keyakinan ain dengan menyatakan secara berlagak bahwa “agama saya adalah agama yang benar, anda harus memeluk agama saya – agama anda adalah agama yang salah”. Daging milik seseorang bisa berarti racun bagi orang lain. Tidak boleh menggunakan tekanan, kekerasan atau paksaan dalam suatu masyarakat yang menganut berbagai agama, bila kita ingin hidup secara damai dan harmonis.

KEBEBASAN MELAKUKAN IBADAH

Meskipun Islam merupakan agama resmi di Malaysia, (dan juga di Indonesia, Red) tetapi kebebasan beribadah dan menganut keyakinan agama terdapat dalam Undang-undang (demikian pula di Indonesia, Red). Kita bebas berpikir atau menganut keyakinan agama apapun.

Kita tidak diharuskan untuk mengikuti suatu ibadah atau keyakinan agama tertentu. Kita pelihara kebebasan itu. Sangatlah diharapkan bahwa kebebasan yang kita pupuk ini akan dipertahankan dan diteruskan untuk selamanya dan bahwa kebebasan tersebut tidak akan dinodai atau dihancurkan oleh tindakan-tindakan fanatik yang dilakukan oleh kelompok atau organisasi agama fanatik. Fanatisme dalam bentuk apapun atau dari kalangan manapun bertentangan dengan perdamaian dan keserasian dalam setiap masyarakat.

KESABARAN, TOLERANSI DAN SALING PENGERTIAN

Kita semua tak henti-hentinya mencari kedamaian dan keserasian. Kita menghendaki suasana damai dan serasi untuk keluarga kita. Kita menginginkan suasana damai dan serasi dalam masyarakat dan negara kita. Kita tidak menghendaki bentrokan antar agama, kitapun tak menyetujui pertentangan antar agama dengan ras. Kita ingin hidup saling tenggang rasa.

Kita harus mendukung semua yang bersifat etis. Kita harus bertindak sabar, toleransi dan menunjukkan saling pengertian. Kita harus berlaku sebagai sahabat terhadap yang lainnya, saling menolong dimana saja dan kapan saja diperlukan. Kita harus menyingkirkan diskriminasi ras dan agama. Tanpa memandang ras dan agama, tetapi kita harus menganggap bahwa satu sama lain sebagai saudara dalam keluarga yang bahagia dan sebagai warga negara yang tekun dalam mencari perdamaian dan keserasian bagi Yang Dipertuan Agung dan negara kita. Hal ini harus menjadi ketetapan tekad bagi semua pemeluk agama dalam masyarakat yang multi religius.

PIKIRKAN KEPENTINGAN ORANG LAIN

Sementara kita hargai kenyataan bahwa di Malysia kita mendapat kehormatan untuk melaksanakan upacara dan kebiasaan agama kita masing-masing tanpa rintangan apapun. Kita harus menyadari bahwa kita hidup dalam masyarakat yang multi religius dan multi rasial, oleh karena itu berusahalah untuk selalu memikirkan kepentingan orang lain dalam melakukan apapun. Kita tidak boleh melupakan perasaan kekeluargaan kita kepada mereka yang kebetulan menganut agama lain yang mungkin tidak dapat menghargai upacara tertentu yang asing bagi mereka. Kita harus memikirkan kepentingan orang lain. Kita tidak boleh mementingkan diri sendiri dan kebutuhan kita sendiri. Kita mungkin merasa bahwa ada suatu peringatan atau kejadian istimewa di rumah, yang menyedihkan atau sebaliknya, kita harus mengadakan upacara keagamaan tertentu menurut kebiasaan dan latar belakang budaya kita, kalaupun demikian kita harus bertindak adil dan memperhatikan orang lain, dalam arti bahwa kita tidak berbuat terlalu berlebihan sehingga menimbulkan kesulitan dan gangguan pada tetangga kita. Tata cara agama apapun yang kita lakukan, harus dilaksanakan dalam batas-batas yang wajar dan dalam lingkungan rumah kita, tanpa menyebabkan gangguan yang tak selayaknya pada kedamaian dan ketentraman tetangga kita. Jika kita secara dogmatis mendesak bahwa kita berhak melakukan upacara-upacara agama kita, betapapun ributnya, merepotkannya atau menjengkelkannya, tanpa memikirkan perasaan tetangga kita, pasti kita akan mengundang kesulitan terutama dalam lingkungan yang multi religius. Kita tidak hanya harus memikirkan kepentingan orang lain, tetapi juga harus bersikap realistis dalam perbuatan apapun yang kita lakukan, terutama dalam pelaksanaan ibadah agama kita yang kadang kala kita cenderung bertindak ekstrim dan bahkan menjadi fanatik. Memikirkan kesejahteraan orang lain, sekalipun dalam keadaan yang sulit dan berat, merupakan kunci tercapainya kehidupan yang damai dan serasi dalam masyarakat yang menganut berbagai agama.

PENJUAL BARANG KELILING

Seringkali penghuni rumah mempunyai alasan untuk mengeluh bahwa ketentramannya dan ketenangan rumah tangganya telah diganggu oleh kehadiran penjual keliling yang menjajakan barang-barang religiusnya yang tidak cocok untuk diperdagangkan, baik berguna atau tidak, kepada penghuni rumah yang tak menaruh curiga. Pembicaraan yang ngotot dari penjaja keliling yang tak berpengalaman, namun kelewat bersemangat itu dapat benar-benar menyusahkan pemilik rumah. Mereka para penjaja itu tidak mau mendengar tolakan yang sopan sebagai jawaban dari penghuni rumah, tetapi mereka terus mendesak bahwa barang-barang itu, biasanya berbentuk buku-buku keagamaan, bermutu terbaik dan dengan membelinya anggota rumah tersebut akan melangkah menuju surga. Mereka tidak pernah peduli agama apa yang dianut oleh penghuni rumah tersebut, mereka tidak pernah merasa khawatir kalau-kalau bujukannya akan dianggap sebagai penghinaan terhadap kecerdasan atau kepekaan religius pemilik rumah itu. Patut disayangkan bahwa golongan tertentu memiliki cara pengiriman penjaja yang kelewat bersemangat itu untuk menjual barang-barang religius mereka. Tindakan seperti ini cenderung untuk merendahkan agama yang bersangkutan, dan bukannya menjujungnya. Tak seorang pun senang diberitahu agar ia memeluk agama tertentu dengan mengikuti buku-buku keagamaan tertentu secara teratur, kalau tidak ia akan terjerumus ke neraka abadi. Setiap orang harus dihormati sebagai manusia yang bebas berpikir, mampu memutuskan sendiri kebajikan agama tertentu dan apakah agama tersebut membawanya ke surga atau ke neraka.

Hal ini merupakan pilihan kita masing-masing, pilihan sepenuhnya tertuang dalam Undang-undang Malaysia (demikian pula di Indonesia, Red) tentang kebebasan beribadah. Dalam masyarakat yang multi religius dan multi rasial seperti Malaysia (ataupun Indonesia, Red), para pemeluk agama tidak boleh merendahkan diri sendiri dengan menyalahkan atau menjelekkan penganut agama lainnya yang telah disusun oleh para pemimpin agama termashur berabad-abad yang lampau. Lebih baik bagi pengikut agama tertentu untuk menyanyikan pujian-pujian agamanya di mimbarnya dan tidak menodai usaha-usaha pemeluk agama lainnya, sementara itu memungkinkan orang lain untuk memilih sifat dan jenis agama yang ingin dianutnya. Ada pepatah yang mengatakan bahwa “Anggur yang baik tak perlu dihias”.

Bila anggur itu baik, tentu saja orang akan mencarinya. Seseorang harus bebas untuk memilih agama apapun yang baik baginya tanpa usaha yang memalukan oleh penjual keliling yang berusaha menjajakan “barang-barang” religiusnya dan mendesak orang lain untuk memeluk agama tertentu. Guna mencapai keadaan damai dan serasi yang sulit itu, dalam masyarakat yang multi religius, maka setiap orang harus bebas melagukan pujian-pujian agamanya sendiri, tetapi bagaimanapun juga mereka harus menghindari perbuatan saling menjelekkan. Hinaan seperti itu akan melampaui batas dan akibatnya bisa membawa malapetaka.

POLITIK DAN AGAMA

Suatu segi lain yang perlu diperhatikan dalam usaha mencari kedamaian dan ketentraman dalam masyarakat muti religius bahwa masalah politik dan rasial tidak boleh dimasukkan ke dalam mimbar agama. Dapat kita pahami bahwa dalam dunia politik dewasa ini dan bahkan pada masa lampau, para politisi ingin mempengaruhi semua lembaga termasuk lembaga keagamaan guna meningkatkan tujuan politik mereka. Segala cara merupakanpermainan yang jujur dalam politik, tetapi agama harus menjauhkan diri dari politik dan politisi.

Mimbar rohaniah memenuhi kebutuhan-kebutuhan rohaniah mereka yang berpikir religius, termasuk politisi yang religius, namun mimbar tersebut tidak boleh dipakai oleh politisi yang mungkin dapat merusak kedamaian dan ketentraman tempat ibadah melalui naungan politik mereka. Agama meliputi segalanya dengan demikian tidak boleh terdapat kendala rasial apapun.

Kita semua, sementara menghormati dan menjunjung tinggi agama kita masing-masing, dan dalam keadaan apapun tidak diperkenankan mencela atau memandang rendah ajaran agama yang dianut oleh orang lain. Kita harus berusaha untuk mempelajari dan memahami dasar-dasar semua agama dan memilih apa yang terbaik dan dapat dipraktekkan, serta menyampaikannya yang bersifat kontroversial. Singkatnya, junjung tinggi agama anda sendiri tetapi hormatilah agama orang lain. Hal ini pasti akan membantu terpeliharanya suasana damai dan serasi dalam masyarakat yang multi religius.

Manfaat Ke Vihara


Manfaat Ke Vihara
Oleh Yang Mulia Bhikkhu Uttamo Thera

Jikalau kita renungkan, setiap tahun terhitung ada sekitar 52 minggu. Selama itu, berapa kali kita tidak hadir ke vihara? Dalam 52 minggu yang ada berapa kali kita hadir di vihara? Ada umat yang hadir sebanyak 30 kali, ada pula umat yang hadir kurang dari 30 kali. Kadang-kadang malah ada umat yang hanya hadir 4 kali dalam setahun, yaitu: Pada perayaan Magha Puja, Waisak, Asadha, serta Kathina. Jadi, ada umat yang hadir ke vihara sebanyak 4 kali, 14 kali, tetapi jarang ada umat yang dapat hadir penuh sampai 52 kali setahun. Alasan mereka macam-macam, salah satunya: Sibuk. Menghadiri puja bakti secara rutin memang cukup sibuk. Namun bila kita melihat kesibukan para pejabat tinggi negara kita, di tengah kesibukannya mereka masih dapat melaksanakan ibadahnya dengan khusuk lima kali sehari. Apabila kita seminggu sekali saja tidak memiliki waktu, apakah berarti kita memang lebih sibuk daripada para pejabat tersebut? Hanya kita sendirilah yang tahu jawaban sesungguhnya.

Sebetulnya kita bukanlah sibuk, hanya saja tidak mau menyisihkan waktu untuk kebaktian. Kesibukan sesungguhnya dapat kita atur sendiri, karena memang kita sendirilah yang membuat kesibukan. Saat tidur saja dapat pula dianggap kesibukan. Kalau kita sedang tidur, kita dapat mencantumkan tulisan: Jangan ganggu, sedang sibuk. Telpon pun tidak mau menerima. Sepertinya kita sibuk, padahal kegiatan kita hanyalah tidur. Jadi, kalau kita mengatakan: "Saya sungguh sibuk," pada saat kebaktian, pada saat itu mungkin kita masih ingin tidur. Oleh karena itu, dalam satu tahun yang terdiri dari 52 minggu yang telah dijalani, berapa kali kita telah pergi ke vihara? Ini masih menjadi tanda tanya. Dan yang dapat menjawabnya adalah diri kita sendiri. Orang lain mungkin tidak akan sempat mencatat kehadiran kita. Hari ini si A hadir, si B tidak hadir, si C hadir, si D tidak hadir. Tidak mungkin. Yang mencatat kehadiran kita adalah diri kita sendiri.

Hadir dalam puja bakti sesungguhnya sangat penting artinya. Kenapa demikian? Karena dalam etika ajaran Sang Buddha, kita harus hadir pada setiap hari kebaktian. Dari manakah etika itu muncul? Mungkin kita sempat berpikir, "Dalam kitab suci Tri Pitaka tidak pernah disebutkan bahwa kita harus hadir dalam kebaktian baik pada hari Minggu atau pun bukan." Memang dalam kita suci Tri Pitaka tidak disebutkan hari Minggu harus kebaktian. Tetapi hendaknya kita ingat, dalam kitab suci kita, Tri Pitaka, diceritakan bahwa para murid Sang Buddha pada hari Uposatha, yang pada jaman itu jatuh pada tanggal 1, 8, 15, dan 23 menurut penanggalan bulan (Imlek), mereka datang menemui Sang Buddha. Mereka bersujud di hadapan kaki Sang Buddha. Sang Buddha kemudian membabarkan Dhamma kepada mereka, sehingga muncullah kebahagiaan dalam diri mereka. Inilah awal mula adanya tradisi kebaktian dalam Agama Buddha. Itulah saat melaksanakan Puja Bakti yaitu pada hari Uposatha, tanggal 1, 8, 15, 23 menurut penanggalan bulan atau Imlek. Kemudian setelah Sang Buddha wafat maka tempat duduk Sang Buddha lah yang dijadikan obyek pemujaan. Maka ketika kita ditanya: "Hendak ke mana?" Jawabnya bukanlah: "Hendak sembahyang" Bukan. Kita sebenarnya tidak pernah sembahyang. Umat Buddha tidak bersembahyang, tetapi melakukan Puja Bakti. Istilah 'sembahyang' berarti menyembah Hyang atau dewa. Kita bukanlah penyembah dewa, dan kita juga tidak pernah meminta-minta kepada dewa: "Dewa angin, percepatkanlah mobil saya ini supaya saya tidak terlambat datang ke vihara." Itu adalah sembahyang. Kita tidak pernah demikian. "Dewa pintar, ubahlah diri saya menjadi anak yang pandai sehingga saya mampu mengerjakan semua ulangan ini dengan baik." Itu adalah sembahyang. Kita, umat Buddha tidak pernah melakukannya. "Dewa mabuk, buatlah semua guru sekolah saya menjadi mabuk dan pusing sehingga hari ini sekolah diliburkan." Tidak ada dalam pengertian Agama Buddha rumusan permohonan seperti itu. Sekali lagi, para umat Buddha tidak pernah sembahyang melainkan melakukan puja bakti!

Istilah 'Puja Bakti' memiliki pengertian bahwa kita memuja, menghormat, dan berbakti dengan menjalankan ajaran Sang Buddha. 'Pemujaan' timbul ketika pada jaman dahulu, para bhikkhu dan murid Sang Buddha lainnya bersujud kepada Sang Buddha. Mereka memuja, menghormat dengan membawa bunga, dupa dan lilin. Kalau sekarang, bunganya sudah disediakan di vihara, lilinnya juga sudah dihidupkan, jadi orang tinggal memasang dupa saja. Begitulah tradisi pemujaan. Kemudian tentang istilah berbakti. Ketika kita membaca Paritta sebenarnya adalah merupakan pengganti khotbah Sang Buddha, mengulang khotbah Sang Buddha, merenungkan isinya dan membawanya pulang ke rumah untuk dilaksanakan dalam kehidupan kita sehari-hari. Itulah makna istilah Puja Bakti.

Sejak jaman Sang Buddha, sebulan 4 kali yaitu tanggal 1, 8, 15, 23 diadakan pertemuan di vihara dan pembabaran Dhamma. Oleh karena itu, setelah Sang Buddha wafat, tempat duduk Sang Buddha atau simbol-simbol yang berhubungan dengan ajaran Sang Buddha -seperti misalnya bunga teratai, pohon bodhi, cakra, stupa, dan kemudian perwujudan Sang Buddha- menjadi obyek pemujaan. Mereka datang di hadapan Buddha rupang, memasang dupa, lilin, menghormat dan kemudian berbakti dengan mengulang, mengingat serta melaksanakan Ajaran Sang Buddha. Dengan demikian, maka terbentuklah etika umat Buddha bahwa pada hari yang sudah disepakati mereka mengadakan Puja Bhakti. Kalau pada jaman dahulu jatuh setiap tanggal 1, 8, 15, 23, kesepakatan kita sekarang adalah setiap hari Minggu saja. Kenapa? Karena tanggal 1, 8, 15, 23 itu kadang-kadang jatuh pada hari kerja, dan kalau pada hari kerja alasan sibuk tentu akan lebih banyak muncul. Dengan mengingat bahwa etika seorang umat Buddha seminggu sekali bertemu dengan Sang Buddha, bertemu dengan Dhamma, bertemu dengan Sangha, untuk mendengarkan Dhamma kemudian melaksanakannya di dalam kehidupan sehari-hari, maka hendaknya hari apapun kesepakatan kita mengadakan puja bakti, kita harus berusaha datang. Itu adalah etikanya. Pada jaman dahulu di masa Sang Buddha, kalau di vihara sedang ada ceramah Dhamma, ada Puja Bakti, maka di halaman vihara itu dinaikkan selembar bendera. Dari kejauhan kibaran bendera itu telah nampak. Apakah maksudnya? Dengan melihat bendera itu, orang yang datang dari jauh akan segera mengetahui bahwa Sang Buddha sedang membabarkan Dhamma. Mereka kemudian akan berjalan dengan hati-hati, tenang serta menghindari suara berisik agar tidak mengganggu kekhusukan dan kekhidmatan vihara. Jadi semua kendaraan -di jaman itu kereta- langsung diparkir.

Pada waktu berziarah ke India, di sebuah bukit kita diberitahu bahwa Raja Bimbisara bila naik ke bukit itu untuk menjumpai Sang Buddha, keretanya diparkir di suatu tempat di bawah bukit. Areal parkirnya masih ada. Kemudian di tengah bukit ada sebuah gardu tempat Raja Bimbisara meninggalkan para pengawalnya. Raja Bimbisara masih diiringi dua atau empat pengawalnya. Ketika lebih dekat dengan tempat Sang Buddha tinggal, di gardu terakhir, para pengawal ditinggal di situ, agar tidak menimbulkan keributan. Barulah Raja Bimbisara naik ke puncak bukit sendirian untuk bertemu dengan Sang Buddha. Jadi bila telah terlihat kibaran bendera di atas bukit, orang akan segera tahu bahwa Sang Buddha sedang membabarkan Dhamma karena itu semua orang harus menjaga ketenangan. Tenang bukan berarti tidak bergerak, melainkan berjalan dengan diam agar tidak mengganggu orang lain yang sedang mendengarkan khotbah Sang Buddha.

Inilah latihan kedisiplinan sekaligus memperhatikan kebutuhan orang lain yang sesungguhnya ada dalam ajaran Sang Buddha. Mereka datang untuk Sang Buddha, mereka datang untuk mendengarkan Dhamma. Oleh karena itu, kadang-kadang terpikir: "Bagaimanakah seandainya di cetiya ini bila sedang ada kebaktian dipasangi bendera?" Artinya, begitu lagu pembukaan 'Mari kita ke vihara' dinyanyikan seperti tadi, langsung bendera dinaikkan. Jadi, umat yang datang dengan naik sepeda motor segera mematikan mesinnya. Sepeda motornya dituntun. Tetapi apakah hal ini dapat dilaksanakan? Malah timbul kekhawatiran, jangan-jangan begitu melihat bendera sudah dinaikkan, para umat yang terlambat kemudian berpikir: "Kebaktian sudah mulai. Kita terlambat. Kita jalan-jalan ke plaza saja." Sungguh ironis. Pada jaman dahulu begitu orang menyadari dirinya terlambat hadir maka mereka segera bergegas namun tetap menjaga ketenangan agar dapat mengikuti khotbah Sang Buddha. Pada jaman ini bila dipasang bendera sebagai tanda kebaktian sudah mulai maka umat yang sudah sampai di jalan masuk ke vihara pun dapat berbalik, batal ikut puja bakti. sekarang, umat yang sudah ada dalam lingkungan vihara juga ada kemungkinan tidak mengikuti puja bakti. Mereka lebih senang jadi tukang parkir, ngobrol di pintu depan maupun di atas sepeda motor. Mungkin mereka dahulu adalah para pengawal Raja Bimbisara, jadi tukang parkir kereta Raja. Padahal dalam 7 hari ada 6 hari kita mempunyai waktu untuk ngobrol dengan kawan-kawan. Ke vihara hendaknya benar-benar kita pergunakan untuk puja bakti. Marilah kita memulai kebiasaan yang baik ini.

Jadi, inilah salah satu pokok ajaran agama Buddha, wajib mengikuti puja bakti. Oleh karena itu, jangan pernah bangga dengan mengatakan: "Dalam setahun, saya hanya sekali mengikuti puja bakti. Pada perayaan Waisak saja." Apakah yang pantas dibanggakan? Menjadi orang yang malas dan tidak melakukan kewajiban sebagai seorang umat Buddha kok disombongkan. Kalau dalam mengikuti kuliah 51 kali tidak hadir dari 52 kali yang seharusnya diikuti maka kita pasti tidak akan lulus. Dalam aturan perguruan tinggi bila seseorang mahasiswa mengikuti kuliah tidak kurang dari 75% setahunnya, barulah ia diperbolehkan mengikuti ujian. jadi kita hendaknya jangan malah sombong dengan jarang mengikuti puja bakti. Kejelekan dan kemalasan hendaknya tidak diternakkan. Tidak dipamerkan.

Sekarang, bila kita telah berada dalam vihara hendaknya kita mengikuti pembacaan paritta dan uraian Dhamma dengan sungguh-sungguh. Ada beberapa umat yang pergi ke vihara hanya untuk bertukar cerita saja, justru pada saat uraian Dhamma diberikan. Jadi di depan ada acara ceramah, di belakang mendongeng sendiri. Sikap demikian ini jelas keliru. Kita harus sungguh-sungguh mendengarkan Dhamma. Bila kita memiliki kewajiban pergi ke vihara maka mendengarkan uraian Dhamma adalah kewajiban kita pula. Cobalah kita simak kotbah Sang Buddha tentang Berkah Utama, kita akan menemukan bahwa mendengarkan dan berdiskusi Dhamma pada saat yang sesuai adalah merupakan Berkah Utama.

Saudara, setelah kita mendengarkan Dhamma, apakah yang kemudian harus kita kerjakan? Kita hendaknya merenungkan Dhamma itu agar dapat kita laksanakan di dalam kehidupan sehari-hari. Siapa pun yang memberikan pembabaran Dhamma janganlah dibeda-bedakan. Hal yang terpenting adalah memperhatikan isi ceramah Dhammanya. Saat ini, di antara para umat Buddha masih sering membedakan siapa yang memberikan ceramah Dhamma, bukan memperhatikan hal yang diceramahkan. Kenapa demikian? Kadang-kadang si penceramah memang masih suka marah-marah. Sewaktu dia mengajarkan tentang kesabaran dan pengembangan cinta kasih kepada semua makhluk, kita mungkin akan menertawakannya dalam hati. Ini pun merupakan kekeliruan. Kenapa demikian? Dia sebagai manusia memang punya kesalahan serta kekurangan. Tetapi ingatlah, ceramah yang diberikannya adalah sabda Sang Buddha. Buddha Dhamma inilah yang perlu kita dengarkan. Seandainya kita mendengarkan lagu Buddhis dari kaset. Kita hanya akan mendengarkan isi lagunya. Kita tidak akan mempermasalahkan merk tape-nya. Pokoknya yang penting kita mau mendengarkan dan menikmati lagunya. Tape modelnya apa pun, terserah. Demikian pula dengan orang yang berceramah, itu pun tidak penting, yang penting adalah isi ceramahnya, Buddha Dhamma. Selama ia membabarkan dengan benar kotbah Sang Buddha, kita hendaknya selalu menyimak ceramah tersebut dengan sungguh-sungguh. Inilah hal pokok yang pantas direnungkan.

Dalam satu tahun -52 minggu itu- berapa kali kita tidak hadir di vihara? Sekarang, kalau kita sudah menyadari bahwa di tahun yang telah lalu itu telah banyak kesalahan yang kita lakukan, banyak tidak hadir di vihara, maka bertekadlah bahwa mulai minggu depan, kalau bisa 52 minggu sungguh-sungguh akan selalu kita pergunakan untuk mengikuti puja bakti di vihara. Ini penting. Kenapa demikian? Di dalam mengikuti agama Buddha, puja bakti termasuk urutan yang pertama. Sebab puja bakti termasuk dalam langkah-langkah untuk mengembangkan keyakinan pada Ajaran Sang Buddha, yaitu Saddha. Keyakinan yang kuat diwujudkan dengan selalu mengikuti kegiatan puja bakti. Siapa pun yang ceramah, di mana pun viharanya, kita hendaknya selalu datang ke vihara. Apabila kita sedang berada di kota Malang, datanglah ke vihara di Malang. Begitu pula bila kita sedang mengunjungi kota Surabaya, Yogyakarta, Jakarta dan segala tempat yang ada, selalulah bertanya: "Di manakah vihara di sini?" Kalau perlu, hubungilah dahulu para bhikkhu setempat untuk meminta keterangan, jadwal puja bakti dan alamat vihara di sana. Jadi setiap hari kebaktian, biasanya hari Minggu, kita tidak akan ketinggalan melakukan Puja Bakti.

Puja Bakti menempati urutan nomor satu. Karena puja bakti akan menimbulkan ketenangan dalam diri kita. Apalagi bila susunan acara dalam Puja Bakti ditata dengan baik. Puja bakti hendaknya diawali dengan menyanyikan sebuah lagu Buddhis. Setelah mendengarkan uraian Dhamma, bersama-sama menyanyi sebuah lagu Buddhis lagi. Ketika puja bakti akan ditutup, sekali lagi menyanyi bersama. Susunan puja bakti semacam ini akan menimbulkan kegembiraan di hati para umat Buddha yang mengikutinya. Apalagi bila sewaktu menyanyikan lagu-lagu Buddhis diiringi pula dengan berbagai alat musik. Sungguh sangat mengesankan. Hasilnya, umat yang terkesan akan datang setiap hari Minggu mengikuti puja bakti. Akhirnya, mengikuti puja bakti akan menjadi salah satu kebutuhan pokoknya.

Begitu pula dengan irama pembacaan Paritta, hendaknya tidak terlalu lambat sehingga umat timbul kebosanan dan mengantuk. Sebaliknya, juga jangan terlalu cepat karena umat yang telah lanjut usia akan kesulitan untuk mengikutinya. Irama pembacaan Paritta hendaknya tidak terlalu cepat ataupun terlalu lambat. Disesuaikan dengan keadaan.

Hanya saja puja bakti bukanlah segalanya. Puja bakti tidak akan menyelesaikan masalah hidup yang sedang kita hadapi. Kebaktian merupakan kegiatan yang dapat menimbulkan ketenangan, tetapi belum dapat menyelesaikan masalah. Dalam melakukan puja bakti, untuk para umat Buddha yang sibuk, di rumah sebaiknya memiliki sebuah cetiya. Pada waktu pagi dan sore, kita dapat membaca Paritta sendiri, di rumah masing-masing, sekaligus mengajarkan anak-anak membaca Paritta. Kemudian bila tiba hari Minggu atau hari kebaktian yang sudah ditentukan di kota itu, bila ada kesempatan, datanglah ke vihara bersama-sama keluarga untuk mengikuti puja bakti.

Kadang ada umat yang berpendapat bahwa karena di rumahnya sudah memiliki cetiya, maka ia tidak perlu lagi mengikuti puja bakti di vihara. Memang, kalau hanya membaca Paritta saja, kita cukup lakukan di rumah masing-masing. Namun, tadi telah dibahas bahwa membaca Paritta atai kebaktian itu baru langkah yang pertama. Setelah membaca Paritta, kita masih perlu mendengarkan uraian Dhamma. Uraian Dhamma inilah yang sulit untuk kita dapatkan di rumah sendiri. Apabila kita pergi ke vihara maka pada saat kebaktian pasti ada pembabaran Dhamma. Dan, pada waktu mendengarkan uraian Dhamma -perlu diingatkan lagi- jangan kita melihat orang yang membabarkannya melainkan dengarkanlah isi ajarannya.

Kalau memang terpaksa kita tidak memiliki kesempatan untuk mengikuti puja bakti di vihara, maka di rumah setelah kita membaca Paritta, kita dapat mendengarkan Dhamma dari kaset ceramah yang sekarang sudah amat gampang didapat. Setengah jam cukup, dengarkanlah satu muka dulu. Lebih baik kalau sampai habis ceramahnya. Dengarkan saja. Kegiatan itu akan bermanfaat bagi diri kita sendiri. Kenapa demikian? Sebab ceramah Dhamma itu akan menjadi pedoman hidup diri kita sehingga kita akan merasa mantap menjalani kehidupan ini. Kita akan mempunyai pegangan bahwa perbuatan ini benar, perbuatan itu salah. Hal ini benar, hal itu keliru. Dengan demikian kita akan melakukan perbuatan yang benar dan menghindari perbuatan yang keliru.

Jadi apabila kebaktian dapat menimbulkan ketenangan batin maka ceramah Dhamma akan memberikan jalan keluar atas masalah hidup kita. Sering kita dengar dari orang-orang yang semula beragama Buddha kemudian pindah agama, bila ditanya alasannya meninggalkan Agama Buddha, biasanya dijawab: "Saya tidak menemukan kebahagiaan di agama Buddha." Kalau kemudian ia ditanya: "Sudahkah kamu melaksanakan Ajaran Sang Buddha?" "Sudah sejak dari kecil saya mempelajari agama Buddha." Memang mungkin ia sejak kecil telah mengikuti agama Buddha namun hanya ikut puja bakti atau hanya melaksanakan tradisi saja. Padahal puja bakti hanya salah satu kegiat an sebagai umat Buddha. Sudahkah ia mendengarkan Dhamma? Mungkin jawabnya: "Sudah biasa mendengarkan Dhamma." Kalau begitu apakah ia sudah melaksanakan Ajaran Sang Buddha? Kalau hanya mendengarkan Dhamma saja, kita hanya akan menjadi perpustakaan, kumpulan ilmu pengetahuan tentang Ajaran Sang Buddha, kurang bermanfaat, kosong. Mendengarkan Dhamma, membaca buku-buku Dhamma saja, hal itu hanya menjadikan kepala kita seperti perpustakaan. Mengetahui segalanya, Empat Kesunyataan Mulia, riwayat Sang Buddha, namun tidak dapat memanfaatkannya dalam kehidupan sehari-hari, orang semacam itu bukanlah jenis umat Buddha sejati. Oleh karena itu, selain mengikuti puja bakti, mendengarkan uraian Dhamma maka setelah pulang ke rumah, renungkanlah uraian Dhamma yang baru didengarkan dengan baik dan berusahalah untuk melaksanakannya. Dengan merenungkan Dhamma akan memantapkan diri kita dalam menentukan hal yang benar sebagai kebenaran dan hal yang salah sebagi kesalahan. Dengan demikian, kita pasti akan melakukan yang benar dan meninggalkan yang salah. Bila dalam mempelajari Dhamma orang telah mencapai tingkat ini, pastilah dia akan berbahagia di dalam Dhamma.
Beberapa waktu yang lalu saya bertemu dengan seorang ibu. Ibu ini baru saja kematian anak lelakinya yang masih muda dan baik hati. Tingkah laku anak ini sangat baik, wajahnya tampan, bahkan kelihatannya ia paling tampan sekeluarga. Ia juga anak yang paling sering memperhatikan keadaan orang tuanya. Kalau dia hendak makan, misalnya, dia pasti mencari ibunya terlebih dahulu. Ia akan mengajak ibunya makan bersama. Ia pula yang akan mengambilkan nasi serta lauknya untuk sang ibu tersayang. Selain baik perilakunya, sekolahnya pun cukup pandai. Bahkan sebentar lagi ia akan diwisuda sebagai sarjana S2. Selain itu, dalam waktu dekat ia juga akan segera bertunangan. Namun, siapa sangka kalau ia akan meninggal. Ia meninggal dalam usia yang relatif masih sangat muda. Kepergiannya menimbulkan stress keluarganya. Shock.

Namun sewaktu saya bertemu dengan ibunya kemarin, kira-kira setelah lebih 100 hari wafatnya sang anak, ibu tadi mengatakan bahwa seandainya ia tidak mengenal dan melaksanakan Buddha Dhamma dengan baik, maka ia bisa menjadi gila. Memang, pada waktu ia berkata demikian sepasang matanya masih merah menahan isak tangis. Ibu ini termasuk salah satu donatur vihara yang setia. Dari pengamatan, tidak jarang kita jumpai seorang donatur vihara yang mengalami kesulitan hidup. Sebenarnya hal ini adalah biasa. kesulitan hidup akan menerpa siapapun juga, baik para donatur vihara ataupun bukan. Kesulitan hidup adalah karena buah karma buruk yang sedang dipetik. Tetapi kadang muncul pikiran negatif dalam diri para donatur tersebut. Ia mengeluh kenapa buah kebaikannya sebagai donatur berakibat penderitaan dan kesedihan? Dahulu sewaktu ia masih sering melakukan pelanggaran sila, hidupnya malah tidak banyak mengalami penderitaan, tidak pernah usahanya merosot, maupun kematian anaknya. Sama sekali tidak pernah. Sekarang setelah beberapa lama menjadi donatur, sponsor vihara, hidupnya malah terasa sulit. Kesimpulan pendek yang diambil adalah lebih baik tidak usah menjadi donatur saja. Ada beberapa orang yang memiliki pandangan salah seperti itu. Bahkan ada seorang pemborong yang juga mengeluh bahwa jika ia membantu membangun untuk vihara yang dikerjakannya dengan sukarela dan gratis, malah pekerjaan pokoknya menjadi sepi. Akan tetapi bila ia menolak membantu pembangunan di vihara maka pekerjaan pokoknya lancar kembali, sampai-sampai ia kewalahan. Kenyataan seperti ini sering menggoyahkan keyakinan seorang umat Buddha. Keyakinan dapat goyah karena pengertian akan Hukum Karma masih belum terlalu dimengerti. Ia masih kurang dalam melaksanakan Ajaran Sang Buddha. Dalam contoh ibu yang ditinggalkan anak tersayangnya tadi, kelihatan jelas keyakinannya kepada Ajaran Sang Buddha. Ibu tadi tidak menyesali perbuatan baiknya yang kelihatannya berbuah penderitaan. Ibu tersebut justru mengucapkan kebahagiaannya karena telah mengenal Buddha Dhamma sehingga mampu dengan tegar menghadapi kenyataan hidup yang amat pahit itu. Ia tidak menjadi gila karena pengalaman pahitnya. Inilah manfaat Dhamma yang dirasakannya. Inilah bukti kenyataannya. Ia dapat menyadari bahwa merelakan anaknya lahir kembali adalah merupakan dana yang sangat besar, jauh lebih besar daripada dana yang telah diberikannya selama ini. Kepergian sang anak adalah merupakan bagian dari perjalanan karma. Setelah mendengarkan keterangan ini, ibu itu mulai dapat menenangkan pikirannya. Ketenangan ini muncul karena sang ibu tadi telah memiliki Dhamma sebagai pegangan hidup. Andaikata sang ibu hanya melaksanakan puja bakti saja maka tidak mungkin ia akan kuat menghadapi kematian anaknya yang tragis itu. Sesungguhnya memang puja bakti bukanlah penyelesaian atas suatu permasalahan. Puja bakti hanyalah salah satu usaha untuk meningkatkan kebaikan, kebahagiaan, dan ketenangan. Masalah dapat diselesaikan dengan rajin mendengarkan, merenungkan dan melaksanakan Dhamma.

Bekal kita yang ketiga setelah kita rajin melakukan Puja Bakti, lalu gemar mendengarkan Dhamma, maka ketiga adalah: suka membabarkan Dhamma dengan mengajak rekan kita berdiskusi Dhamma, misalnya. Membabarkan Dhamma adalah hal yang tidak kalah pentingnya. Apabila pengetahuan dan pengalaman Dhamma kita sudah cukup memadai tetapi tidak pernah diberi kesempatan untuk berkembang dengan diskusi maka pengalaman kita akan lambat tumbuhnya. Ibarat kita senang bermain badminton tetapi tidak pernah mencari lawan tanding, hanya main dengan tembok maka ketrampilan kita tidak akan berkembang. Kita harus mencari lawan tanding. Demikian pula dengan pengalaman Dhamma. Kita hendaknya rajin mencari kawan diskusi. Semakin sering kita berdiskusi, semakin bertambah pula pengetahuan Dhamma kita, dan semakin bertambah pula keyakinan kita. Sebenarnya, lawan diskusi adalah teman berpikir. Jadi kalau kita bertemu dengan orang yang sulit mengerti Dhamma hendaknya jangan ia dimusuhi. Ia justru merupakan teman berpikir. Kita hendaknya mencari jalan dan cara supaya dia akhirnya dapat mengerti Dhamma. Jadi, kemana pun kita berada, cobalah berusaha membuka diskusi Dhamma dengan rekan sekitar kita. Hal ini penting sebagai pemacu semangat kita untuk menambah pengetahuan dan keyakinan. Pertanyaan orang lain akan menimbulkan semangat kita untuk berpikir.

Oleh karena itu, bila kita telah sering kebaktian, ada yang sudah 50 kali kebaktian dalam 52 minggu, bolehlah disebut lulus. Sedangkan mereka yang frekuensi kebaktiannya masih di bawah 30 kali setahun, maaf saja, Saudara masih belum lulus, belum jadi umat Buddha yang baik. Anda masih termasuk umat Buddha tradisi, KTP-nya Buddha, tetapi belum melaksanakan ajaran Sang Buddha. Kualitas hidup semacam itu hendaknya diperbaiki dan ditingkatkan. Kalau perlu, pada penanggalan Saudara setiap hari puja bakti diberi tanda agar selalu ingat pergi ke vihara. Ke vihara untuk Puja Bakti bukan untuk menjadi tukang parkir, menjagai sandal, ataupun hanya untuk ngobrol di luar. Itu tak ada gunanya, sama dengan tidak hadir. Ke vihara hendaknya bukan hanya badan saja yang datang, melainkan juga pikirannya, juga telinganya. Kalau badannya di vihara tetapi telinganya untuk mendengarkan gosip di luar, itu juga bukan berarti kita telah pergi ke vihara. Masih tetap dihitung tidak hadir. Masih belum termasuk lulus. Berarti belum tahu aturan untuk ke vihara. Jadi, kalau pergi ke vihara tandailah kalender Saudara. Bila telah genap satu tahun, hitunglah sudah berapa kali kita ke vihara? Bila sudah ke vihara sebanyak 40 kali, bolehlah dianggap lulus. Namun, bila jumlahnya masih dibawah angka 30, berarti belum lulus. Jika dapat hadir ke vihara sebanyak 52 kali, ini dia! Lulus dengan baik, cum laude. Kiranya, suatu ketika nanti kita perlu mencatat kehadiran umat di vihara, terutama anak-anak. Bila ada anak yang sudah ke vihara setahun sebanyak 52 kali, ia hendaknya diberi hadiah oleh vihara. Kiranya hal itu akan mendorong anak-anak melakukan kegiatan yang bermanfaat. Puja bakti, mendengarkan, dan berbagi Dhamma.

Bila dalam tahun ini kita sudah banyak ke vihara, marilah kita tingkatkan di tahun mendatang: mendengarkan Dhamma dan melaksanakan Dhamma. Namun hal ini juga harus kita selidiki lebih lanjut. Sudahkah saya memiliki banyak pengetahuan Dhamma? Sudahkah saya menjalani Dhamma? Kalau kita belum banyak mendengar Dhamma, belum punya kaset Dhamma, maka persyaratan untuk lulus masih kurang. Jadi, kita harus memiliki buku Dhamma. Sekarang buku sudah ada, kaset Dhamma juga banyak. Kalau Saudara belum memiliki, persyaratan lulus juga masih kurang. Setelah mempunyai buku Dhamma, kaset ceramah Dhamma, sekarang kita renungkan: 'Sudahkah kita mengenalkan Dhamma kepada orang lain?' perilaku ini termasuk pada nomor 3, berdiskusi Dhamma. Dalam setahun, berapa banyak kita telah mengenalkan Dhamma? Kalau masih belum banyak, masih ada kesempatan untuk kita lakukan mulai sekarang.

Saudara, tiga hal inilah yang hendaknya kita renungkan dan kita kembangkan. Pertama adalah rajin mengikutikebaktian sebagai hal yang pokok untuk mendapatkan ketenangan secara emosional. Kedua: mendengarkan Dhamma dan menambah wawasan, sehingga kita punya pegangan hidup untuk kehidupan kita sehari-hari. Dan ketiga: carilah teman diskusi, karena hal itu akan memperkuat keyakinan kita pada ajaran Sang Buddha, sekaligus kita memiliki kesempatan untuk membagikan Dhamma kepada pihak lain. Dalam ajaran Sang Buddha disebutkan bahwa dari semua pemberian, Pemberian Dhamma-lah yang paling tinggi nilainya